Oleh: Akim
Aceh : Dulu dan Kini
Aceh adalah nama sebuah daerah di Indonesia yang popular dengan sebutan Provinsi Daerah Istimewah Aceh kemudian berubah nama menjadi Provinsi Nanggoe Aceh Darussalam dan kembali dengan nama sebutan semula yaitu Provinsi Daerah Istimewah Aceh akibat diadakannya MOU Helsinki. Aceh merupakan Provinsi yang makmur, Jika kita melihat dari sudut historis aceh ialah wilayah yang kaya dengan sumber daya alam dan hasil bumi, sebenarnya Aceh merupakan wilayah yang mampu menyaingi negara tetangga kita seperti Singapura dari segi pembangunan fisik dan infra struktur apabila pemerintah pusat meninggalkan hasil alamnya 70% untuk Aceh.
Sumber pendapatan Aceh yang paling besar pada zaman Orde Baru atau yang biasa disebut Orba di massa kepemimpinan Soeharto sejak tahun 1965 sampai 1999 ialah dari sektor minyak dan gas atau yang biasa disebut migas yaitu LNG, Condensite, LPG, dan Crude Oil yang bernilai (broto) US$ 2,8 milyar. Aceh pula menghasilkan gas alam cair (LNG) 120-130 kapal pertahun dengan nilai perkapal US$ 6-9 juta, LPG sebanyak 30-40 kapal dengan nilai rata-rata US$ 2.700.000/kapal, Condensate sejumlah 673.402.340 barrel dengan nilai US$ 14-18 per barrel, Crudede Oil sejumlah 1,1 juta barrel perhari dengan nilai US$ 12-14/barrel ( Waspada, Juma’at 11 September 1998). Akan tetapi Hasil kekayaan alam untuk saat ini telah berkurang dan sangat jauh dari tahun 1965-1999, hal ini diakibatkan mulai habisnya sumber daya alam yang berada di Aceh ditambah lagi pada saat itu pelabuhan bebas Sabang yang maju jaya di era tahun tujuh puluhan cukup membantu masyarakat Indonesia dalam berniaga akan tetapi Pemerintah Pusat menutup mati pelabuhan bebas Sabang pada zaman Orde baru ( Orba) oleh Soeharto.
Menurut data yang saya peroleh dari situs BPS atau Badan Pusat Statistik Aceh, halaman ini memaparkan Presentase penduduk miskin (penduduk yang berada dibawah garis kemikinan) di Provinsi Aceh pada September 2013 yaitu sebesar 20 persen. Hasil pemaparan potret buram pendidikan nasioanal; Bahwa Provinsi Aceh sarat dengan masalah dan disamping itu, Pemerintah Aceh juga belum mampu mewujudkan pemerataan pembangunan sektor pendidikan antar kabupaten/kota di Aceh, khususnya kabupaten yang baru dimekarkan telah menyebabkan tingkat kemiskinan mencapai 20 persen seperti yang telah di paparkan di atas. Jika dilihat dari soal dana untuk pembangunan Pendidikan, Aceh merupakan Provinsi nomor 3 (tiga) yang memperoleh jatah dana pembangunan terbesar dari 34 (tiga puluh tiga) Provinsi yang ada di Indonesia.
Dana tersebut belum mampu mendongkrak mutu pendidikan di Provinsi Aceh yang memiliki luas lebih dari provinsi yang lainnya hal ini diakibatkan jumlah penduduk yang cukup besar mengakibatkan dana yang ada tidak memungkinkan untuk mengatasi permasalahan-permasalan tersebut, sehingga mengakibatkan Aceh memperoleh peringkat 27 mengenai Sumber Daya Manusia (SDM) di Indonesia. Betapa jauhnya ketinggalan Aceh akan permasalahan pendidikan ini, adapun pihak yang ikut andil akan perubahan tersebut ialah Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah harus serius untuk menangani permasalahan-permasalahan yang terjadi mengenai keterpurukan Aceh.
Solusi untuk Nanggroe Aceh Nyoe :
Permasalahan-permasalahan menegenai Aceh tersebut dapat diselesaikan apabila kondisi perekonomian Indonesia ataupun khususnya Aceh memiliki keadaan perekonomian yang ideal, akan tetapi melihat situasi saat ini Perekonomian yang ada di dalam Pemerintahan Aceh sangat bermasalah pula. Dan solusi yang dapat memecahkan permasalahan ekonomi di Aceh ialah membuka Wisata Syariah di Provinsi Aceh.
Wisata Syariah di Provinsi Daerah Istimewah Aceh merupakan suatu usulan yang ideal, mengingat Provinsi Aceh adalah salah satu wilayah yang mayoritas penduduk Islam terbesar di Nusantara dan memiliki aturan istimewah seperti Qanun Syariah Islam. Sebagaimana menurut Rusdi Sufi dan Agus Budi Wibowo atas Judul Bukunya, Ragam Sejarah Aceh : “Pengaruh agama islam yang kuat menyebabkan pola pikir, sikap dan perilaku masyarakat Aceh dalam kehidupan sehari-hari sedapat mungkin disesuaikan dengan kaidah-kaidah islam. Namun sebaliknya praktik-praktik keagamaan mereka sesuaikan pula dengan tradisi atau adat-istiadat yang berlaku. Hal ini tercermin dalam sebuah ungkapan Aceh yang popular, yaitu adat ngon hukom hanjeuet cree lagee zat ngon sifeut, artinya adat dan hukum syariat Islam tidak dapat dipisahkan seperti unsur dengan sifatnya.”
