BERBICARA soal Jeruk Keprok Gayo, tak bisa lepas dari sosok Wiknyo (61), warga Kampung Paya Tumpi, Kecamatan Kebayakan, Kabupaten Aceh Tengah. Meski hanya lulusan STM Pertanian, tetapi pengetahuannya tentang Jeruk Keprok Gayo tak perlu diragukan lagi.
Mengikuti jejak orang tuanya, Wiknyo mulai belajar dan menggeluti budidaya jeruk Keprok Gayo sejak tahun 1960. Puluhan tahun bergelut dengan salah satu komoditas unggulan di dataran tinggi Gayo itu, membuat sebagian orang menjulukinya dengan gelar Sang ‘Pakar’ Jeruk Keprok Gayo.
Julukan itu cukup berasalan, karena Wiknyo memang memahami betul tentang Jeruk Keprok Gayo mulai dari hulu hingga hilir. Selain fokus terhadap pengembangan Jeruk Kprok Gayo, Wiknyo juga konsen terhadap pengembangan beberapa jenis tanaman lain. Dijumpai Serambi di kediamannya di kawasan Kampung Paya Tumpi, Kecamatan Kebayakan, peertengah Juli lalu, Wiknyo memaparkan berbagai hal tentang Jeruk Keprok Gayo.
Mulai dari sejarah, hingga perkembangan terkini tentang keberadaan Jeruk Keprok yang menjadi kebanggaan warga Gayo itu. Wiknyo menyambut Serambi di rumahnya yang sederhana pertengah Juli lalu. Ia juga mengajak Serambi mengelilingi halaman rumahnya yang ditumbuhi pohon Jeruk Keprok setinggi hampir dua meter, terselip di antara batang kopi.
Buah Jeruk Keprok Gayo berukuran hampir sebesar kepalan tangan orang dewasa tampak bergantungan dan mengayun di antara cabang-cabangnya. Sebagian kulit buahnya sudah mulai menguning. Ranting-rantingnya melengkung, seakan tak kuasa menahan buah yang bergelantungan.
“Tunggu saya buka dulu jaringnya, biar enak difoto,” ujar Wiknyo sembari membuka pelindung buah jeruk. Meski hanya beberapa batang, namun Jeruk Keprok Gayo milik Wiknyo, memang memiliki kualitas super. Melihatnya bergantungan memancing selera ingin memetik dan mencicipi buahnya langsung.
Setelah beberapa saat ‘berpetualang’ di kebun Jeruk Keprok Gayo, dengan sederet penjelasan dari Sang ‘Pakar’ Wiknyo, cerita berlanjut ke beranda rumah. “Berdasarkan penuturan para orang tua, Jeruk Keprok ini ditanam pertama kali pada awal tahun 1920. Selanjutnya di tahun 1924, pengusaha kebun kopi Belanda membawa bibit Jeruk Keprok untuk ditanaman di pekarangan rumah di kawasan Desa Berkendal, dan Redines,” paparnya.
Diceritakan Wiknyo, Jeruk Keprok yang awalnya hanya untuk tanaman pekarangan, akhirnya mulai berkembang. Bahkan di tahun-tahun selanjutnya, jeruk tersebut dikembangkan di kawasan Desa Blang Kolak I dan Blang Kolak II, Kota Takengon. Pada awal 1940, mulailah dibuat semacam pembibitan di Komplek SMPN 1 Takengon.
Namun proses pembibitan sempat terbengkai di tahun 1942-1945 seiring dengan hengkangnya Belanda dari Tanah Gayo. Pengembangan Jeruk Keprok kembali terpuruk pada masa konflik DI TII di tahun 1954, karena pembibitan telantar dan tidak terurus.
“Pada saat itu, ada warga yang sudah menanam di pekarangan rumah-rumah mereka. Makanya Jeruk Keprok ini, bisa terus berkembang,” kenang Wiknyo. Baru di tahun 1960 budidaya jeruk keprok kembali berkembang. Bahkan pada tahun 1976 Dinas Pertanian Rakyat, membangun kembali pembibitan jeruk di Kampung Paya Tumpi.
Bahkan di tahun 1980 Jeruk Keprok berkembang massal di seluruh kecamatan di Aceh Tengah (sebelum pemekaran dengan Kabupaten Bener Meriah). “Sekitar tahun 1987, pohon pete pelindung kopi, diserang hama kutu loncat. Sehingga pelindung diganti dengan Jeruk Keprok ini,” tuturnya. Ia menuturkan Jeruk Keprok merupakan tanaman tumpang sari. Meski awalnya hanya untuk tanaman pelindung, justru bisa dijadikan untuk meningkatkan pendapatan petani selain berkebun kopi. “Ketika panen kopi selesai, petani bisa panen jeruk. Bahkan dalam setahun bisa dua kali,” tuturnya lagi.
Soal kualitas Jeruk Keprok Gayo telah teruji. Hal itu dibuktikan dengan hasil lomba buah nasional di Jakarta pada tahun 1993. Jeruk Keprok mendapat peringkat juara satu untuk tingkat nasional. Bahkan di tahun 1997, pada pameran buah di Mekar Sari, Cilengsi Bogor, Jeruk Keprok Gayo tidak tersaingi.
Bahkan ketika itu, dari 26 provinsi yang menjadi peserta, tak satu daerah pun bisa menyamai kualitas Jeruk Keprok Gayo. Baik kualitas maupun ukuran buah jeruk.“Jeruk Keprok Gayo, pernah mendapat pengakuan positif, baik bagi para petani di Aceh maupun di Indonesia,” kata Wiknyo.
Tapi sayangnya, pada tahun 1998 hingga 2005, popularitas jeruk keprok Gayo sempat down karena terserang penyakit busuk pangkal batang dan bermacam penyakit lainnya hingga tidak berhasil dikendalikan. Salah satu faktor, karena kondisi ketika itu, suasana Aceh, sedang dicengkram konflik sehingga tanaman jeruk banyak yang tak terawat. “Saya sekarang sedikit khawatir, hampir tidak ada kader yang memahami secara mendalam tentang komoditas jeruk keprok ini. Tapi tahun depan, saya berencana akan membina beberapa orang, sehingga ada generasi yang benar-benar ahli dalam bidang ini,” pungkas pria berusia senja ini. (Mahyadi/ Serambi Indonesia)