Oleh : Ghazali Abbas Adan*
Serambi Indonesia dalam kolom “Salam” (Jumat, 17/01/2014) menyebutnya politik premanisme di Aceh. Dalam berbagai kesempatan, melalui tulisan dan lisan saya menyebutnya sebagai fasisme. Yakni dalam upaya mencapai rupa-rupa hajat syahwatnya wabil khusus tujuan mendapatkan kekuasaan sebagai pintu masuk (entery point) memuaskan rupa-rupa hajat syahwat yang lain mengedepankan kekerasan dan brutalitas. Dan benar belaka, demikianlah wujud nyata watak manusia primitif jahiliyah. Yang memilukan sekaligus memalukan dan memuakkah adalah perilaku demikian dengan pongah dan arogan dipertontonkan di tanah Aceh Nanggroe Syari’at, yang juga kerap diteriakkan Nanggroe mulia, bertamaddun, bermarwah, bermartabat dan meusyeuhu ban sigom donya, na’uudzubillaahi min dzaalik.
Terhadap perilaku manusia primitif jahaliyah tersebut, Kapolda Aceh secara langsung telah melaporkannya kepada Kapolri. Tentu kita memberi apresiasi kepada Kapolda atas perhatiannya itu. Namun kita, dan semua insan beradab, menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia sangat mengharapkan Kapolda mengintruksikan seluruh jajarannya dalam teritori Aceh yang berfungsi menjaga ketertiban, keamanan dan kedamaian dalam masyarakat, sekaligus mengawal wibawa dan tegaknya syari’at Islam di Aceh, niscaya secara serius, sungguh-sungguh, tegas, transparan, dan adil melakukan penegakan hukum terhadap siapapun yang mempertontonkan perilaku primitif jahiliyah itu. Inilah wujud nyata perlawanan terhadap mereka, bukan kekerasan dan brutalitas dilawan dengan cara yang sama. Dengan demikian benarlah ungkapan “apabila digigit anjing gila, jangan serta merta menggigitnya kembali, sehingga kita tidak sama gilanya dengan anjing itu”.
Salah seorang rakyat Aceh anti fasisme*