Fatamorgana Kebahagiaan Koruptor

Oleh: Setyo Pamuji*

Setyo PamujiSECARA primordial, seseorang melakukan korupsi mempunyai tujuan supaya hidupnya bahagia dengan harta yang ia peroleh, meskipun dengan jalan kurang, bahkan tak baik. Lantas, benarkah kebahagiaan bisa didapat dengan melakukan korupsi?

Korupsi merupakan penyakit kronis yang mempunyai banyak ke-mudharat-an. Berawal dari nafsu hewaniah seseorang, dampak korupsi dapat dirasakan oleh berbagai elemen masyarakat. Selain negara mengalami kerugian akibat tindak korupsi, maka ulah oknum yang tak bertanggung jawab ini mempersempit ruang hidup masyarakat bawah. Bagaimana tidak? Uang yang seharusnya digunakan untuk mensejahterakan rakyat masuk ke kantung pribadi. Sehingga, angka kemiskinan di negeri ini tak kunjung turun secara signifikan.

Kemiskinan yang diakibatkan oleh koruptor mempunyai keburukan tersendiri bagi stabilitas negara. Selain demontrasi secara anarkhi, hal itu juga memicu tindak kriminal tumbuh secara subur, terlebih di kota-kota besar. Kesenjangan yang terlampau jauh antara miskin dan kaya akan menumbuhkan kecemburuan sosial.

Pada akhirnya, keterpaksaan orang miskin untuk mencuri, merampok, bahkan hal yang lebih keji dari itu, sebagai usaha untuk bertahan hidup. Lantas siapa yang patut disalahkan? Orang miskin kah, yang berusaha untuk bertahan hidup, terlebih untuk keluarga, bahkan anaknya yang menunggu sesuap nasi penyambung hidup?.

Adanya tindak korupsi juga berimplikasi terhadap kepercayaan rakyat pada pemerintah. Terbukti, banyak orang-orang yang cenderung lari kepada tokoh masyarakat dalam menghadapi masalah. Jika, tokoh masyarakat tersebut baik dan dapat dipercaya mungkin tak jadi masalah, tapi khawatirnya tokoh masyarakat tersebut merupakan antek teroris. Sehingga, mereka para korban korupsi menjadi jalan mulus “perkaderan” teroris di negeri ini.

Jalan Bahagia yang Salah

Sebenarnya hal yang wajar ketika seseorang menginginkan kebahagiaan dalam hidupnya, selama tak merampas kebahagiaan milik orang lain. Maka, tindakan korupsi tak dapat dibenarkan. Mereka para koruptor merampas kebahagiaan orang lain dengan mengambil hak-hak yang bukan miliknya.

Seorang koruptor berfikir materilah yang mereka kira dapat mendatangkan kebahagiaan. Mereka bekerja hanya dengan menggunakan nafsu hewaniah saja, bukan dengan hati. Padahal, seorang yang cenderung menggunakan nafsu  semata dalam melangkah akan merasa kering dan tak pernah puas.

Analoginya, seorang yang hanya bekerja dengan hasrat nafsu hewani semata adalah seperti tikus yang diberi keju di depannya. Keju tersebut ditalikan pada sebuah tongkat panjang dan kecil. Tongkat tersebut dilekatkan atau ditalikan dipunggung si tikus. Sehingga, tikus tersebut terus mengejarnya karena ia kira akan mendapatkan keju tersebut. padahal, keju tersebut tak akan mereka dapatkan, begitupun kebahagiaan melalui materi yang diharapkan oleh seorang koruptor.

Selain tak ada kebahagiaan dalam diri seorang koruptor [seperti yang diceritakan dalam sebuah hadis “Kebaikan adalah dengan berakhlak yang mulia. Sedangkan kejelekan (dosa) adalah sesuatu yang menggelisahkan jiwa. Ketika kejelekan tersebut dilakukan, tentu engkau tidak suka hal itu nampak di tengah-tengah manusia.”( HR. Muslim no. 2553.)], juga berakibat buruk bagi para pelaku koruptor sendiri. Selain hilangnya kepercayaan publik, juga menghinakan diri sendiri.

Harkat dan martabat seorang koruptor tak ubahnya binatang yang tega hati memakan bangkai saudaranya sendiri. Selain itu, hukuman penjara juga siap menampung para koruptor. Oleh karena itu, cara memperoleh kebahagiaan dengan jalan yang salah justru akan menyiksa atau membuat penderitaan bagi dirinya sendiri.

Hakikat Kebahagiaan

Ketika seorang yang kurang sempurna fisiknya dapat senyum dengan ikhlas, lalu apa dan dimana kebahagiaan itu? Seperti itulah sebaiknya para (calon) pelaku koruptor berfikir. Sehingga, mereka tak lagi berfikir sempit terkait kebahagiaan. Kebahagiaan yang diukur oleh koruptor, yakni dengan parameter materi hanyalah kebahagiaan semu dan menjerumuskan. Bukan maksud menafikan materi, tapi jalan mereka untuk mendapatkan materi lah yang patut dibenahi.

Kebahagiaan merupakan dambaan dalam tiap insan, lalu apa itu bahagia?. Socrates, Seorang filsuf besar yunani kuno mengatakan bahwa tujuan tertinggi kehidupan manusia adalah membuat jiwanya menjadi sebaik mungkin. Dengan kata lain, Socrates menjelaskan bahwa orientasi kehidupan manusia adalah mendapat kebahagiaan (eudaimonia). Kemudian muridnya memberikan pemaparan bahwa kebahagiaan bukan bergantung pada keadaan di luarnya atau fisiknya, tapi lebih pada perbuatan yang benar.

Selanjutnya, Menurut al-Ghazali, puncak kebahagiaan dengan jalan ma’rifatullah, mengenal Allah SWT. Ma’rifatullah merupakan buah dari ilmu, yakni ilmu yang mampu mengantarkan manusia kepada keyakinan bahwa tak ada Tuhan selain Allah. Bahkan, dikisahkan bahwa Bilal bin Rabah merasa bahagia dengan keimanannya walaupun dalam kondisi disiksa.

Dalam kitab suci al-qur’an diterangkan bahwa kebahagiaan adalah dengan berlaku baik, bukan dengan merampas hak milik orang lain, yakni dengan korupsi, Orang-orang yang beriman dan beramal saleh, bagi mereka kebahagiaan dan tempat kembali yang baik” QS. Ar-Ra’d [13] : ayat 29.

Banyak para pemikir besar dari zaman klasik hingga kontemporer, bahkan dalam konsep Islam sepakat bahwa kebahagiaan diperoleh bukan dengan jalan yang batil, tapi denga jalan yang baik, tak merugikan orang lain. Jadi, masihkah berharap bahagia dengan melakukan korupsi? Tentu tidak.(setyop19@yahoo.co.id)

*Pengamat Sosial dan Budaya, Salah Satu Penulis Buku Ziarah Hati, Penerbit Citra Risalah Yogyakarta

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.