Toweren

Kampung Yang Masih Sisakan Peradaban Masa Lalu
Entah kenapa kata Toweren bagiku begitu membius. Toweren hanya satu kata saja. Tapi Kampung di pelataran Bur Birah Panyang ini, menyimpan begitu banyak kisah. Kisah dari Kerajaan Syiah Utama yang beribu Kota Toweren.
Meski kini Toweren hanya Kampung Tua, sesungguhnya begitu banyak kisah sejarah gayo dahulu yang adiluhung tersimpan disini dalam sepi waktu yang menahun, beratus tahun. Sepi karena dinginnya kuyuni depik dan hasil karya yang fundamental. Miskin nilai dan berorientasi fee. Toweren adalah kisah sebuah peradaban dan peri kehidupan gayo tradisional yang kaya adab dan nilai.
Adab yang diatur dalam budaya ini merujuk pada Islam sebagai sumber utama referensi. Lihatlah bagaimana aturan Sumang (Pantangan) dibuat. Konon, berasal dari satu ayat di Surat Lukman. Masyarakat diatur dalam tata krama yang jelas dan menjaga pantangan saat duduk, melihat, bepergian,dan pantangan berbicara. Begitu tertib bermejelis. Indahnya hidup beradab. Perilaku yang bersandar tata krama adalah harga diri.
Ketika dua keponakanku Fadhil Adha , pelajar SMP 1 Takengen kelas 8 dan Nabil Aufa, kelas 7 SMP IT Azzahra, mengajak bersepeda di hari Minggu, 10 September 2017, spontan aku menyebut Toweren.Entah kenapa nama Toweren terucap begitua saja.
Kami bertiga bersepeda gunung. Kedua pelajar SMP yang kupandu ini senang bukan kepalang karena diajak menjelajah. Dua generasi gayo milenium belum tahu akan kekayaan nilai ini. Biarlah mereka merekamnya dalam memori meski tak harus mencatat.
Toweren tidaklah jauh dari Takengen. Hanya sekitar lima kilometer. Kekuatan otot kaki alias dengkul akan menentukan seberapa lama kami mengayuh. Mengayuh di udara bersih yang tak cukup terbeli uang. Adalah anugrah terbesar hidup di Dataran Tinggi ini dari Allah Azza Wa Jalla. Maha Suci Allah, Segala Puji Bagi Allah,Allah Maha Besar , Tiada Daya dan Upaya Kecuali atas Kehendak Allah. Kalimah sakti ini sudah terhujam di ubun ubun yang diwariskan Muyang Datu dahulu.


Tiba di daerah Ujung Baro, dua buah tulisan terlihat dengan warna cerah. Teluk One one dan Luttawar di kanan kiri jalan. Sayang, tulisan ini berada di jalur menurun dan tikungan. Sehingga sulit bagi wisatawan berhenti karena akan mengganggu lalu lintas.
Tulisan yang seharusnya dibuat besar dan di tempat yang strategis ini gagal menjadi latar foto para wisatawan sebagai bukti sedang berada di gayo. Meski bersemak dan sulitnya berhenti, saya meminta Fadhil untuk foto di lokasi ini.
Dari jalan yang tidak rata , berair dan bergelombang depan hotel Renggali, kami melihat hotel yang dahulu megah ini tampak tak terawat dan terurus. Terlihat kusam dengan beberapa bagian hotel yang tidak lagi terpakai.
Jika dahulu hotel disisi Danau ini dipenuhi kenderaan untuk menginap, bermain tenis atau berkaraoke. Kini tidak lagi. Tempat parkir terlihat kosong. Padahal sedang hari libur. Hotel ini kehilangan daya tariknya.
Berbeda dengan Renggali, setelah Tanyur Nunguk, One one terlihat semarak dan lebih ramai. Warung dengan sajian Ikan Bakar, lobster air tawar , Masam Jeng serta kopi arabika gayo yang diseduh manual oleh Republic Coffee , juga berbagai menu tradisional gayo ramai dikunjungi. Aroma ikan bakar dari Kantin Bu Lena terbang jauh bagi siapa saja yang lewat disana. Menggoda selera.
Kami tak tergoda untuk berhenti disini. Meski air liur sedikit keluar dirangsang aroma yang membuat cacing dalam perut berdemo. Sepeda terus dikayuh dengan koordinat yang telah ditentukan, Semenanjung pantai Toweren.
Bur Birah Panyang yang berdiri gagah bak lelaki perkasa, menantang kekuatan kami. Tanjakan Birah Panyang hingga ke Loyang Koro menguji fisik dan keahlian memindahkan gigi sepeda. Suara angin yang menerpa daun pinus bak ribuan jarum yang tertancap membelai dan berirama khas. Bedeso, mendesis. Orchestra kolosal.
Aku berhenti. Meneguk air minum yang diberi perasaan asam kuyun. Birah Panyang seolah menancapkan kekuasaannya hingga kedalam Danau. Menghempang angin dan melindungi depik yang rasbora tawarensis di pelukannya.
Rasbora tawarensis yang bila tidak musim raib bak ditelan bumi. Entah pergi kemana. Namun, bila angin kencang disertai hujan gerimis yang dinginnya menusuk tulang, pertanda depik akan mewujudkan diri dari gaibnya. Dinamai Kuyuni depik. Dan nelayan menyiapkan perangkap. Saatnya depik mumasir, menyimpan telurnya di sumber sumber mata air yang masuk kedanau.
Disana akan ada penyangkulan dan dedesen. Sayang kedua alat tangkap tradisional ini lenyap ditelan abad. Digantikan jaring atau doran yang bisa menjebak anak ikan depik sekalipun. Kearifan yang digantikan kerakusan yang memusnahkan.


