“Aduh,” terdengar teriakan Jakfar. Lengan kananya dibelit denung (anguilla) sebesar betis kaki, panjangnya lebih satu meter. Sementara jempol tanganya digigit dan sudah masuk dalam mulut sidat yang runcing.
Terikan Jakfar semakin keras. Darah memenuhi jemari tangan pemancing denung ini (Bahasa Gayo). Saat itu penulis terkejut, tali pancing ditangan penulis mengendor. Ileih (Bahasa Aceh) semakin meronta. Hewan bertubuh licin yang mirip ular ini memberikan perlawan ketat. Darah terus bercereran di jemari Jakfar.
“Tareeek”, teriak Jakfar, tangan kirinya mulai mengcengkram sambil mengurut badan denung, lenganya masih dibelit mao besar. Sementara jempol kananya yang sudah masuk ke mulut denung, sekuat tenaga dia cengkram, memecahkan insang hewan yang hidup dalam bebatuan air ini.
Sejenak penulis bingung mau melakukan apa. Terbayang dalam benak, pemancing denung ini harus dilarikan ke rumah sakit. Tali pancing saya tarik kuat-kuat. Bersamaan dengan itu, Jakfar juga mengurut dan menyentak-nyentak tubuh denung hingga berbunyi “kreek kreek,”. Tulang belulang denung berderak, namun jemari Jakfar masih berada dalam mulut hewan predator air.
Kisah ini tidak sengaja penulis saksikan. Awal mulanya ketika Jakfar, penduduk Kampung Baru Takengen Barat Kecamatan Lut Tawar, Aceh Tengah, bercerita tentang kebolehanya menangkap sidat. Penasaran ingin melihat bagaimana aksi menangkap hewan yang ketika kalap mau menyerang manusia, penulis mengikuti ajakan putra asal Lamlo, Pidie ini.
Di tengah malam yang dingin, kami berdua menyusuri DAS Pesangan, Lut Tawar Takengen. Lokasinya dipilih yang berbatu. Denung biasanya menunggu mangsanya dari dalam batu, ketika hewan air yang kecil masuk ke dalam perangkapnya.
Umpanya selain perut ayam, juga anak ikan yang ada di sungai. Nyaris penulis mengajak pulang, karena sudah 2 jam lebih menyusuri sungai dalam kedinginan malam di negeri berhawa sejuk ini, tidak ada kail yang dimakan denung.
Saat kail yang diikat ke ranting pohon mulai digulung, akan beranjak pulang, tiba-tiba ada sebuah ranting yang mengeluarkan bunyi,” pres”. Kemudian ranting ini berayun ke atas dan ke bawah menukik mengikuti tarikan dari dalam sungai.
“Kena,” sebut Jakfar. Gantian kami memegang tali sebesar sapu lidi ini, namun sudah 15 menit belum juga ada tanda denung akan keluar dari sungai. “Pegang yang kuat, saya akan turun,” sebut Jakfar. Tali kail itu penulis pegang sambil melihat Jakfar turun ke sungai yang kedalamanya mencapai 1 meter.
Dalam waktu sekejab, Jakfar sudah memegang tubuh denung, namun hewan ini memberikan perlawan melilit dengan kuat lengan kananya. Saat itu penulis terkejut, benang yang dipegang ahirnya mengendor. Saat benang kail ini kendor, denung menyambar jempol tangan Jakfar.
Teriakan “aduh”, mengawal pertempuran berdarah. Namun setelah disentak-sentak, muncul bunyi “kreek” dari hewan ini. 5 menit kemudian, lelaki yang bekerja di tukang gigi Modern, Takengen, berhasil mengangkat denung ke darat.
Lilitan di lenganya belum lepas, demikian dengan jempolnya, masih dalam mulut denung. Namun karena sudah terbiasa, ahirnya lajang ini berhasil merobek insang yang langka dan mahal, darah kembali bercucuran.
Tanpa penulis memberikan pertolongan Jakfar berhasil mengatasinya. Walau jempol tangan kananya sedikit luka, namun dia melepaskan senyum. Denung, dagingnya lembut, gurih, wangi dan manis, jauh lebih enak daripada lele lokal. Namun banyak yang “ngeri” melihat bentuknya. Ternyata berburu denung di alam bebas, bukan hanya butuh keahlian, namun keberanian. (Bahtiar Gayo/ Waspada edisi Sabtu 9 Mei 2015)