Oleh: Rahmah*
Sore itu, Kamis 5 Desember 2013, dalam perjalanan pulang dari tempat kerja, tiba-tiba saja sepeda motorku berhenti. Mesinnya mati. Kucoba starter, namun aku tak berhasil menyalakannya kembali. Aku mengumpat kesal dalam hati. Aku lupa berhenti di pom bensin yang jaraknya +200 m dibelakangku.
Kulihat kesekeliling. Tepat diseberang jalan sana, mataku menangkap sebuah galon bbm (bahan bakar minyak). Aku bersyukur, ini terjadi pas didepan sebuah tempat penjualan bensin eceran. Tanpa ragu, kulangkahkan kakiku menuju kedai yang tak hanya menjual bbm itu, namun juga menjual barang kelontong.
Suasana sore itu ramai. Kendaraan lalu lalang melintas dijalan raya, baik itu sepeda motor, mobil, bahkan sepeda.
“Bensinnya seliter, Pak!” kataku pada seorang laki-laki paruh baya yang duduk disebuah kursi dipojok kedainya. Tak lama, ia bangkit dan menuju rak bensin yang sudah diisinya kedalam botol bekas air mineral yang sama besarnya. Masing-masing botol itu berisikan bensin sebanyak 1 liter.
“Tapi, maaf Pak, kendaraan saya ada diseberang sana, tadi bensinnya habis tepat disana,” Jelasku kepadanya.
“Oh tak masalah, biar saya antarkan kesana, sepertinya, motor itu tahu betul bila galonnya ada disini,”Candanya dengan bersahaja.
Kamipun menyeberangi jalan dengan membawa satu liter bensin menuju sepeda motorku. Dalam hati kecilku menyesalkan, kenapa kendaraanku tak berhenti tepat didekat pertamina saja? Padahal aku bisa mengisinya full dengan harga yang sedikit lebih miring. Ah andai saja harga bbm tak melunjak seperti ini. Pikirku membatin.
“Nanti nusuk dimana?” Tanyanya sambil menuangkan bensin kedalam tangki yang sudah kubuka.
“Emm…Maksudnya, Pak?” aku balik bertanya sambil picingkan mata.
“Maksud saya kamu mencoblos dimana? ‘kan kita ini akan memilih wakil!” Jelasnya,
“Oh, pemilihan caleg nanti ya, Pak? Hmm… di Kecamatan X, Pak”Jawabku dengan santai.
“Apa sudah ada yang datang kerumah?” Tanyanya kembali.
“Wah saya kurang tahu, Pak, setelah menikah, saya tinggal bersama suami, otomatis saya jarang berada dirumah orangtua saya.” kujawab sekedarnya seraya menutup tangki yang sudah diisi bensin.
“Bila kamu mau, ehem… tu, lihat spanduk yang ada didepan kios saya tu, Bapak itu adalah caleg DPRD dari Kecamatanmu, tempatmu kan? Kebetulan sekali. Beliau juga asli orang sana. Kenal tidak?”
Akupun menggeleng. Aku mengerti betul apa maksud si Bapak ini.
“whaah… masa tidak kenal sama orang kampung sendiri? Kalau adik mau, datangi saja rumahnya. Perorang akan diberi uang mulai dari Rp. 50 sampai Rp. 200 ribu. Nah, bila beliau terpilih nantinya, akan ditambah lagi, kan lumayan, daripada tidak dapat apa-apa sama sekali?!” Ujarnya panjang.
Aku hanya bisa tersenyum sambil menyerahkan uang 10 ribuan kepadanya. Ia rogoh saku kemejanya lalu mengembalikan uang 2 ribu kepadaku seraya mengucapkan terimakasih. Saat aku hendak menstarter motorku, ia kembali berkata dengan raut wajah yang bagiku teramat serius,
“Kalau adik mau, apa yang saya katakan tadi tidaklah main-main, kalau tidak percaya coba buktikan saja sendiri.”
“Terimakasih, Pak, infonya.” Kututup pembicaraan yang tidak direncanakan itu sambil berlalu pergi.
Sebuah “lagu lama!” Fikirku.