Tiba di Loyang Koro, tampak turis lokal dari Pesisir sedang berkunjung. Loyang Koro tertulis di buku panduan bagi turis yang mengelilingi dunia. Lonely Planet. Dari Loyang Koro, hamparan Toweren terlihat di Dataran yang luas.
Sesungguhnya Toweren berada dalam pelukan gunung-gunung. Gunung –gunung ini seperti Benteng yang kokoh. Timur, Selatan dan Birah Panyang di bagian Barat Toweren. Hanya bagian Utara Toweren saja yang berbatas dengan Danau.
Bonus. Dalam bersepeda jika sedang mendapat jalan menurun disebut bonus. Dari Loyang Koro ke Toweren kami menikmati bonus. Sampai di awal Toweren, bau bawang merah begitu menyengat hidung.
Benar saja, sawah – sawah kini ditanami bawang. Ada yang sudah dipanen, ada yang baru ditanami dan bahkan dijemur. Laki dan perempuan bekerja disawah menanam bawang. Tidak ada gender. Bawang Toweren sudah ditanami sejak dahulu , tumbuh subur dan dijadikan salah satu sumber ekonomi.
Sambil terus mengayuh sepeda dengan pelan, ekor mataku terus membidik pemandangan indah ini. Petak sawah yang dulu basah ditanam padi, kini berubah kering dengan bedeng – bedeng yang teratur untuk bawang.
Sampai di satu pemandangan di sebuah petak sawah, seorang ibu setengah baya berkelubung ditemani anaknya, perempuan juga , sedang melubangi mulsa. Cekatan ibu berkelubung ini memindahkan kaleng susu bekas yang berisi bara api.
Hingga semua mulsa terlubangi. Sesekali dia meniup-niup kaleng agar bara api tetap panas. Aku terpesona. Pemandangan ini begitu indah. Ingin rasanya aku menarik tuas rem sepeda.Berhenti dan membidikan kamera. Tapi , aku juga takut menganggu aktifitas ini. Membuat ibu berkelubung kikuk karena difoto. Tercekat dalam suasana tak enak.
Aku memutuskan tak berhenti dan terus mengayuh pelan. Biarlah moment ini tidak kufoto dan hanya kurekam dalam memoriku. Sampai di Kampung Toweren, kami belok kiri. Menuju Kuala Toweren.
Sayang, jalan menuju Kuala begitu jelek. Bak kubangan kerbau. Mau apa lagi. Hanya ini satu satunya jalan ke Kuala. Padahal jalan dari Kampung Toweren ke bibir pantai paling cuma satu kilometer. Tapi kondisi jalan ini benar benar sulit dilalui. Berlubang dan berlumpur.
Dan sepeda kamipun seperti sedang mengikuti lomba dimusim hujan. Jika bertemu kenderaan lain, kami menepi takut kecipratan lumpur. Kuala ramai dilewati warga yang menjadi nelayan. Berjalan meniti becek atau berkendara.
Tiba di Kuala , pemandangan tak seindah dulu. Tumpukan material tanah dan batu tampak berserak. Meski perahu perahu yang dicat warna cerah berjejer rapi. Demikian juga keramba –keramba apung kini menyesaki Kuala Toweren.
Sebuah bangunan permanen tak pak tak terurus dan tak pernah digunakan setelah dibangun. Di Ujung Pesisir Kuala, tampak beberapa orang melempar pancing dan menebar jala. Aku terbius pemandangan ini.
Para pemancing berbaris menghadap Danau dengan harapan dijentik ikan jaher. Syukur kalau yang menariknya Bawal. Satu dua orang ujung pancingnya melengkung. Sang pemancing tersenyum dan menarik pancing gembira dengan celotehan lucu yang menggoda temannya yang belum dijentik. “…a kati kuarap ni gule i tuh kik. Enti kukodoke”, teriak seorang pemancing mengejek yang disertai tawa lepas pemancing lainnya.
Aku terpesona suasana ini. Begitu juga kedua keponakanku. Kuala Toweren, di musim ikan depik akan diisi keluarga nelayan setiap paginya. Kuala adalah satu spot foto yang menarik.
Saat musim depik, anak istri nelayan akan memunguti ikan depik dari jaring yang dipasang sang suami malam hari sebelumnya. Dan itu akan terlihat indah. Sabar, para perempuan dan laki laki ,satu-satu mengambil depik yang terjerat jaring. Satu menjadi belasan, puluhan, ratusan hingga ribuan ikan.
Para moge ikan akan datang membeli langsung pada nelayan untuk kemudian mengecernya dengan harga sedikit lebih mahal. Harga perkatok (Sara Kal) ikan depik Rp.25-35ribu. Sebuah harga yang pantas untuk ikan endemik Luttawar.
