SIKAP Syirajuddin (PAN) yang menyerahkan sertifikat tanah kepada Gerak Gayo, menjadi pembahasan publik. Pembicaraan makin hangat, tanah yang dijanjikan untuk UGP seluas 30 hektar sudah disertifikatkan atas nama pejabat.
“Tanah yang sudah bersertifikat dan diberikan kepada anggota dewan dan sejumlah pejabat, bukanlah lahan yang dijanjikan untuk UGP. Tidak ada hubunganya,” sebut Bupati Aceh Tengah, Nasaruddin, ketika Waspada meminta keteranganya.
Tanah yang dibagikan itu merupakan tanah pengembang dari PT Nosavan. Tanah ini sudah dibebaskan oleh Menteri Dalam Negeri nomor; 593.21-1001, tahun 1997 kepada PT Nosavan seluas 15 hektar dari 137 hektar tanah yang ada di sana. Selain Mendagri Yogie S Memet, juga dikuatkan dengan surat DPR Aceh (Abdoellah Moeda) dan Gubernur Aceh, Syamsuddin Mahmud menyetujui pelepasan hak itu (1996). Ahirnya keluarlah surat Mendagri.
Sisa tanah itu 122 hektar menjadi asset pemerintah Aceh.Sementara tanah untuk UGP, seperti yang diusulkan Pemda dan sudah direkomendasi semasa Gubernur Irwandi Yusuf, sampai saat sekarang ini belum dikeluarkan izinya dari Pemda Aceh. Mahasiswa kembali bergerak menuntut lahan kampus mereka.
Tanah seluas 122 hektar itulah yang dijadikan lapanga pacuan kuda, perumahan seniman, KPU, Kantor Dinas Kehutanan, Camat Pegasing, PU, Dinas Pendidikan, Pertanian- Peternakan, Whorkshop, RSU Datu Beru, SD. Mahkamah Syariah, Kapolsek, P2TPA, SKB dan sejumlah bangunan lainya.
Disana juga akan didirikan gedung untuk Makodim 0106 yang direncanakan akan dipindahkan dari pusat kota Takengen, Kampus UGP, Detasemen Subden 4 Mako Brimob Polda Aceh, Baitul Mal dan sejumlah fasilitas lainya.
Walau disana sudah ada sebagian kantor pemerintah, namun hanya beberapa persil tanah yang sudah mendapatkan ijin dari Gubernur Aceh selaku pemilik asset. Diantara tanah yang sudah mendapat izin Pemda Aceh ini, gedung KPU seluas 1.433 meter bujur sangkar, RSU seluas 76.468 meter bujur sangkar dan satu unit SD seluas 20.000 meter (2 hektar).
Selebihnya belum mendapatkan izin dari pemilik asset. Pemda Aceh membiarkan tanah tersebut bagaikan tak bertuan. Dulu di kawasan ini merupakan areal perkebunan nenas penduduk. Saat digarap menjadi lahan pertanian inilah, banyak yang mendapatkan surat dibawah tangan dengan sebutan ganti usaha/ kepemilikan lahan usaha.
Prosesnya seiring dengan perjalanan waktu, dari tahun ketahun semakin banyak yang tidak jelas, bahkan masyarakat mulai membangun perumahan di sana. Ada transaksi jual beli di bawah tangan.
Menyinggung tentang berpindah tangan ini, Bupati Aceh Tengah Nasaruddin, menjawab Waspada menjelaskan, pihaknya hanya bisa menghimbau agar masyarakat tidak menguasai lahan yang masih menjadi asset Pemda Aceh ini.
“Kami hanya bisa menghimbau, karena asset tersebut milik Pemda Aceh. Namun bila sekarang sudah berdiri perumahan serta sejumlah aktifitas lainya, itu bukan wewenang Aceh Tengah untuk menertibkan. Walau tanah tersebut berada di Aceh Tengah namun milik tingkat satu,” sebutnya.
Adam Muhlis, ketua Pansus IV DPR Aceh yang turun kelapangan mengecek LKPJ Gubernur Aceh, menjawab Waspada, menjanjikan akan menginisiasi agar secepatnya dibentuk tim Pansus guna menyelesaikan persoalan tanah yang bagaikan bom salju ini.
Gubernur Aceh ahirnya saat persoalan tanah ini menghangat dibahas, melayangkan surat kepada DPR Aceh agar pelepasan hak atas tanah di Blang Bebangka direstui DPRK. Dewan memberikan jawaban, pada prinsipnya DPRA memberi persetujuan kepada gubernur terhadap pelepasan hak atas tanah Bebangka.
Surat DPRK yang ditujukan ke Gubernur Aceh, tertanggal 30 Maret 2015 yang ditanda tangani Muharruddin, ketua DPR Aceh, meminta kepada Gubernur Aceh agar melakukan pengukuran dan penataan terhadap persil tanah dimaksud sesuai dengan peraturan. (Bahtiar Gayo/ Waspada edisi Sabtu 27 Juni 2015)
berita terkait : Pemda Aceh harus Angkat Bom Di Bebangka