Gayo dalam Politik “Devide et Impera” (Sebuah tanggapan untuk Thayeb Loh Angen)

Oleh : Win Wan Nur*WWN-2SABTU silam, 20 April 2013. Thayeb Loh Angen seorang budayawan Aceh mempublikasikan sebuah tulisan di Lintas Gayo. Tulisan ini http://www.lintasgayo.com/37549/gugurnya-yoga-bentara-milite-dari-negeri-linge.html diberi judul Gugurnya Yoga “Bentara Milite” dari Negeri Linge.
Sebelumnya, mari kita ucapkan Innalillahi wa Innailaihi Raji’un, semoga arwah almarhum Yoga yang diceritakan dalam artikel ini yang gugur sebagai syuhada diterima dengan baik di sisi Allah SWT.

Selanjutnya, mari kita analisa secara mendalam tulisan ini.

Dalam tulisan yang menggunakan bahasa yang sangat santun ini, Thayeb seolah sedang memuji orang Gayo. Bisa jadi ini adalah sebuah ‘gincu’ untuk menutupi derasnya makian, hinaan bahkan ancaman genosida terhadap etnis Gayo di dunia maya dari masyarakat pesisir pasca kisruh bendera bulan bintang, beberapa waktu yang lalu.

Tulisan ini kalau hanya dibaca sekilas akan terlihat baik-baik saja, tapi kalau kita mau membaca lebih jernih dan kritis. Nyata sekali sebenarnya tulisan dari Thayeb Loh Angen yang sebelumnya pernah mempublikasikan sebuah tulisan yang menggugat keabsahan tari Saman sebagai milik Suku Gayo, yang mengundang berbagai kecaman dari orang Gayo di seluruh dunia ini. Sebenarnya sedang melakukan propaganda memecah belah persatuan Gayo, agar bisa dengan mudah dikuasai oleh Aceh. Sehingga dalam beberapa poin, imajinasinya sendiri dia gambarkan seolah-olah sudah menjadi fakta yang tak terbantahkan.

Sebagai contoh mari kita baca yang jernih, lihat lah tendensiusnya tulisannya di bagian ini :

“Kita heran, sangat heran, dengan keadaan Aceh beberapa waktu terakhir. Sudah mulai dipecahkan dengan ‘Devide Et Impera.’ Apalagi pasca DPRA mensahkan Qanun Nomor 3 tahun 2013 tentang bendera Aceh. Ada sebagian kecil pihak di bagian tengah dan selatan barat Aceh yang menolaknya. Bahkan ada yang dengan nyata mengatasnamakan sukunya.

Pertanyaannya, siapa yang memberi kuasa kepada mereka untuk mengatakan itu atas sukunya? Tidak ada sama sekali, dan penebar kebencian itu pun cuma beberapa orang, yang hampir semuanya tidak mau tinggal di pegunungan. Jika orang Gayo mengatakan mereka menolak PA atau KPA, itu salah besar dan hanya pemutarbalikan fakta oleh orang-orang kurang pengetahuan.”

Kita bisa membaca di dua alinea di atas, bagaimana gampangnya penulis ini membuat satu kesimpulan agar imajinasinya yang telah dipoles sedemikian rupa bisa seolah-olah menjadi fakta yang sesuai dengan keinginan dan apa yang sedang dipropagandakannya. Padahal kalau mau kita kritisi darimana dasarnya, penulis ini mengatakan di Aceh “Sudah mulai dipecahkan dengan ‘Devide Et Impera.’ Apalagi pasca DPRA mensahkan Qanun Nomor 3 tahun 2013 tentang bendera Aceh.”

Dalam pernyataan ini penulis dengan percaya diri memastikan ada pihak ketiga yang bermain dan dengan sengaja menafikan fakta yang begitu terang benderang bahwa perilaku dan pernyataan pemerintah Aceh dan DPRA pra dan pasca mensahkan Qanun Nomor 3 tahun 2013 tentang bendera Aceh, lah sebenarnya yang sekarang terakumulasi menjadi puncak kekesalan ini.

Di baris kedua, Thayeb Loh Angen mengatakan “dan penebar kebencian itu pun cuma beberapa orang, yang hampir semuanya tidak mau tinggal di pegunungan. Jika orang Gayo mengatakan mereka menolak PA atau KPA, itu salah besar dan hanya pemutarbalikan fakta oleh orang-orang kurang pengetahuan.”

