Takengen | Lintas Gayo – Diskusi bertajuk “Qanun Wali Nanggroe, Bendera dan Lambang Aceh, Kepentingan Siapa”, digelar Forum Leuser Antara (Fokus Lentara), Sabtu (30/11/2013), dihadiri tokoh-tokoh penting Gayo.
Sebagai pemateri pada acara tersebut antara lain, Rahman Kaoy Wakil Ketua Majelis Adat Aceh (MAA), M Jusin Saleh Ketua Majelis Adat Aceh (Mango), Dadeh Purnawira Sanusi Dosen Fisipol UGP.
Serta sejumlah tokoh gayo lainnya, Ir. Syukur Kobat, Tagore AB, Ibnu Hajar Luttawar, Irsaduddin (aman Iman), Arifin Banta Cut, Sidang Temas dan sejumlah mukim serta tokoh masyarakat lainnya.
Dihadiri oleh sejumlah mantan pejuang DI-TII yang merupakan pelaku sejarah yang saat ini sudah berusia senja, namun masih semangat bercerita ketika disinggung tentang marwah dan perjuangan Aceh masa lalu.
Kegiatan diskusi ini dihadiri oleh mantan-mantan pejuang DI-TII atau pelaku sejarah yang saat ini sudah berusia senja, namun masih semangat bercerita ketika disinggung tentang marwah dan perjuangan Aceh masa lalu.
Salah seorang tokoh senior DI-TII dan salah satu pelaku sejarah, yakni Sidang Temas. Tokoh ini bercerita selama Ia bergabung dengan DI-TII, tidak pernah telihat dan terlintas sedikitpun bendera Aceh berwarna merah. “Yang kami tau adalah bendera berwarna hijau dan bertuliskan kalimat La Ilaha Ilallah ,” ujarnya.
Dipaparkannya, selama menjadi anggota DI-TII, dia juga bergabung dengan pasukan Hasan Tiro dan Tgk Ilyas Leube. Namun tidak pernah melihat bendera berwarna dan becorak seperti saat ini (merah, garis hitam dan putih).
“Inilah salah satu perbedaan perjuangan DI-TII jaman dulu dengan GAM saat ini ,” ungkapnya.
Tokoh lainnya, Arifin Banta Cut salah seorang tokoh Gayo mengatakan, bendera dan lambang Aceh adalah bentuk dari lambang Yahudi, tidak perlu memaksakan diri agar rakyat Gayo menerima Qanun Wali Nanggroe, Bendera dan Lambang Aceh tersebut.
“Barang ini mau dijual (QWN, Bendera dan Lambang Aceh), mau ditetapkan jadi identitas, tidak boleh sembarangan, proses tidak jelas, makna tidak jelas. Ini adalah keinginan seseorang/kelompok yang dipaksakan ,” .
Dia menambahkan, produk (QWN, Bendera dan Lambang Aceh) yang dijual, bendera simbul dan identitas, tidak boleh dikarang sembarangan, harus digali dan diteliti.
“Ini adalah milik dan kepentingan entah siapa-siapa ,” ujarnya lagi.
Ditambahkannya, kalau mau membuat identitas Aceh, harus mengakomodir semua kepentingan rakyat Aceh, dengan tidak mementingkan kelompok tertentu.
“Kita harus waspada urusan soal lambang, awas aqidah kita tergadai, mereka harus berfikir kembali soal lambang, bendera dan isi qanun QWN,” ujar Arifin Banta Cut Lagi.
Dalam diskusi tersebut, semua tokoh Gayo yang hadir sepakat menolak Qanun Wali Nanggroe, Bendera dan Lambang Aceh yang dianggap tidak mengakomodir budaya, adat suku lain yang ada di Aceh. (Iwan Bahagia/R-Tn)