Oleh : Akim*
Aceh yang terletak di ujung barat pulau sumatera ini merupakan wilayah yang seakan tak pernah lupa melepaskan pesonanya ke penjuru negeri. Bermula dari konflik antara Aceh dengan sikap menentang pemerintahan Belanda, disusul oleh peperangan Darul Islam kepada Portugis, kemudian lahirnya Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang menghasilkan MOU di Helsinki, hingga Tsunami dengan 9,3 skala liter yang mencabik-cabik Ibu Kota Pemerintahan Aceh dan pula daerah pesisir lain yang mengakibatkan lumpuhnya perkonomian dan pemerintahan di Aceh.
Aceh seolah tak pernah takut akan cobaan yang diberikan Sang Maha Pencipta, sehingga permasalahan terlihat rutin menghampirinya. Ribuan korban telah berjatuhan akibat peperangan dan bencana alam. Alhasil, sikap ketakutan pun masih terlihat di mata masyarakat ketika berbicara mengenai peristiwa dibeberapa tahun silam.
Kini Aceh memasuki peringatan ke 9 (Sembilan) tahun pasca diadakannya nota kesepakatan atau MOU di Helsinki, Polandia pada 15 Agustus 2005 yang lalu, dengan menghadirkan nuansa damai antara Aceh dengan Indonesia. Yang memiliki harapan akan kemajuan pembangunan di berbagai sektor. Apa kabar perdamaian Aceh saat ini?
Agusta Mukhtar selaku Sekretaris Jenderal Komite Pengawal Perdamaian Aceh (KPPA) mengatakan bahwa “Pembangunan perdamaian yang terjadi di Aceh masih sangat ekslusif, sehingga kesejahteraan rakyat masih belum terpenuhi secara nyata”.
Mendengar penuturan tersebut, bukanlah menjadi suatu alasan untuk menyudutkan pemerintah Indonesia kali ini. Karena anggaran pembangunan, diberikan pemerintah pusat kepada Aceh yang tergolong cukup besar telah dirasa mampu untuk membendung permasalahan tersebut. Tapi sungguh disayangkan belum terciptanya manajemen pembangunan yang baik sehingga menjadi akar permasalahan dalam hal ini.
Kondisi Kekinian Pembangunan Aceh
Peringkat ke 3 (tiga) atas jatah dana pembangunan terbesar dari 33 (tiga puluh tiga) provinsi yang ada di Indonesia, rupanya telah dimahkotai oleh Aceh. Tercatat pada tahun 2008 hingga 2013 Aceh telah menerima lebih dari Rp 100 triliun dana pembangunan dan dipastikan akan terus meningkat di masa mendatang (Public Expenditure Analysis and Capacity Strengthening Program/PECAPP, 2013).
Sungguh kasihan daerahku ini, provinsi yang kaya dengan anggaran pembangunan tapi sarat dengan masalah. Hal ini terlihat jelas, bahwa pemerintah Aceh belum mampu mewujudkan pemerataan pembangunan di berbagai sektor dan hanya terfokus pada kota-kota besar saja.
Alhasil, kabupaten yang baru dimekarkan menyebabkan presentase penduduk yang berada dibawah garis kemikinan di Provinsi Aceh pada September 2013, meningkat hingga 20 persen (Badan Pusat Statistik, 2013). Yang mengakibatkan timbulnya kecemburuan daerah lain akibat tidak meratanya pembangunan di Aceh.
Berbicara di sektor pendidikan juga tidak mau kalah ketinggalan, kualitas tenaga didik di Aceh menempati peringkat 28 (dua puluh delapan) dari 33 (tiga puluh tiga) provinsi yang ada di Indonesia. Maka, tidak heran ikut berdampak pada kualitas siswanya sendiri, apalagi pada musim SNMPTN tertulis tiba. Aceh menempati posisi 31 (tiga puluh satu) jurusan IPA, dan 28 (dua puluh delapan) untuk jurusan IPS dari 33 (tiga puluh tiga) provinsi di Indonesia. Dan pula disebut-sebut sebagai wilayah langganan kegagalan UAN disetiap tahunnya.
Prestasi Mahasiswa di PTN/PTS Aceh pun tidak dapat diharapkan di tingkat nasional. Program tahunan Dikti menuju PIMNAS, melalui Program Kreativitas Mahasiswa (PKM). PTN diluar Aceh membabat ribuan proposal yang masuk ke PIMNAS, sedangkan Aceh sendiri hanya mampu meluluskan 2 (dua) proposal penelitian ditiap tahunnya, sungguh sangat memperihatiankan wilayahku ini.
