MENARIK diskusi Sabtu (10/11/2012) yang dimotori para mahasiswa yang menamakan dirinya mereka dengan “Gayo Merdeka”, diskusi yang bertema mengupas tabir Qanun Lembaga Wali Nanggroe ini menghadirkan para anggota DPRK Aceh Tengah dan Bener Meriah, KIP Aceh Tengah, Para akademsi dari Perguruan Tinggi Universitas Syiah Kuala, tokoh Gayo unsur KNA yang ada di Banda Aceh dan juga mahasiswa dari berbagai daerah yang tidak hanya dari Aceh Tengah dan Bener Meriah.
Berbagai argumen, pendapat dan tangggapan seputar Qanun Lembaga Wali Nanggroe keluar mengalir dari pikiran para akademisi dan cedikia muda, baik yang menyentuh keberadaan Qanun Wali Nanggroe ataupun dari segi isi. Secara umum pasal yang dikritisi adalah tentang kemampuan berbahasa Aceh secara fasih dan baik yang dijadikan syarat untuk menjadi Wali Nanggroe.
Dalam Pasal 69 poin (c) tentang persyaratan Wali Nanggore disebutkan “dapat berbahasa Aceh dengan fasih dan baik”. Pasal 72 tentang persyaratan Waliyul’ahdi poin (b), juga dengan bunyi yang sama. Pasal 75 tentang persyaratan Majelis Tuha Peuet Wali Nanggroe poin (b) berbunyi sama yaitu “dapat berbahasa Aceh dengan fasih dan baik”. Pasal 78 tentang persyaratan Majelis Fatwa di poin (b) juga berbunyi sebagaimana yang telah disebutkan, demikian juga dengan persyaratan untuk menjadi anggota pada Majelis Tuha Lapan Wali Nanggroe pada Pasal 81 poin (b).
Syarat fasih dan baik berbahasa Aceh ini tidak dijadikan sebagai syarat bagi Majelis Ekonomi Aceh, bagi Bentara, bagi Majelis Hutan Aceh, Majelis Khazanah dan Kekayaan Aceh, dan tidak juga bagi Majelis Pertambangan dan Energi. Inilah Pasal dan poin yang menjadi inti diskusi di Hotel Regina Kampung Keramat tersebut.
Sebelum saya menghadiri diskusi tersebut (bersamaan waktu shalat maghrib) seorang anggota dewan dari DPRA menghubungi saya melalui Hpn-ya, beliau menyebutkan bahwa bunyi pasal yang berhubungan dengan syarat tersebut telah dirubah berdasar hasil diskusi ysng cukup slot di BAMUS. Kemudian bunyi pasal tersebut berubah lebih kurang berbunyi “dapat berbahasa etnis-etnis di Aceh secara fasih dan baik”.
Melihat pembicaraan yang berkembang dalam diskusi tersebut, hampir semua peserta tidak mengetahui bagaimana perkembangan dan bunyi draf qanun yang akan disahkan, sehingga penggiringan dan pernyataan untuk penolakan lebih kental terjadi. Dan ketika pernyataan penolakan tidak dikatakan secara tegas, ada peserta yang menganggap itu sebagai ketidak beranian.
Seperti yang di ucapkan oleh seorang peserta, bahwa para orang tua yang ada di Banda Aceh adalah pengecut “pegeson” lagu “kemenyen”. Terlepas dari betul atau tidaknya ucapan tersebut, ini sebenarnya menunjukkan rendahnya nilai akhlak dan moral yang dimiliki oleh generasi muda kita, karena menganggap kemengan yang ia dapat hanyalah dengan megalahkan orang lain, diakuinya ia sebagai orang pandai karena ia dapat mengatakan orang lain bodoh.
Padalah etika keberagamaan dan etika akademis mengajarkan semua orang untuk mendapatkan kemenangan tidak harus mengalahkan orang lain dan kepintaran kita tidak harus karena orang lain bodoh dan keberanian kita juga tidak harus mengatakan kepengecutan orang lain. Itula akhlak yang sebenarnya yang diajarkan Tuhan kepada kita yang beragama.(jamhuriungel[at]yahoo.co.id)
*Akademisi dan Sekretaris KNA