Melihat kutipan dari Rusdi Sufi dan Agus Budi Wibowo tersebut, hal ini jelaslah bahwa Aceh yang kita diamin ini dari sejak dulu memiliki hubungan yang erat dengan islam, oleh sebab itu Wisata syariah merupakan suatu solusi yang sangat ideal, dan benar-benar harus diperhatikan oleh Pemerintah Daerah yaitu Pemerintah Aceh. Apalagi Pemerintah Pusat lagi semangatnya menawarkan 9 (Sembilan) destinasi Wisata Syariah dan memperkenalkannya ke seluruh Dunia, Tetapi sangat disayangkan pada tahun 2013 Aceh merupakan wilayah yang tidak termasuk ke dalam 9 (Sembilan) wisata syariah tersebut. Adapun wilayah yang ditawarkan Indonesia, yakni Sumatra Barat, Riau, Lampung, Jakarta, Baten, Jawa Barat, Jawa Timur, Lombok, Makassar (Antar News). Bagaimana hal ini dapat terjadi ? inilah pertanyaan yang akan kita lontarkan. Jika kita melihat dari kondisi kita saat ini, Wisata Islam atau syariah memang belum kita sadari keberadaannya di Aceh padahal dapat kita ketahuai mengenai syaraih dan peneninggalan-peninggalan Kerajaan Islam wadah terbesarnya berada di Aceh akan tetapi produk-produk wisata dan akomodasi wisata tidak terdapat. Sebagaimana menurut Dirjen Pemasaran Pariwisata Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Penetapan wilayah-wilayah tujuan wisata syariah tersebut dilihat dari kesiapan sumber daya manusia, kultur masyarakat setempat, produk-produk wisata daerah, dan akomodasi wisata.
Dia menjelaskan, pariwisata syariah bukan hanya meliputi keberadaan tempat wisata ziarah dan religi saja namun juga mencakup ketersediaan fasilitas pendukung seperti restoran dan hotel yang menyediakan makanan halal dan mewarnakan syaraiah. Ia menjelaskan pula bahwa tahun 2010, Indonesia menerima kunjungan tujuh juta wisatawan dan 17 persen di antaranya merupakan wisatawan muslim. Dia memiliki Asumsi akan meningkatnya para wisata mancanegara terhadap Wisata Syariah tersebut setiap tahunnya.
Aceh ialah wilayah yang mempunyai peluang yang sangat besar akan keberadaan Wisata Syariah, oleh sebab itu Aceh harus memualai perhatiannya atas pembangunan wisata syariah. Adapun wilayah yang memiliki peluang devisa di Aceh diantaranya Wisata Makam Malikussaleh di Kabupaten Aceh Utara, Museum Tsunami Aceh di Banda Aceh, Pantai Sabang di Kota Sabang, dan daerah-daerah wisata lain yang berada di Provinsi Aceh. Daerah-daerah ini semestinya di lengkapi fasilitas pendukung seperti hotel dan restoran seperti yang diungkapkan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Bukan hanya itu saja akan tetapi promo atau pengenalan keberadaan Wisata Syariah kepada masyarakat yang berada di Indonesia atau mancanegara harus terus di promosikan sehingga pada tahun-tahun kedepan Aceh termasuk ke dalam destinasi Wisata Syariah yang ditawarkan Pemerintah Pusat terhadap wisatawan yang ingin berlibur di Indonesia.
Dengan terselenggaraanya Wisata Syariah di Aceh maka pemulihan-pemulihan perekonomian yang tadinya terpuruk dapat diperbaiki oleh Pemerintah Aceh dan bukan hanya itu saja Pemerintah Aceh juga dapat membenahi masalah pendidikan yang telah disebutkan sebelumnya. Pulihnya perekonomian dan pendidikan di Provinsi Aceh, maka Aceh adalah wilayah yang dapat disebutkan sebagai daerah bebas dari kemiskinan. Coba kita pikirkan sejenak dampak dari kemajuan dari wilayah kita ini yaitu Aceh. Kita tidak lagi menjadi bahan cemohan atau bahan cerita karena kelemahan kita, akan tetapi wilayah kita menjadi sosok panutan bagi wilayah lain dan bahkan pulau jawa tidak lagi menyebut-nyebut daerah kita sebagai daerah tertinggal.
* Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh selaku penerima Beasiswa Bidikmisi Prestasi, dan Peserta Silaturahim Presiden SBY dengan Mahasiswa Prestasi Bidikmisi dalam Program Menuju Generasi Emas 2014. Email; Akimritonga@gmail.com