Pasca nota kesepakatan atau MOU di Helsinki dan peristiwa bencana alam mahadahsyat yang disebut tsunami. Begitu banyak bantuan pembangunan yang diterima Aceh, baik dari pusat maupun dari negeri jiran, sehingga telah banyak membawa perubahan.
Tingkat SMA saja fasilitas tidak kalah bagusnya dengan sekolah-sekolah di luar Aceh tapi tetap saja pendidikan Aceh masih mengalami keterpurukan. Hal ini karena Aceh masih hanya terfokus kepada pembangunan infrastruktur saja, belum memperhatikan kualitas sumber daya manusianya.
Manajemen salah urus, hal inilah yang terjadi di Kota Serambi Mekah ini. Belum mampunya pemerintah Aceh menggagas manajemen yang baik, mengakibatkan banyaknya permasalahan yang menghampiri, sehingga jauh tertinggal dari wilayah lainnya.
Solusi Akhir
Masih banyak permasalahan yang terdapat di tengah masyarakat. Diantaranya kemiskinan dan kebodohan merupakan penyebab timbulnya ancaman yang sering membayangi wilayah ini, sehingga Aceh belum dapat dikatakan damai.
Untuk mewujudkan manajemen pembangunan yang baik, menuju impian damai sejati bagi Aceh. Pemerintah Aceh perlu mengambil solusi akhir untuk memecahkan permasalahan yang selama ini mengancam.
Pertama, membenahi pemerataan anggaran pembangunan di setiap sektor. Pemeratan anggaran yang dimaksud ialah menempatkan posisi anggaran di setiap sektor dengan manajemen yang baik. Tidak terfokus kepada pembangunan kota besar saja, akan tetapi daerah tertinggal yang ada di sudut kota atau pedalaman Aceh juga harus diperhatikan.
Tindakan pembangunan yang terarah merupakan cara untuk meredam kekecewaan masyarakat yang selama ini telah berlarut-larut terhadap pemerintah Aceh. dan pula salah satu cara memperbaiki stigma di tengah masyarakat terhadap pemerintah Aceh, yang selama ini disebut-sebut pilih kasih.
Kedua, membenahi kualitas pendidikan. Kompeten atau tidaknya pendidikan di suatu daerah dilihat dari kualitas tenaga didik yang ada. Fenomena yang melananda Aceh saat ini ialah belum berkualitasnya tenaga didik di Aceh sehingga menempatkan siswa Aceh sebagi langganan kegagalan UAN di setiap tahunnya.
Meningkatkan mutu tenaga didik dirasa penting dilakukan, dalam upaya memajukan pendidikan di Aceh. Pemda Aceh harus menggalakkan program-program yang dirasa mampu membawa perubahan atas pendidikan. Yogyakarta merupakan wilayah yang disebut-sebut sebagi kota pendidikan. Dengan memiliki berbagai program pendidikan yang bersifat mandiri sehingga menjadikan pendidikan di wilayah ini maju.
Aceh, seharusnya dapat melakukan hal yang sama. Apalagi dengan dana pembangunan yang tergolong cukup besar dirasa mampu membawa pendidikan di Aceh kearah yang lebih baik. Bukan, halnya seperti saat ini yang hanya terfokus kepada pembangunan infrastruktur saja, malah kualitas SDM dinomor duakan.
Ketiga, menggalakkan lapangan pekerjaan. Kemiskinan di suatu wilayah dapat meningkat, apabila jumlah lapangan pekerjaan yang tersedia belum memadai. Aceh saat ini masih memiliki masalah akan hal ini, tidak heran di awal September 2013 yang lalu, presentase kemiskinan di Aceh mencapai 20 persen.
Membuka lapangan pekerjaan yang dapat menampung ribuan penganggguran di Aceh merupakan solusi yang harus digagas pemerintah Aceh kedepannya. Selain itu pula, Aceh dapat mengambil contoh dari kebijakan pemerintah daerah Sumatera Utara yang memiliki program mandiri mencerdaskan sumber daya manusia, yang bertujuan menekan angka pengangguran dengan memberikan pendidikan keterampilan bagi laki-laki maupun perempuan.
*Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh, selaku penerima Bidikmisi Prestasi, dan Anggota Budaya Menulis Bidikmisi Se-Aceh