Oleh: Quadi Azam*
AKSI penolakan terhadap beberapa produk Qanun yang dikeluarkan oleh Pemerintah Aceh dan Dewan Perwakilan Daerah Aceh (DPRA) oleh elemen masyarakat Gayo terdiri dari mahasiswa dan masyarakat sipil lainnya merupakan sesuatu bukti konkrit, partisipasi masyarakat Gayo dan kepercayaan terhadap pemerintah Aceh masih tinggi. Harus diyakini bahwa penolakan yang dilakukan tersebut bukan tanpa alasan dan bukan bermuatan politik peraktis, namun ini merupakan partisipasi dan konsistensi masyarakat Gayo untuk terus menjaga, memperkokoh dan membangun perdamaian yang telah disepakati seperti yang tertuang dalam MoU Helsinki.
Bertolak dari lintas sejarah Aceh, masyarakat Gayo bukan sebagai penumpang maupun pendatang akan tetapi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari keberadaan sekaligus perjuangan daerah Aceh. Bukan hanya itu, menurut hasil penemuan fosil di Dataran Tinggi Gayo tahun 2012, penemuan ini merupakan bukti rill tentang keberadaan masyarakat Gayo adalah bangsa pertama yang menduduki tanah Aceh khususnya di daerah Dataran Tinggi Gayo. Ini bukan untuk membanggakan antar suku, melainkan sebagai bukti masyarakat Gayo juga bagian dari kebijakan pemerintahan Aceh.
Hal ini sebaiknya menjadi kesadaran bagi wakil rakyat yang ada dipropinsi Aceh, bukan hanya menyepakati suatu produk regulasi pemerintah, akan tetapi terlebih dahulu mensosialisasikan dan menerima masukan dari kalangan masyarakat ini sesuai dengan mekanisme pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagai regulasi didaerah. Jika wakil rakyat Aceh yang memperjuangkan kebutuhan dan kepentingan masyarakat Aceh secara menyeluruh termasuk didalamnya masyarakat Gayo, maka DPRA seharusnya tidak mengabaikan kritikan yang disuarakan masuyarakat wilayah tengah itu.
Jangan sampai ini menjadi arti bahwa suara minoritas tidak lagi berlaku untuk dijadikan sebagai perubah kebijakan pemerintah Daerah Propinsi Aceh. Ini menjadi preseden buruk atas keberlangsungan kepemerintahan Aceh sebagai serambi mekah dan salah satu daerah di republik ini dipercayakan sebagai daerah syariat islam, seperti yang tertuang dalam UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh.
Berawal dari Qanun WN
Mencuatnya Qanun Wali Nangroe (WN) merupakan awal pertama bergaungya penolakan masyarakat Gayo terhadap produk regulasi pemerintahan Aceh. Jika dikaji dari kacamata hukum peraturan Daerah Provinsi ini atau jika di Aceh dinamakan dengan Qanun memang sarat akan kepentingan suku Aceh saja, karena Aceh selain nama daerah juga nama suku di daerah Aceh sendiri, maka dari prinsip klausul bahasa hukum Qanun ini tidak layak untuk dijadikan sebuah peroduk hukum.
Kedua, Qanun diskriminatif, dari kekacauan bahasa yang ditelurkan dalam Qanun tersebut timbullah pemahaman dan pengertian Qanun ini merupakan kepentingan suku Aceh belaka, tidak bersifat universal, padahal sebuah produk hukum laiknya tidak boleh diskriminatif terhadap kelompok, suku, ras dan agama apapun diteritorialnya. Ketiga, jika Qanun ini mengacu pada UU No. 11 Tahun 2006 tentang pemerintahan Aceh maka, pada prinsipnya Qanun ini memiliki herarki perundang-undangan mulai dari konstitusional tertinggi yaitu UUDN 1945, UU menyangkut regulasi, kemudian peraturan pemerintah RI, dan yang terakhir kebijakan daerah jika diperlukan untuk menjadi pertimbangan hukum dan memperkuat Qanun ini.
Inilah beberapa hasil bedahan yang merupakan asal-usul aksi masyarakat sipil yang berasal dari DTG terhadap Qanun WN tersebut, bukan tanpa alasan, melainkan ada beberapa klausul jika diinterpretasikan memang tidak memenuhi prasyarat pembentukan perda sebagaimana diatur dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Salah satu pasal dari UU tersebut menyebutkan pasal yang ingin dijadikan Perda (qanun) harus bersifat universal dan tidak diskriminatif (pasal 6)
Bendera dan Lambang Sebagai Simbol Siapa?
