Hijrah dan Spirit Perubahan

Oleh: Johansyah*

RODA waktu terus berputar dan bergulir melewati pusaran zaman. Tanpa terasa pula kita bertemu kembali dengan tahun baru Islam, 1 Muharram 1434 Hijriyah. Lalu apakah makna 1 Muharram ini bagi kita umat muslim? Bagaimana pula umat ini menyikapi dan mengisinya? Apakah dengan mengadakan aneka lomba yang bernuansa Islami, ataukah dengan melakukan pawai akbar anak-anak sekolah dengan mengenakan busana muslim seperti yang sering kita saksikan? Ataukah dengan melakukan do’a bersama? Sehingga tampak semua antosias dengan tahun baru Islam ini.

Untuk menjawab beberapa pertanyaan di atas, sejenak kita kembali kepada masa lalu untuk melihat aktifitas rekam jejak hijrah yang dilakukan nabi Muhammad Saw. Pada waktu itu beliau melakukan hijrah dari kota Mekah menuju Madinah karena merasa kota Mekah tidak aman lagi baginya dan para pengikutnya untuk melakukan dakwah Islamiyah sehingga memutuskan untuk pergi ke Madinah karena kota tersebut dianggap aman dan lebih leluasa baginya untuk mengamankan diri dan menyusun strategi dakwah secara lebih baik.

Lalu, sebagai umat pengikut setia Muhammad Saw, tentunya konteks hijrah kita hari ini berbeda dengan hijrah Nabi Saw dulu. Namun penulis yakin spirit hijrahnya pasti sama, yaitu adanya sebuah keinginan untuk berubah ke arah yang lebih baik. Bedanya adalah jika hijrah Nabi Saw dilatarbelakangi oleh faktor eksternal ganjalan kaum Quraisy Mekah, namun faktor pengganjal bagi kita saat ini yang meniscayakan untuk berhijrah adalah faktor internal diri kita sendiri. Sebab musuh terbesar kita adalah nafsu amarah yang cenderung mengarahkan keinginan kepada hal-hal yang tidak mendatangkan manfaat, akan tetapi mudharat yang bisa berakibat kerugian bagi diri dan orang lain.

Ini artinya bahwa hijrah yang kita lakukan saat ini barangkali yang dituntut bukanlah hijrah jasmaniyah, melainkan hijrah ruhaniyah, hijrah cara berpikir, hijrah kultur (kebiasaan/adat), dan hijrah amaliyah (perbuatan), dari yang tidak baik kepada yang baik, dari yang baik kepada yang lebih baik, dan dari yang lebih baik menuju yang terbaik. Hijrah model ini pula yang hanya mampu mengantarkan seseorang menjadikan hari ininya lebih baik dari kemarin dan hari esoknya lebih baik dari hari ini.

Dalam upaya hijrah ruhaniyah, maka mulailah bertanya kepada diri sendiri, sebab apa kita ada di dunia atau bagaimana kita bisa hadir di dunia dan untuk apa kita ada di dunia? Pertanyaan pertama dan kedua meniscyakan kita untuk berkenalan dan dekat dengan Sang Yang Maha Agung, Allah Swt yang telah menciptakan manusia dari setetes air mani, namun merupakan ciptaan Allah dengan sebaik-baik bentuk dari sekian banyak makhluk ciptaan-Nya. Adapun pertanyaan ketiga mengarahkan kita untuk bereksistensi dalam sebuah lingkungan sosial di mana kita hidup untuk mampu menjadi ‘Aku’ yang berguna atau bermanfaat bagi orang lain di sekitarnya.

Kalau demikian, maka tahun baru hijriyah adalah momentum evaluasi diri bagi seorang muslim yang mengarah kepada dua materi evaluasi, yaitu relasi vertikal dan relasi horizontal. Untuk melihat kualitas relasi pertama, alat ukur sederhana yang kita gunakan adalah rukun Islam yang terdiri dari lima pilar utama. Paling tidak untuk menilai hubungan dan kedekatan seseorang dengan Allah Swt dari kedisiplinannya dalam mendirikan shalat lima waktu, berpuasa di bulan ramadhan, dan disiplin dalam membayar zakat.

