Danau Laut Tawar dan Inspirasi Penyair Malaysia

Catatan Lama Jauhari Samalanga*

Prof. DR. Siti Zainun Ismail. Lintas Gayo-Aman Renggali
Prof. DR. Siti Zainun Ismail. Lintas Gayo-Aman Renggali

ADA yang menarik dari pengakuan Prof. Dr Siti  Zainun Ismail yang asal Malaysia pada  acara peluncuran antologi puisi ‘Rencong’ karya Fikar W Eda di Taman Ismail Marzuki, 19 Oktober lalu. Katanya, sebelum dia berkunjung ke Aceh, satu-satunya tempat yang hendak dia tuju adalah Danau Toba di Sumatera Utara. Ketika itu, hanya danau terbesar di Indonesia itulah yang tergambar dalam fikirannya, dan hanya itu pula yang paling dia tahu dari informasi yang ada. Dia terkejut, rupanya di daerah Gayo juga ada danau laut Tawar yang cukup indah, dan disana menyimpan beragam inspirasi seni sehingga lahir sebuah puisi ‘Catatan Danau Laut Tawar’.

Tentu saja puisinya itu salah satu dari sekian puisi kesannya terhadap Aceh. Dia masih punya sederet puisi lainnya soal keindahan dan kharisma Aceh, hingga pada akhirnya Siti Zainun Ismail menuliskan puisi ‘duka’ setelah ia terakhir berkunjung ke Aceh yang sudah porak poranda akibat konflik di daerah paling ujung barat sumatera itu.

Pengalaman Siti Zainun hanya salah satu contoh bagaimana rumitnya Aceh yang dalam sekejab sudah berubah. Semula, seniman masih menggores pena dengan syair-syair indah, lantas tak lama kemudian berubah menjadi wujud yang menakutkan. Inilah Aceh dalam potret bergelombang, sangat sulit untuk ditebak  kapan seniman dapat bersyair dengan nada-nada gelombang lautan Hindia dan Cina, kecuali berkisah bagai gelombang itu sendiri, terkadang indah memang manyakitkan karena kondisi memaksa karya-karya itu lahir bagaikan mimpi.

Tentu saja, kondisi pula yang melarutkan karya-karya yang lahir di Aceh benuansa darah yang akhirnya menyurutkan kekuatan-kekuatan seni islamis yang menjadi bagian dari seni yang berkembang di Aceh dengan keterbukaannya dalam berinteraksi. Itu sebabnya, kesenian menjadi bagian dari kehidupan masyarakat sehari-hari. Seni Aceh yang diawali dengan persalaman itu, adalah ciri khas masyarakat Aceh dalam interaksi tadi.

Namun kemudian seni-seni islami yang menjadi kebanggaan masyarakat itu, tidak menggiring pada perkembangan yang menakjubkan lantaran kondisi yang terus menerus memaksa seni-seni itu diam tak bergerak. Kalau kita mau jujur, barangkali yang tepat untuk kita ‘tuduh’ penyebab kesemua ini adalah kondisi Aceh yang dari waktu ke waktu bertgolak terus, tanpa ada celah yang bisa dimanfaatkan untuk mengembangkan kesenian Aceh, karena isyu yang tergiring sangat kuat dari sisi kemanusiaan dan kekayaan alamnya, bukan pada prilaku masyarakat serta kekayaan seni-seni yang ada di Aceh.

Gara-gara masalah kemanusiaan tak pernah berhenti menjadi bahasan di Aceh, tidak sedikit masalah vital lainnya menjadi terbengkalai. Misalnya, pada perubahan kehidupamn masyarakat sehari-hari atau keadaan yang mendorong masyarakat yang biasanya hidup saling tolong-menolong menjadi memilih hidup sendiri-sendiri. Sikap curiga antarsesama punya tensi yang cukup merubah segala kebiasaan masyarakat. Kalau sudah demikian halnya, lantas bagaimana kita menemukan kembali kebersamaan untuk menyeragamkan “kepemilikan” yang bernama Aceh?

Ini barangkali akan menjadi sulit kalau masalahnya tetap dilihat dengan kacamata yang sama serta dilakoni oleh kelompok-kelompok yang selama ini banyak menyumbangkan inspirasinya untuk menjadikan Aceh tak bertuan. Artinya, bagaimana kita dapat merubah suatu masalah menjadi ‘bening’ dan kembali kepada tatanan yang lebih bermoral, apabila tidak dilakukan dengan makna kesadaran dari individu yang sudah lama larut dengan keuntungan dari konflik yang berlangsung.

Sejak Aceh lahir menjadi Indonesia, banyak masalah menjadi terlupakan untuk menjadikan Aceh dengan kekuatannya, lantaran banyak sektor tidak mendapati kebijakan yang lebih mendorong daerah-daerah untuk maju. Sistem sentralistik yang diajarkan Jakarta terhadap daerah-daerah, termasuk Aceh, rupanya berandil besar untuk meluluh-lantakan ‘kemajuan’ sehingga tidak heran apapabila Aceh semakin terpuruk mengejar kemajuan disegala sektor. Daearh-daerah tingkat II tidak dapat memanfaatkan potensi daerahnya secara maksimal, bahkan potensi daerah tersebut terserap menjadi pertukaran dengan potensi lainnya yang tak dikuasai oleh daerah yang bersangkutan, untuk sebuah kepentingan sentralistik yang dibangun pemerintahan daerah dengan meniru sentralistiknya Jakarta..

*Pegiat seni, tinggal di Banda Aceh

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.