DEWAN Perwakilan Daerah Kabupaten (DPRK) Aceh tengah telah mengeluarkan keputusan dalam hal merespon aspirasi massa yang belakanga ini melakukan aksi epnolakan Qanun Wali Nanggeroe (WN) tiga poin keputusan yang dihasilkan yakni Pertama Menolak qanun wali Nanggeroe apabila isinya bertentangan dengan konstitusi RI ,kedua memperkuat lembaga adat pemerintahan Gayo, ketiga mendukung pembentukan provinsi ALA ,yang kemudian di tambah lagi dengan 2 poin yang lain.sebagaimana yang dimuat di harian Serambi edisi 13 November 2012.
Saya tertarik ingin memnyinggung poin yang ketiga yaitu DPRK Ateng mendukung pembentukan provinsi ALA dengan mendesak Mendagri menambah daerah otonomi di indonesia salah satunya ALA hal ini didukung lagi dengan melakukan penyegaran kembali komite percepatan pembentukan provinsi (KP3) ALA yang menambah keseriusan mereka dalam menyikapi hal ini.
Pada dasarnya masyarakat Gayo menolak qanun Wali Nanggaroe yang dianggap mendiskriminasikan suku minoritas salah satunya yakni syarat me njadi wali nanggroe harus fasih berbahasa Aceh, dan isi qanun yang dianggap kabur yag bisa multitafsir dalam pemaknanya. Disinilah suku-suku minoritas merasa dizhalimi, termasuk Gayo.
Selaku orang Gayo menganggap bahwa kita adalah suku tersendiri juga memiliki bahasa sendiri yaitu gayo dan kita tidak mau sebagai aceh,mengapa saya singgung poin ketiga dari hasil keputusan DPRK Ateng karena nama provinsi yang kita perjuangkan Aceh Louser antara (ALA) yang masih memakai kata ACEH padahal kita menolak jika disebut sebagai Aceh!
Secara pribadi saya juga tidak terlalu setuju jika provinsi yang kita perjuangkan, ALA masih memakai kata Aceh, Apakah ada maksud dibalik pemakaian nama tersebut? Bagainman jika kata Aceh diganti? saya rasa banyak masyarakat yng setuju dengn apa yang saya usulkan.
Kaitan dengan penghapusan nama Aceh sudah pernah dilakukan oleh Kabupaten Pidie, yang sebelumnya bernama Kabupaten Aceh Pidie, yang sebab penghapusan kata Aceh pada kabupaten mereka saya kurang tahu pasti karen refrensi yang berkaitan berkaitan dengan kasus ini masi kurang saya dapatkan, sejauh yang pernah saya baca bahwa
Pidie sebelumnya adalah kerajaan Pedir yang berbeda dengan Aceh, sehingga sampai sekarang Pidie tidak disebut sebagai Aceh Pidie, melainkan Kabupaten Pidie saja.
Bila kita bersikukuh tidak mau disebut sebagai Aceh maka sebaiknya kata Aceh dalam nama provinsi yang kita perjuangkan yakni Aceh Lauser Antara (ALA) diganti dengan nama yang memang indentitas kita seperti Gayo Raya, Gayo Louser Antara atau lain sebagainya yang pastinya mencerminkan Gayo.
Harapannya agar setiap DPRK yang mencakup wilayah pembentukan pembentukan Provinsi ALA juga menambil sikap yang sama dengan apa yang telah dilakukan oleh DPRK Aceh Tengah dan memang jika Provinsi yang kita perjuangkan terwujud tidak ada yang namaya sentimen ras antara Aceh dan Gayo di kemudian hari.(abiarmigayo[at]gmail.com)
*Mahasiswa Fisip Universitas Malikussaleh (Unimal) Lhokseumawe Jurusan Ilmu Administrasi Negara
apapun makanannya minumnya teh botol sosro
apapun namanya yang penting perjuangannya
setuju dengan pak andi (Y)
gimana mau terwujud???
wong belum terwujud aja udh ribut???
berbeda suku itu indah apabila kita bisa menyatukannya di propinsi ALA nantinya 🙂
hahaha… katanya Aceh rasis.. nah sekarang giliran gayo yang ingin meng’gayo’kan seluruh suku yang ada dalam provinsi mimpi ALA.
haduuuuuh.. bingung deh,, ada aja ulah orang yang diskriminatif dan munafik
Seperti semangat perubahan yg jg konstitusional, kt jg jgn lupa PP no. 32/2004. Kt jg mmbutuhkan fihak lain utk kbrsamaan hidup dan brfikir. Pendapat sy, kalau kt trlalu memunculkan GAYO, jk demikian kitapun tdk brbeda dgn org ACEH. Alangkah baiknya jk sebut dgn PROVINSI LAUSER ANTARA, dgn pertimbangan suku lain (aneuk jamee, dll). Untuk bersama. Demikian. Salam perubahan.
tapi orang gayo takengon paling ga biasa berbahasa gayo dibanding orang gayo yg ada di gayo lues,aceh tenggara,kualasimpang n aceh barat daya,,,malu,,!!!
Ya….betul ya daleh ubuh kata aceh ne…. gayo nye pong