Sejuta Saudagar Aceh, Kemiskinan dan Pertumbuhan Ekonomi

hanif sofyan
hanif sofyan

Oleh: Hanif Sofyan

Wacana ini begitu bombastis. Barangkali karena menyahuti kebutuhan empat juta enterpreuner yang gaungnya menggema kuat 2012 lalu. Bagaimana kabarnya hari ini?. Setidaknya setahun lalu Indonesia memiliki 0,18 persen enterpreneur setara dengan 400.000 orang dari total penduduk nasional. Idealnya diperlukan 4,4 juta enterpreneur, dan itu artinya ada kekurangan 4 juta lagi pada medio 2012 lalu. Gerakan ini diperlukan untuk mendorong dan mendongkrak pertumbuhan ekonomi yang lebih mandiri dan partisipatif plus multiplier efect menurunkan angka kemiskinan. Tidak hanya mengandalkan kekuatan pemerintah untuk menggerakan roda ekonomi. apalagi kita baru saja menggagas Aceh Investment Promotion, menjadikan Aceh sebagai salah satu Jawara Investasi Nasional.

Sebagai ilustrasi, kekuatan ekonomi Amerika disokong oleh 94,4 persen usaha kecil menengah, bukan oleh industri besar, sebagaimana dirilis Federasi Nasional Bisnis Independen (NFIB). Sehingga 99 persen dari semua entitas penyedia lapangan kerja mempekerjakan setengah dari angkatan kerja negara itu. Sementara Indonesia sebaliknya, sehingga kekuatan 32 persen pengusaha besar menengah, tidak mampu menahan goyangan krisis ekonomi yang menumbangkan Indonesia tahun 1989, lebih dari satu dasawarsa lalu. Dan pada dasarnya kita belum sepenuhnya sembuh dan bangkit dari krisis itu.

Upaya mendorong partisipasi perusahaan besar dengan trickle down effect, hanya menjadi wacana sesaat dan tak menemukan hasil signifikan. Karena pada dasarnya ada gap disamping dipicu persaingan juga ketidakseriusan para pengusaha kakap untuk melibatkan para enterpreneur kecil bergabung dalam konglomerasinya. Hulu hilir menjadi sebuah kekuatan yang dibangun oleh kelompok dan perusahaan keluarga, yang justru mencaplok banyak pengusaha kecil di hilir yang menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi di daerah bawah. Akibatnya pengusaha besar justru menjadi momok dan mesin pembunuh para pengusaha kecil.

Contoh mutakhir adalah gulung tikarnya pengusaha batik tradisional di sentra kerajinan batik Solo, karena tergusur oleh ekspansi banjir kiriman batik negara jiran Malaysia. Industri batik mereka membombardir sentra kerajinan rakyat dengan produk massal yang murah meriah dan berakibat menurunkan daya saing batik tradisional yang mahal karena produksi hand made. Dan dalam kasus ini pemerintah tak mampu berkutik menyelamatkan pengusaha batik tradisional kita, dan pengusaha kaya-pun apatis, meskipun hari ini batik menjadi salah satu ikon dan komoditi unggulan kita.

Antisipasi harus dilakukan, terutama tidak saja dengan proteksi pemerintah dalam mengawal pergerakan ekonomi, namun juga stimulan pemerintah dalam menumbuhkan dan menjaga sentra produksi tradisional dari serangan masif produksi pesaing. Kekuatiran tidak saja karena pertimbangan hidup mati perusahaan tradisional, namun juga nilai-nilai tradisi yang harus tetap terjaga agar produk tradisi kita tidak disabotase negara lain dan hak kepemilikan paten diakui oleh pihak lain karena makin hilang di pasaran.

Pertarungan Global
Kebutuhan kita akan enterpreneur merupakan kebutuhan mutlak dan harus. Banyak sisi keuntungan akan kita raih dengan pertumbuhan enterpreneur yang melimpah. Ketersediaan lapangan kerja, peningkatan tenaga terampil dan terdidik, perubahan mindset, terutama kemandirian dalam penyediaan lapangan kerja.

Dalam pertemuan Internasional Hari Koperasi 2012 silam, hadir pembicara yang juga seorang dosen disebuah perguruan tinggi di Malaysia. Kehadirannya untuk menularkan virus enterpreneurship dengan mengajarkan kepekaan intuitif para calon pengusaha muda kita dalam memahami dunia pasar secara lebih serius.

Menurut sang pakar, banyak hal menarik di Aceh yang menarik minat pengusaha di lintas negara, hanya saja faktor packaging, labeling dan marketing menjadi faktor kunci mengapa produk kita tak mampu menembus pasar luar dan berkompetisi secara sehat. Karena meskipun secara kualitas produk mereka mengakui keunggulan produk tradisional kita, namun mereka unggul dalam penguasaan tiga komponen penting tersebut, sementara kita justru selalu tersandung hal-hal tehnis dan hak kepemilikan, hak cipta.