Orang-orang terlihat semakin ramai menjelang maghrib. Suara klakson diarea lampu lalu lintas dipusat kota kecil ini terdengar melengking seiring menggemanya suara adzan. Kuamati detiknya yang bergerak mundur kebelakang menuju angka yang lebih kecil, kecil dan semakin kecil. Aku tak tahu mengapa aku malah jadi teringat kepada Bapak pemilik galon yang tadi. Berharap apa yang dikatakannya itu tidaklah benar walau aku tak begitu peduli pada hal-hal yang berbau politik. Namun andai benar adanya, ah betapa kecilnya nilai perbuatan si caleg yang dikatakannya itu, jauh lebih kecil dibanding angka yang sedang berjalan. Dengan kata lain, tujuannya ingin menuju kursi kemuliaan, namun menggunakan cara yang hina. Apa boleh buat?
Hal ini mengingatkan aku pada sebuah pepatah Gayo yang berbunyi “Juel koro, beli babi”, artinya, jual kerbau, lalu beli babi. Pepatah ini kurang lebih bermakna, seseorang yang memiliki obsesi dan ambisi yang tinggi, namun rela melakukan segala cara untuk meraihnya.
Di Gayo, Takingen, Aceh Tengah, kerbau adalah binatang ternak yang memiliki banyak manfaat. Selain dagingnya halal untuk dimakan, kerbau juga berfungsi untuk beberapa hal dalam bertani, seperti, membajak sawah, membawa beban atau barang sepulang dari rebe (kebun). Sementara, babi adalah binatang yang namanya sering kali dijadikan kiasan untuk hal-hal yang dominan berbau negatif. Seyogianya, umat muslim tahu bahwa daging babi itu haram, dan babi, dikalangan suku Gayo, bukanlah jenis binatang ternak, bahkan babi digolongkan kedalam jenis binatang buas yang berbahaya bagi masyarakat yang bercocok tanam.
Relevansinya yakni, seseorang caleg yang sesungguhnya memiliki niat yang baik untuk mendapatkan sebuah kedudukan, namun rela menghalalkan segala cara termasuk politik uang atau politik barang. Jelas sekali bahwa hal ini merupakan cara awal untuk membodoh-bodohi masyarakatnya. Apakah seseorang rela menukar seekor kerbau dengan seekor babi? Nah apakah cara ini akan memberikan hasil yang baik pula? Wallahualam.
Aku berfikir, ketika seseorang ingin mendapatkan apa yang ia inginkan dengan mengatasnamakan kepentingan orang banyak namun menggunakan cara yang ‘begituan’, tidakkah ia berfikir bahwa masyarakat akan menilainya dari cara awal atau pendekatan yang ia lakukan? Apakah masyarakat akan memilih calon wakilnya yang mengiming-imingi uang diawal dan nanti ketika ia sudah terpilih menjadi wakilnya? Apakah tugas seorang wakil rakyat itu adalah memberikan gaji pertamanya kepada segelintir tim suksesnya yang mendukungnya dengan semangat berkobar dan berapi-api? Lalu, dimana pula letak demokrasi? Ah, ini real juel koro beli babi!
Kebodohan semacam itu, apakah masih banyak dilakukan oleh para orang-orang yang berkeinginan untuk menjadi wakil rakyat? Bila iya, hal itu adalah kebodohan yang nyata, sebab kini, sebagian besar masyarakat sudah lebih cerdas dan akan lebih berhati-hati lagi dalam memilih wakilnya. Semoga saja!
Nada gitar seorang pengamen dibawah lampu lalu lintas mengagetkanku dari lamunan itu. Suaranya merdu, seorang laki-laki yang masih sangat muda. Ia dekati aku dengan tatapan penuh harap. Suara klakson kendaraan lain dibelakangku memekik menyuruhku untuk maju. Akupun berlalu tanpa bisa berbuat apa-apa.
Akhir-akhir ini, pengamen, pengemis, dan anak-anak yang mengais sampah kedalam karung, sering terlihat didataran tinggi Gayo nan sejuk ini. Aku tak tahu sejak kapan? Konon, mereka adalah kiriman, namun yang kutahu, aku dan mereka sama. Sama-sama bisa berusaha, sama-sama menetap di provinsi yang sama, sama-sama warga negara Indonesia, dan sama-sama punya peminpin dan wakil disana, bukan?
*Ibu Rumah Tangga dan Anggota Suara Gayo, Berdomisili di Takengen