Terkait dengan demo yang dilakukan oleh aliansi mahasiswa dan pelajar gayo di banda aceh yang memprotes DPRA yang mengsyaratakan Himne aceh harus berbahasa aceh,banyak akun media social terutama instagram yang memposting berita ini dan berita ini sempat menjadi trending topik selama beberapa hari.
Disini penulis bukan bermaksud membahas tentang pendapat setuju atau tidak setuju himne ini berbahasa aceh namun penulis lebih memberi analisis terhadap isu yang berkembang ini karna setelah isu ini berkembang banyak netizen yang pro dan kontra terhadap syarat himne yang harus berbahasa aceh ada yang sependapat namun ada juga yang tidak sepedapat ini wajar terjadi karna kebebasan berpendapat itu di atur oleh UUD 1945 pasal 28 ayat 2.
Namum yang sangat penulis sayangkan adalah masih banyak netizen yang tidak memiliki etika ketika memberi pendapat masih banyak sekali masyarakat yang tidak cerdas menggunakan media social,contohnya saja ketika isu ini muncul di akun media social instagram seperti di akun instagram Acehworldtime,Acehredaksi,dan masih banyak lagi, jika kita baca dikolom komentar akun berita ini banyak komentar komentar dari para netizen namun yang paling banyak bukan komentar atau pendapat positive namun lebih kepada ujaran kebencian terhadap suku gayo.
Penulis selaku orang gayo yang berdarah gayo merasa sangat kecewa karna komentar komentar yang tidak mencerdaskan itu penulis kecewa dengan komentar komentar yang malah semakin memecah belah persatuan.
Salahsatu contoh komentar nya setelah penulis buka lagi akun instagram itu tidak ada lagi komentar yang mengacu kepada ujaran kebencian berbau sara,mungkin komentar tersebut telah di hapus,tapi sehari setelah berita ini naik penulis melihat banyak sekali komentar tentang pencemaran nama baik dan penghinaan terhadap suku gayo ini yang sangat penulis sayangkan.
Kenapa masyarakat kita masih banyak sekali yang begitu bebabas berpendapat sampai kebebasan berpendapat itu tidak lagi berbentuk pendapat namun lebih kepada ujaran kebencian berbau sara,ketahuilah bahwa kebebasan bersuara di atur oleh UU dan dalam menjalankan kebebasan setiap orang harus tunduk pada pembatasan kebebasan yang di atur juga oleh UU jadi perlu dicerdasi bahwa kita memiliki hak dan kebebasan dalam berpendapat namun jangan sampai pendapat kita itu lewat batas yang di atur Undang Undang Negara.
Dalam kasus ini jika saja ada pihak atau organisasi yang mengadukan komentar negative netizen pada pihak yang berwajib bisa saja yang berkomentar di jerat UU no 19 tahun 2016 revisi UU ITE no 11 tahun 2008 pasal 28 ayat 2 tentang ujaran kebencian berbau sara.
Mungkin yang berkomentar berisi penghinaan terhadap nama baik suku saat ini sudah diperoses hukum,dan sangat disayangkan banyak masyarakat yang tidak mengetahui UU ITE tahun 2008 tentang pembatasan mengunakan media social sehingga masyrakat maya dengan begitu bebabas berkomentar,dan penulis berharap Undang Undang ini nantinya lebih di sosialisakan lagi agar semua orang bijak dalam mengunakan media dan beretika.
Sebagai penutup ada 2 konsekuensi yang akan dihadapi oleh internet user atau penguna internet agar lebih berhati hati dan bijak dalam berpendapat di dunia maya
1. Konsekuensi hukum
Yaitu bahwa kebebasan berpendapat di atur oleh Undang Undang 1945 namum kebebesan ini dibatasi artinya kita tidak boleh begitu bebas dalam mengunakan media social dan berpendapat
2. Konsekuensi social
Yaitu etika dalam mengunakan media haruslah beretika karna kita adalah mahluk social maka harus memiliki etika dalam berosialisasi bukan saja di dunia nyata namun juga di duni maya, mengapa dalam menggunakan internet atau media social harus memiliki etika? Karna:
- Latar belakang pengguna media social heterogen
- Komunikasi di media social didominasi oleh teks semata
- Media social tidak serta merta dianggap berbeda dengan dunia nyata
Semoga kita semua lebih bijak dalam mengunakan media dan lebih berhati hati menggungkapkan pendapat.
Oleh: Aldian Efendi
Penulis adalah : Mahasiswa ilmu komunikasi universitas syiah kuala
Mahasiswa asal Delung tue bener meriah