Oleh : Yunadi HR,SIP
Pelaksanaan pemilukada serentak tahap kedua, yang dilaksanakan di Aceh dan beberapa wilayah di Indonesia, tepatnya 9 Februari 2017.
Hal itu tentunya mendorong DPRK Aceh Tengah menyegerakan Penyaringan dan penjaringan Calon anggota Panwaslih Kabupaten Aceh Tengah, yang merujuk pada Qanun Aceh No.7 Tahun 2007, Tentang penyelenggara pemilu di Aceh.
Proses pendaftaran yang telah dimulai pada medio Desember,saat ini telah memasuki tahapan pengumuman yang lulus seleksi berkas calon.
Ironisnya, ditengah suasana yang begitu kondusif, lagi – lagi Komisi A DPRK Aceh Tengah melakukan tindakan semena – mena dengan menggugurkan beberapa nama, antara lain saya Yunadi HR,SIP (sarjana Ilmu politik) yang kebetulan juga Mantan ketua Panwaslukada 2011-2013 silam, juga atas nama Khairul Fauzi.
Yang menjadi persoalan adalah, bahwa saya dan saudara Khairul fauzi dalam melampirkan salah satu persayaratan yang dimintakan, yaitu copy Ijazah terahir yang dilegalisir oleh “pihak yang berwenang”.
Makna kata pihak yang berwenang tentunya adalah orang atau lembaga yang diberi kewenangan oleh Undang-Undang. Bukan justru sewenang-wenang.
Dalam kasus ini, Atas nama Yunadi HR,SIP dan Khairul Fauzi digugurkan oleh Panitia dalam hal ini komisi A dan kelengkapannya,dikarenakan melengkapi syarat Copy-an Ijazah pada Notaris. Tepatnya Kantor Notaris Cendri Nafis.
Pihak Komisi A DPRK, Beserta Kabag Hukum, yang harusnya paham hukum, hanya menyandarkan keabsahan legalitas Copy-an Ijazah pada Peraturan Mendiknas No 81 Tahun 2014. Sementara disisi lain mengabaikan keberadaan UU No 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris (UUJN). Dalam pasal 15 angka 2 poit d, padahal jelas disebutkan kewenangan Notaris membuat salinan fotocopy sesuai surat aslinya.
Gagal paham-nya Komisi A, beserta kelengkapannya,telah mencederai hak publik dalam berperan serta dalam kegiatan-kegiatan pelaksanaan pemilu yang nafasnya adalah Jujur dan adil serta adanya kepastian hukum.
Ditinjau dari Hirarki perundang-undangan, seharusnya Keberadaan Permendiknas, tidak membatalkan keberadaan UU 2 Tahun 2014. Bahkan Permen itu dua tingkat kedudukannya dibawah UU.
Sungguh ironis, saat kami konfirmasikan pada pihak Kantor Notaris Cendri nafis; beliau mengutarakan, harusnya “walaupun adanya permendikbud no 81/2014, peraturan ini nggak serta merta mencabut kewenangan notaris karena:
1. Kewenangan notaris tidak dicabut utk itu walau permendikbud tersebut telah ada.
2. Permendikbud tersbut tidak menyatakan batal/tidak sah pengesahan yg dilakukan oleh notaris.
3. Kewenangan notaris diatur oleh UU sedagkan aturan yg satu nya lagi adalah Permanen, tingkatannya beda.
Harusnya komisi A mengakui ke dua-dua nya karen dikeluarkan oleh dua instansi yg ditunjuk.
Akan tetapi sangat disayangkan Komisi A, justru dengan pongahnya menggugurkan saya dan saudara Khairul Fauzi, yang pada dasarnya menurut Undang-Undang kami pun memiliki hak legal untuk diluluskan.
Sungguh ironis, ditengah keinginan kita membaiknya kualitas dan martabat DPRK, justru disaat bersamaan, menginjak dan merenggut hak-hak rakyat yang dilindungi Undang-undang.
Penulis : Dosen Ilmu Politik Fisip UGP Takengon serta Peserta Calon Panwaslih Kabupaten Aceh Tengah).