Coba perhatikan baik-baik, bukankah ini kan persis propaganda TNI zaman konflik dulu untuk membuat orang Aceh membenci Hasan Tiro dan kawan-kawan, konseptor perjuangan GAM yang tinggal di luar negeri. Dan ini artinya apa, Thayeb ingin menyampaikan bodoh sekali Orang Gayo mau mendengarkan omongan sesama orang Gayo yang kebetulan tidak tinggal di Gayo. Seharusnya orang Gayo lebih mendengarkan orang Aceh seperti dia, dan seharusnya Gayo menerima saja apapun bentuk ketidak adilan yang dilakukan oleh Aceh kepada Gayo.

Kemudian Thayeb menanyakan, siapa yang memberi mereka hak mengatasnamakan Gayo?

Sebenarnya ini adalah pertanyaan menjebak yang kalau kita terjebak dalam frame yang dibuat penulis ini, jawabannya jelas tidak ada. Tapi kalau kita melepaskan diri dari kungkungan frame yang dibuat penulis ini dan melihatnya berdasarkan fakta yang benar-benar nyata maka jawabnya adalah mayoritas orang Gayo. Kenapa bisa kita katakan begitu?. Karena terbukti orang yang berbicara mengatas namakan Gayo itu masih hidup, tidak mati dipukuli oleh orang Gayo, yang merasa tersinggung karena telah di atas namakan. Atau kalau mau bukti yang lebih halus, kita sama sekali tidak melihat orang yang mengatasnamakan Gayo itu  diserbu oleh orang Gayo, diprotes dan dimaki-maki karena apa yang telah dia sampaikan tidak mencerminkan sikap mayoritas orang Gayo. Justru kalau benar-benar kita perhatikan, yang sibuk protes dan memaki-maki orang yang mengatasnamakan Gayo itu adalah orang Aceh.

Jadi, cukup bagus Lintas Gayo memuat tulisan-tulisan yang melihat konflik antara Aceh dan Gayo ini dari angle yang berbeda seperti ini. Cuma kita sebagai orang Gayo, harus membacanya dengan cermat dan hati-hati, jangan ditelan mentah-mentah tulisan seperti ini.

Karena meskipun di tulisan ini penulis mengatakan ada yang sedang melakukan Devide et Impera di Aceh. Sebenarnya yang sedang melakukan Devide et Impera itu adalah penulis artikel ini sendiri. Dengan menggunakan bahasa yang santun dan mengundang simpati penulis artikel ini dengan cerdik memecah belah persatuan Gayo, agar kita orang Gayo selamanya tunduk di bawah kendali Aceh.

*Analis Politik, tinggal di Jakarta

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

3,627 comments

  1. alah yang nulis di atas ini orangnya kayak anak2, mimpi x ya kalau mau jadi pahlawan.
    tulisan orang2 tak jelas aja dia bisa ngamuk2 marah2, makanya kalau tahu sakit “ditampar” jangan suka “menampar” orang lain. nanti mencak2 marah2 kayak anak kecil

  2. sbenarnya kalo kita pecah pun keadaan tak akan berubah, yg berkuasa tetap org orang itu aja. toh kita yg sudah mendiami wilayah Aceh ini tidak pernah ada sentimen antar suku..
    mendingan kita bersatu, tekatkan kuat untuk bangun wilayah kita, menjadi wilayah yg maju lebih penting dari pada memenuhi kenginan politik segelintir orang . ACEH tetap SATU

  3. apakah ketika ALA terwujud, akan ada dana OTONOMI yang besar seperti yang di terima aceh saat ini? kmudian apakah akan bisa kita menerapkan syariat islam sperti aceh saat ini?, apakah kita orang gayo dapat berlaku adil terhadap minoritas? dan dimana nanti ibukota propinsi ALA itu?

  4. betol skali yg terjadi skrg adalah perpecahan yg sudah nyata dan berbasis sara…. hal ini memang belum nampak di permukaan namun dalam nadi kedua grup ini mengalir deras keegoan sukuismenya.
    entah kapan akan berakhir perseteruan tak kentara ini???? apakah ketika ALA terwujud??? hanya Tuhan yg bisa menjawab
    smoga sara tidak menimbulkan konflik horisontal. amin