Untuk rukun Islam pertama mungkin kita telah disyahadatkan ketika keluar dari kandungan ibu yang melahirkan kita. Sedangkan untuk rukun Islam yang kelima yaitu haji, ada syarat yang harus dipenuhi yaitu mampu dalam berbagai hal. Dari lima rukun Islam, paling tidak ada satu pilar yang dapat dijadikan tonggak utama untuk mengukur kedekatan kita dengan Allah Swt yaitu shalat wajib yang lima waktu. Jika seseorang selalu disiplin menjaga yang lima waktu ini, setidaknya relasinya dengan Allah dapat dikatakan baik, kendatipun belum tentu serta merta amalannya juga baik.

Sementara untuk mengukur kualitas relasi horizontal kita, dapat diukur dengan sebaik apa interaksi dan komunikasi sosial yang kita bangun, baik di tempat kita tinggal, di kantor, atau dalam berbagai perkumpulan yang sering kita ikuti. Pengukuran yang lebih sederhana adalah seberapa banyak orang yang membenci kita dan seberapa banyak orang yang mengakui kebaikan kita. Ketahuilah bahwa orang yang baik adalah orang yang tidak banyak mencari musuh  dan dimusuhi serta secara umum dia diakui sebagai pribadi yang baik dan berakhlak mulia. Sebaliknya, jika banyak yang memusuhi dan mayoritas mengatakan seseorang tidak baik, maka kemungkinan besar interaksi sosialnya tidak baik.

Dengan demikian, momentum  tahun baru Islam ini harus dimanfaatkan untuk meningkatkan kualitas relasi vertikal kita dengan Sang Maha Pencipta dan kualitas relasi horizontal dengan sesama manusia dalam konteks sosial. Dan yang jelas kedua tidak dapat terpisahkan. Hubungan baik hanya dengan Allah Swt tanpa dibarengi dengan hubungan yang baik dengan sesama tentu tidak bernilai apa-apa, sebab ibadah atau pengabdian yang sesungguhnya adalah ibadah amaliyah sesama manusia sebagai pembuktian nyata pengakuan keimanan seseorang.

Tidak Cukup Menjadi Orang Baik

Lebih jauh, keberadaan kita sebagai manusia tidaklah cukup menjadi sosok yang taat kepada Allah Swt dengan melakukan serangkaian ibadah wajib dan sunat. Atau tidak pula cukup dengan mendapat pengakuan dari rekan dan orang sekitarnya bahwa dia adalah sosok dan pribadi yang baik. Keberadaan seseorang yang hidup di dunia sebagaimana diekspektasikan al-Qur’an adalah menjadi sosok selain baik, adalah sosok yang kreatif dan mau serta mampu berkarya sesuai dengan bidang yang ditekuninya. Inilah sosok muslim ideal yang dimaksudkan oleh hadits khairukum anfa’ukum linnas (sebaik-baik kamu  ialah orang yang bermanfaat bagi orang lain).

Dengan demikian, muhasabah dan evaluasi diri di tahun baru ini tidaklah cukup dengan tanzhur maqaddamat  (merenungkan masa lalu) dengan meratapi kesalahan dan dosa, melaikan harus mampu lighad (merencanakan masa depan) dengan berguru pada pengalaman masa lalu. Pertanyaan yang hendaknya selalu kita bangun dalam diri kita adalah apa yang dapat saya perbuat atau saya sumbangkan untuk orang lain, baik melalui pikiran, perkataan, terlebih perbuatan.

Satu hal yang perlu dicatat pada akhir tulisan ini, bahwa tahun baru Islam ini harus dijadikan momentum untuk perubahan secara individual menuju kepada perubahan sosial yang lebih baik dengan berusaha mempersembahkan gagasan serta upaya nyata yang dapat bermanfaat bagi kita bersama sesuai dengan profesi masing-masing. Mungkin terlalu jauh jika kita memikirkan perubahan untuk masyarakat dunia, namun setidaknya kita mampu memikirkan perubahan untuk keluarga dan masyarakat di mana kita tinggal.(johansyahmude[at]yahoo.co.id)

*Mahasiswa Program Doktor, Konsentrasi Pendidikan Islam, PPs IAIN Ar-Raniry Banda Aceh.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.