Baru-baru ini DPRA juga menyepakati lambang dan bendera Aceh, juga merupakan salah satu amanat MoU, dan termaktub dalam UU No. 11 Tahun 2006. Namun, ada artian dan makna yang berbeda dalam melihat pengesahan ini, seolah pemerintahan Aceh hanya sebagai daerah yang hanya memperjuangkan simbol dan wacana yang belum jelas arah dan tujuan. Sama halnya seperti syariat Islam saat ini, pemerintah absen dalam melakukan penegakkan hukum terhadap yang melanggar syariat.
Terbukti dengan adanya kebijakan di salah satu daerah kota lhoeksomawe tentang pelarangan terhadap duduk ngangkang, kemudian banyak kabupaten dan ibu kota lainnya yang abai akan syariat islam. Bahkan parahnya ada petugas syariat islam yang melanggar syariat dan ketentuan jinayah yang telah di sahkan. Nah ini semua simbol dan sebagian kalangan menilai ini prestasi padahal jauh dari ketentuan dan prinsip syariat.
Begitu juga bendera dan lambang Aceh, dimana masyarakat membutuhkan kesejahteraan yang merata, peluang kerja serta kejelasan penegakkan syariat ternyata pemerintah Aceh dominan membicarakan masalah simbol dan lambang yang sarat kepentingan dan kekacauan.
ALA dan Gayo Merdeka
Penolakan beberapa regulasi atau Qanun yang disepakati oleh DPRA ini juga disambut dengan beberapa isu politis seperti percepatan pembentukan Aceh Lauser Antara (ALA) dan pembentukan kelompok mashasiswa mengatasnamakan Gayo Merdeka. Persoalannya adalah bagaimana ingin menyelesaikan satu permasalahan jika masalah bukan memberikan perjuangan yang soluktif, akan tetapi lebih menekankan politisasi isu belaka. Kesepakatan penolakan terhadap Qanun dan beberapa kebijakan lainnya mestinya dikaji secara akademis dan proforsional sesuai mekanisme dan aturan yang berlaku.
Isu ALA dan Gayo Merdeka tidak lagi konsideran dengan masalah yang ada, maka taktis perjuangan yang terus berlanjut dan dipertontonkan melalui media tidak lagi menjadi bahan penting dibaca oleh masyarakat umum lainnya, istilahnya menciderai permasalahan yang sebagian kalangan menilai itu merupakan masalah yang krusial dan perlu pembahasan dan solusi akhir yang bersistemik.
Akibatnya berdampak pada urgenitas komunikasi politik tampak tidak ada lagi dalam pengambilan kebijakan ditingkat pemerintahan daerah propinsi Aceh. Maka sebaiknya masyarakat melakukan penolakan piur dan bersih akan kepentingan tokoh-tokoh politik lokal, jangan sampai sarat kepentingan merajalela menciderai masyarakat secara menyeluruh.
Kesimpulan
Dapat disimpulkan bahwa mencuatnya beberapa masalah akhir-akhir ini tidak semena-mena karena sebagian kalangan, akan tetapi juga tidak bisa tepulang dari SDM yang duduk tingkat parlemen pemerintahan Aceh. Kesesuaian SDM dan kepekaaan anggota dewan terhadap masalah tersebut pada prinsipnya abai akan suara minoritas. Maka dalam perjalanannya kebijakan yang dikeluarkanpun sarat kepentingan dan kongkalikong many to regulation.
Yang kedua, pemahaman anggota parlemen akan tiga fungsi penting yaitu pengawasan, legislasi, dan bugeting belum maksimal, banyak penyimpangan. Harusnya pada kasus ini anggota dewan mampu memaksimalisasi kisruh yang terjadi didaerah dengan mengundang tokoh untuk saling koordinasi dan membuka ruang bagi masyarakat untuk berpendapat seperti diskusi. Ketiga, pemerintah baiknya membuat sistem yang konsideran, artinya fungsi strukturisasi kebijakan tingkat pemerintah kabupaten dan propinsi dimaksimalkan, agar kebijakan yang dikeluarkan dapat dipahamkan oleh kalangan pemerintah kabupaten/kota ke masyarakat sekitarnya.(azam_human[at]yahoo.com)
* Staf Pusat Studi HAM Unimed Sumatera Utara
itu qanun dan segala macam inisiatif para oknum anggota DPRA itu semua dilihat menggunakan kaca mata kuda bukan kaca mata hukum yang berlaku…
Makanya timbul qanun qanun yg aneh aneh dimata masyarakat….