Oleh hanif sofyan
Tahun 2016 menjadi tahun penuh optimisme bagi kota Takengen, Aceh Tengah untuk mewujudkan mimpi meraih anugerah Adipura. Semangat Pemerintah sebagai modalitas utama harus didukung secara partisipatif oleh seluruh masyarakat.
Konsep partisipasi masyarakat dalam pembangunan sudah dikenalkan oleh pemerintah sejak awal 1980-an melalui istilah pemberdayaan masyarakat. Partisipasi adalah suatu proses dimana pelaku (multistakeholder) dapat mempengaruhi serta berbagi wewenang dalam menentukan inisiatif-inisiatif pembangunan, keputusan, serta pengalokasian berbagai sumber daya yang berpengaruh terhadap mereka (Bank Dunia, 1994).
Pemerintah harus memulai perencanaan dengan berbasis partisipasi masyarakat yang berkarakteristik bottom up, namun inisiatif awal harus dari pemerintah (top level). Seperti dikemukakan oleh Korten (1998) bahwa proses pembuatan keputusan harus dikembalikan kepada rakyat, yang mempunyai kapasitas maupun hak untuk dimasukkan kedalam proses pengambilan kebijakan. Pemerintah (birokrasi) dalam hal ini berperan sebagai fasilitator yang bersifat proaktif dengan cara terlibat dan berdialog langsung dengan masyarakat. Keterlibatan masyarakat dalam pembangunan infrastruktur fisik adalah kesadaran yang tidak bisa muncul dengan sendirinya.
Mimpi besar pemerintah Kota Takengen untuk meraih Adipura adalah sebuah obsesi yang tidak hanya sebuah impian menghadirkan penghargaan Adipura di Kota berjuluk ‘Negeri Di Atas Awan’. Lebih dari itu Adipura merupakan wujud sebuah gengsi besar kota yang dapat menata lingkungannya dengan baik.
Memahami Adipura
Sesuai regulasi baru, Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 192 Tahun 2013, syarat bagi daerah untuk meraih Adipura diantaranya harus memiliki nilai dan inovasi dalam soal penataan dan pengelolaan lingkungan hidup. Adipura mensyaratkan bahwa, kota-kota yang berhak memperoleh penghargaan ini harus memenuhi standarisasi yang ketat, termasuk sistem tata kelola pembangunan wilayah atau tata ruang kota yang dapat memenuhi kriteria wilayah Ruang Terbuka Hijau maupun Ruang Publik.
Berdasarkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup no 37 tahun 1995 tentang pedoman Umum pelaksanaan Kebersihan kota dan pemberian penghargaan Adipura, ruang lingkupnya meliputi pembinaan kota dalam rangka meningkatkan kemampuan pengelolaan kebersihan kota; penilaian kebersihan kota meliputi aspek materi manajemen, peran serta masyarakat, kesehatan, tata ruang dan penghijauan serta aspek fisik.
Tujuannya, pertama, Terciptanya pelaksanaan pengelolaan kebersihan yang berhasil guna dan berdaya guna, yang merupakan hasil proses pengelolaan, pelaksanaan hukum dan pemanfaatan biaya yang tersedia secara optimal serta meningkatnya peran serta masyarakat dalam kebersihan kota.
Kedua; Terciptanya lingkungan perkotaan yang bersih, hijau, teduh, indah dan nyaman; Ketiga, Terciptanya pengembangan sistem dalam menentukan alternatif penerapan teknologi tepat guna; Keempat, Terwujudnya peningkatan pengawasan dan pengendalian pencemaran di perkotaan; Kelima,Terciptanya koordinasi dan kerjasama antar instansi terkait.
Strateginya dilakukan melalui; Pemantapan dan peningkatan koordinasi dan kerjasama antar instansi terkait, baik di tingkat pusat maupun daerah dalam pengelolaan kebersihan kota; Peningkatan kerjasama Pemerintah, swasta dan masyarakat dalam pengelolaan kebersihan kota.
Peningkatan prioritas program pengelolaan kebersihan kota; Penerapan dan pengembangan program minimisasi sampah yang mencakup : Pengurangan sampah, yaitu :Upaya mengurangi timbunan sampah dan tingkat bahaya yang ditimbulkan terhadap lingkungan dengan cara mengurangi langsung pada sumbernya. Penggunaan kembali, yaitu : Upaya pemanfaatan ulang terhadap sampah, sehingga dapat diperoleh manfaat lain dari sampah tersebut. Daur ulang, yaitu : Upaya pemanfaatan suatu sampah dengan melalui pengolahan secara fisika dan atau kimia, baik untuk menghasilkan produk atau bahan yang sejenis ataupun berlainan. Perolehan kembali, yaitu : Suatu upaya yang dilakukan melalui suatu proses tertentu yang bertujuan untuk memperoleh bahan-bahan bermanfaat dari sampah.
Peningkatan kemampuan sumber daya manusia di daerah dalam bidang pengelolaan kebersihan kota. Pengkajian dan penerapan teknologi yang sesuai dengan kondisi setempat; Pelaksanaan dan penegakan ketentuan perundang-undangan secara konsekuen dan konsisten dengan tujuan dan sasaran pembinaan kebersihan kota; Mengupayakan terlaksananya “cost recovery”
Faktor inisiatif yang berasal dan berkembang dari masyarakat menjadi kebutuhan yang krusial, sementara pemerintah selain menampung aspirasi juga dituntut memiliki kepekaan dalam merespon inisiatif.
Pemerintah dalam hal ini berkepentingan untuk membangun infrastuktur pendukung seperti pembangunan jalan, taman kota, pasar, hingga penataan areal perparkiran sehingga menciptakan sinergisasi antara keberadaan infrastruktur dengan keindahan, ketertiban dan kebersihan kota.