Kamipun pulang. Setelah hampir tiga jam menikmati Kala Toweren yang dipenuhi sampah dari hulu. Sampah plastik paling mendominasi. Bahkan pemper. Demikian juga sampah lainnya yang sengaja dibuang ke sungai dan dibawa ke muara Kuala. Ah….
Kembali melewati jalan yang rusak berat. Tak habis pikir, bagaimana jalan yang paling banyak diakses oleh warga dan turis ini dibiarkan tak diurus?. Ada apa? Mana skala prioritas?. Entahlah.
Terkadang sistim ini tak lagi sesuai kebutuhan. Otonomi disini telah hasil para pemimpin dan pengawasnya menjadi raja. Raja yang kuasai uang APBK sehingga bisa menunjuk hidung siapa saja yang setia. Bak selir. Para pengikut ini akan secara setia membayar fee. Melebihi hadiah dan zakat.
Manut dan patuh agar tetap terima proyek yang menjadi ukuran kehidupan normal. Materi.Setia pada uang dan aturan tak tertulis yang mengikutinya. Uang yang menurutnya membuat terhormat dan dihargai.
Jadilah seperti yang terlihat sekarang. Soal fee atau gratifikasi yang tidak diatur satupun payung hukum berproyek, menjadi wilayah gelap KKN yang dilakoni. Berorasi syariat, berpraktek sekuler. Tau sama tau (TST). Minyak babi cap unta. Lintas sektoral. Bak mafia dengan jaringan sel terputus.
Sebelum meninggalkan Toweren, aku masih melirik rumah di sudut Timur Toweren. Sebuah rumah maha karya peradaban gayo dahulu. Rumah Reje Baluntara yang dibangun dari kayu dengan sistim rasuk. Tanpa paku. Rumah Pitu Ruang yang dindingnya diukir kerawang dan gambar ikan ini tampak gontai diterpa zaman.
Beberapa bagian sudah melepuh digerogoti air dan telah miring. Bangunan yang ditelantarkan sistim dan orang orang yang mengelolanya. Dan pemimpin yang jabatannya didapat karena meminta, merayu,membayar dan memaksa amanah.
Jika bangunan yang demikian kaya ornamen serta arif menyiasati zaman kala itupun tidak dijaga , dilestarikan dan diakui, konon lagi membuat bangunan serupa. Kepedulian haruslah disertai kesungguhan dengan regulasi dan biaya. Bukan lagi orasi yang sesungguhnya tidak lagi disukai karena hanya sekedar basa basi kaku yang munafik.
Toweren yang dulu adalah Toweren yang kaya nilai dan tata krama yang mengatur adab berperilaku. Sistim Kerajaan Syiah Utama beribu Kota Toweren yang tidak monarki, tidak ablosut . Tapi bersistim demokrasi mini dengan istilah Sarak Opat.
Toweren adalah gambaran kehidupan Syariat Islam di masa lalu yang memisahkan mandi , cuci, kakus (MCK) serta Shalat, khusus bagi perempuan. Joyah Banan. Demikian juga Bank Islamnya yang disebut Keben Sariet.
Toweren kami tinggalkan menjelang siang. Kami harus berburu waktu karena hujan bisa saja menghadang. Kehidupan warga petani dan nelayan yang sederhana menjadi pesona akan arifnya masa lalu, entah besok.
Tanjakan Birah Panyang terasa lebih berat. Kekuatan dengkul berkurang drastis. Namun sepeda gunung ini memang dirancang memudahkan dengan gigi ringannya. Di sudut One one , kami tertarik mampir pada sebuah bangunan klasik di tepi jalan.
Ternyata sebuah kafe yang sediakan kopi enak. Kopi berbasis arabica gayo. Disana Dauan yang disapa Aan.Aan menamakan kafenya Republic Coffee. Semuanya manual brewing. Disana, seduhan manual keluar dari V60, vietnam drip hingga cold brew yang disaring selama 12 jam.


“Penggunaan cold brew yang agak sulit adalah menentukan berapa lama tetesan yang diinginkan”kata Aan. Karena kopi adalah doping yang memacu adrenalin, sangat tepat bagi peseda, segera kami memesannya.
Aku meminta espresso. Espresso yang berukuran 30 ml kuharap segera mendongrak semangat untuk menyisakan dua kilometer tersisa dari perjalan di hari Minggu, 10 September 2017. Sementara Fadhil dan Aufa menegak Kopasus.
Kamipun mengakhiri Minggu persis azan Dhuhur menyambut tiba dirumah.

Oleh : Win Ruhdi Bathin

Penulis : Owner WRB Coffe Shop Takengen

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.