Model kekuatan seperti itu yang seharusnya mendorong para enterpreneur kita untuk melesat. Konon lagi dalam perkembangan terakhir, kita unggul dalam komoditi kopi luwak yang harganya sangat kompetitif, sehingga produk Indonesia menjadi rebutan pangsa pasar komoditas kopi dunia dengan harga yang fantastis. Intinya masih banyak peluang terbuka, disamping kekurangpekaan kita dalam packaging, labeling dan marketing, masih sangat minim keikutsertaan kita menjangkau pasar secara langsung. Mengikuti event pameran, Expo yang digelar secara kontinyu di berbagai negara dengan jadwal event yang sudah tertentu karena menjadi bagian paket destinasi wisata.

Enterpreneur Aceh
Kelahiran program sejuta saudagar awalnya digagas Kamar dagang dan Industri (Kadin) Aceh, sebagai penyemangat wirausaha muda Aceh agar menghidupkan kembali semangat dagang Aceh di masa lalu yang sudah malang melintang ke mancanegara. Permintaan tindak lanjut program sejuta saudagar kemudian ditindaklanjuti melalui forum pertemuan pengurus Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) dengan gubernur terpilih ketika itu, Zikir, sebagai dorongan meminimalisir penggangguran. Apalagi Wakil Gubernur Muzakir Manaf adalah Ketua Tim Penanggulangan Kemiskinan Propinsi Aceh yang sedang bekerja keras karena berdasarkan survey terbaru Aceh berada pada peringkat lima daerah termiskin di Indonesia.

Program Sejuta Saudagar juga didorong selain untuk menurunkan angka kemiskinan, juga mengatasi pengangguran yang bertumbuh dan bertambah setiap tahunnya yang berdampak pada peningkatan kriminalitas dan beralihnya mindset menjadi Pegawai Negeri sebagai alternatif lapangan kerja paling prospektif dan menjanjikan yang selalu menjadi impian setiap orang yang menyebabkan ketidakseimbangan demand supply dan menciptakan pengangguran terbuka. Berdasarkan catatan terakhir Agustus 2013, karena keterlambatan berbagai proyek pembangunan pemerintah membuat 24.000 orang kehilangan pekerjaannya dan angka pengangguran bertambah 32 ribu orang. Seolah proyek menjadi tumpuan tak tertandingi. Sehingga secara keseluruhan jumlah angka pengangguran sudah menembus angka 210 ribu orang, dibandingkan Februari 2013 yang masih berjumlah 178 ribu orang (serambi, 7/11/13)

Dari penelusuran data mutakhir tersebut semakin tinggi harapan untuk mendorong kelahiran sejuta saudagar Aceh terutama melalui berbagai pelatihan peningkatan kapasitas, magang dan pelatihan kewirausahawan dengan mendatangkan tokoh sukses, dapat mendorong dan menstimulasi wirausaha muda membuka lapangan kerja baru, sebagai “penyedia” bukan “pemburu” setelah menyelesaikan pendidikan di sekolah dan perguruan tinggi.

Rangsangan lain adalah dengan membuka keran fasilitas pemberian modal, dengan paket kemudahan pemberian kredit perbankan bagi wirausaha muda. Dengan pendampingan intensif untuk mendobrak mindset buruk yang klasik bahwa wirausaha muda tak berpengalaman dan riskan masuk dalam daftar kredit macet.

Padahal terobosan sejuta saudagar Aceh adalah upaya mendobrak kebuntuan menipisnya lapangan kerja, meningkatnya angka kemiskinan dan kesenjangan sosial yang dapat memancing tindak kriminal. Dan keberhasilan wirausaha muda dapat menjadi stimulan mengejar pendapatan perkapita menjadi US$ 10.000/tahun dari pendapatan pada tahun 2012 yang masih berkisar US$3.600/tahun. Karena jika dibandingkan dengan Singapura saja sudah memiliki pendapatan perkapita US$45.000/tahun, Korea US$ 20.000/tahun dan Jepang US$ 45.000/tahun.

Wacana penuh harapan ini bukan sesuatu yang muluk karena paska tsunami pergerakan ekonomi kita begitu deras dan kita sedang melakukan percepatan pembangunan ekonomi di segala lini. Apalagi standar untuk mengukur keberhasilan capaian pertumbuhan ekonomi berbasis wirausaha, minimalnya di setiap negara setidaknya memiliki 2 persen enterpreneurship dari total seluruh penduduknya jika ingin sejahtera. Jika kita dapat menjangkaunya akan ada lompatan fantastis dalam mendongkrak pertumbuhan ekonomi kita yang membutuhkan rangsangan dari barisan wirausaha muda kita. Sehingga bisa meningkatkan daya saing sekaligus peningkatan capaian jumlah pendapatan perkapita secara nasional. (suara pembaharuan, 7/12).

*Pegiat ‘aceh environmental justice’

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.