Belajar dari kota-kota lain yang telah terlebih dahulu meraih Adipura, pemerintah harus menyikapi perkembangan dan pengembangan kota sebagai konsekuensi logis dari rumus sebuah kota yang berkembang.
Problematika kemacetan, pertumbuhan fasilitas publik dan kebutuhan tersedianya kebijakan yang mendukung tata aturan seperti perparkiran dengan dukungan bea dan tarif serta punishment (ancaman tindakan hukum) bagi pelaku pelanggaran. Termasuk ketersediaan sarana yang mendukung terjaminnya kebersihan kota dengan dukungan dinas yang dilengkapi dengan fasilitas pendukung dan sistem yang mengatur operasionalisasinya.
Satu contoh yang sederhana berkaitan dengan pengelolaan sampah, dalam satu hari sekian ton kubik sampah dihasilkan dari berbagai aktifitas rumah tangga dan publik (pasar, kedai, waung) dan pusat perbelanjaan.
Dibutuhkan armada mobil angkutan sampah yang menyediakan kontainer penampung sampah dititik-titik yang dianggap aktifitasnya tinggi dalam jumlah yang memadai. Demikian juga sistem pengangkutan dan pembuangan yang terjadwal, Tempat Pembuangan Akhir (TPA) yang juga dirancang secara multi guna (pemanfaatan limbah potensial). Ritme dalam sistem tata kelola sampah yang terbangun secara baik, akan menggugah partisipasi publik untuk terlibat secara aktif.
Sosialiasi Gagasan
Kebijakan awal yang harus ditempuh oleh pemerintah untuk mendukung proses ritme seperti di atas adalah dengan sosialisasi secara masif. Informasi sejak gagasan awal untuk meraih Adipura harus menjadi konsumsi bersama. Masyarakat luas harus mengetahui apa yang menjadi sasaran utama dan bagaimana tahapan-tahapan yang sedang dan akan dilakukan oleh pemerintah
Dalam sosialisasi, pemerintah harus membuka ruang partisipasi masyarakat secara terbuka, menampung berbagai aspirasi termasuk peran kelompok-kelompok masyarakat di semua tingkatan untuk menginisiasi masing-masing gagasan yang berkorelasi dengan tujuan peraihan Adipura.
Gagasan seperti kampung ‘beriman’ (bersih, indah dan nyaman) melalui proses reward (penghargaan) dapat menjadi jalan masuk untuk memancing inisitif masyarakat berlomba menjaga kebersihan.
Gagasan lain termasuk mengajak peran semua pihak yang bersentuhan langsung dengan aktifitas publik seperti areal pertokoan yang harus menyediakan bak sampah, menanam satu jenis tanaman tertentu (yang ditentukan jenisnya) di areal sekitaran areal yang menjadi wilayah niaganya dapat mempercepat pencapaian tujuan.
Termasuk soal kerapian dalam penggunaan kanopi, boardsign (papan nama toko) dan penciptaan areal tertentu secara tematik, seperti Takengon Square. Pemanfaatan area publik secara tematik selain menciptakan bentuk pencitraan baru yang bisa dikaitkan dengan wisata kuliner, penjualan cendera mata, termasuk pusat informasi wisata yang dirangkap dalam setiap display atau produk yang dijajakan di-square yang sifatnya terpusat. Gagasan ini dapat menciptakan ikon dan destinasi wisata baru, bahkan gagasannya dapat dimulai dari Pasar Pagi sebagai sentra aneka produk sayuran dan buah segar yang didesain tradisional namun intinya ‘beriman’ (Bersih, Indah dan Nyaman).
Sementara pemerintah juga dapat melengkapi infrastruktur dengan sarana penunjang seperti penertiban dan penyeragaman papan nama jalan, pemasangan ornamen khas daerah pada tiang lampu jalan, maupun pemanfaatan median jalan dengan tanaman hijau.
Termasuk penertiban areal pedestrian (pejalan kaki)-trotoar dari para penjual kaki lima dan areal tertentu yang menjadi point of view, baik karena faktor tingginya pemanfaatan (seperti pinggiran atau median jalan utama). Maupun area publik yang selalu membutuhkan ruang besar untuk kenyamanan (seperti rumah sakit).
Pemasangan Baliho secara tepat, untuk iklan pariwara yang mengajak pada ketertiban, program pembangunan yang sedang didorong oleh pemerintah maupun pariwara untuk penyadaran hukum dan kesiagaan bencana, sekaligus dapat menjadi sarana pelengkap keindahan kota.
Dengan berbagai gagasan yang diinisiasi oleh pemerintah pada awalnya, nantinya akan mendorong insiatif dan partisipasi publik untuk mengikutinya. Internalisasi nilai-nilai mewujudkan impian Kota Takengen sebagai peraih Adipura pada 2016 ini harus dimulai dari atas pemerintah (birokrasi). Semua bentuk inisiatif sekecil apapun harus direspon positif oleh pemerintah dan diarahkan untuk meraih impian besar tersebut, apalagi dari kerja-kerja keras para ‘pahlawan kebersihan’ yang menjadi ujung tombak kota Takengen tetap ‘beriman’.
Inisiatif dan Sinergisitas berbagai multistakeholder dan keseriusan pemerintah menjadi modalitas paling penting mewujudkan impian peraihan Adipura di tahun 2016, tahun penuh gejolak dan keprihatinan. [hans-2016]
Hanif sofyan, Peminat Sosial Ekonomi
Program Magister UIN Ar-Raniry
Darussalam, Banda Aceh