Calon Pembuka Bupati Aceh Tengah

Oleh : Yusradi Usman al-Gayoni*

 

Beberapa hari yang lalu (6/6), salah seorang bakal/calon bupati Aceh Tengah telah mendeklarasikan diri. Pasangan tersebut adalah Basri Arita ST dan Drs. Bahrum Syah. Msi. Bahkan, dalam media tersebut (Lintas Gayo–http://www.lovegayo.com/6249/basri-bahrum-deklarasikan-diri-21-ribu-ktp-terkumpul.html) disebutkan bahwa pasangan ini akan maju melalui jalur independen. Dengan demikian, pasangan Basri-Bahrum Syah adalah pasangan pertama yang mendeklarasikan diri. Sementara, pasangan lain yang kabarnya berhembus maju, masih berdeklarasi di tataran spanduk. Lebih dari itu, diberitakan bahwa mereka telah memeroleh 21 ribu Kartu Tanda Penduduk (KTP) pendukung. Padahal, menurut keterangan calon ini pula bahwa yang dibutuhkan, hanya 6500 KTP sebagai syarat maju dari calon independen.

Ada hal menarik terkait Basri Arita. Pertama: sebelumnya, santer terdengar dalam masyarakat bahwa Basri Arita, mantan Anggota DPR Aceh 2004-2009 ini akan maju bersama Ishaq MS (Mantan Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Aceh Tengah, tambah Mantan Sekretaris Daerah Kabupaten Bener Meriah). Pada akhirnya, Basri Arita menggandeng Drs. Bahrum Syah, M.Si sebagai wakil-nya. Kita tidak tahu pasti, kalau kabar tersebut benar, kenapa Basri-Ishaq sampai “pecah kongsi?” Apakah karena ketidak-siapan Ishaq? Atau, ada permintaan dari calon lain untuk mundur? Banyak spekulasi yang muncul di benak masyarakat. Pastinya, hanya Ishaq, kemudian Barsi-lah yang tahu jawabannya.

Pada akhirnya, keingintahuan masyarakat pun terjawab. Jawaban teka teki itu adalah dengan dilamarnya Drs. Bahrum Syah, M.Si sebagai pendamping Basri Arita. Bahkan, itikad dan keseriuan Basri dibuktikan dengan “akad akan setia berpasangan bersama” di Kampung Simpang Pet, Kecamatan Bebesen, kampung yang menjadi sekretariat pemenangannya.

Kedua, kepercayaan diri Basri-Bahrum yang menurut penulis terlalu “berlebihan,” yaitu dengan adanya dukungan 21 ribu KTP pendukung. Angka 21 ribu tersebut, tidak bisa dijadikan jaminan. Lebih-lebih, di tengah banyaknya calon yang maju. Mereka—pemberi 21 ribu KTP tersebut—kemungkinan tidak dengan serta merta akan memilih pasangan ini saat pencoblosan. Kalau benar, adalah sebuah keuntungan dan berpotensi menguatkan pemerolehan suara. Dengan kata lain, pasangan ini punya dukungan luas. Namun, kalau sebaliknya, jangan sampai berujung dengan kekecewaan (mu melas). Sehingga, muncul ujaran iyoh, pis naté é boh (iyoh, teganya boh) Sekali lagi, KTP boleh diberikan, namun di bilik suara: siapa yang tahu? Itulah yang menjadi persoalan sesungguhnya.

Hal tersebut disebabkan karena kondisi dan psikologis pemilih, khususnya yang punya hak pilih yang masih dalam keadaan labil. Mereka masih menilai, menimbang-nimbang, dan belum memastikan ‘reje’ (bupati) yang akan mengimami mereka lima tahun ke depan. Pastinya, mereka akan mengaca pada reje (bupati) yang sudah-sudah. Termasuk, incumbent (bupati yang masih menjabat) sekarang, sebelum memutuskan.

Di sisi lain, dari amatan penulis dari pemilihan umum kepala daerah (pemilu kada) dan pemilihan anggota legislatif, khususnya di daerah ini, ada sebagian (“banyak”) pemilih yang ‘mu jurung ku lah (mendorong ke tengah)’ Pada kenyataannya, “setelah di tengah,” mereka meninggalkan calon tersebut sendirian. Dengan kata lain, sesungguhnya, mereka (pemilih—yang bertife demikian) tidak betul-betul mendorong, mendukung, dan membantu calon yang maju. Walapun, tidak semuanya.

Berkenaan dengan hal itu, ibarat tutur (sistem atau istilah kekerabatan), orang-orang demikian, masuk dalam kategori tutur gasut (salah satu klasifikasi tutur menurut Mustaka AK [dalam al-Gayoni, 2010: 64]). Tutur gasut adalah bentuk tutur yang kerap berubah-ubah. Pada satu waktu, memanggil ama (bapak). Saat yang lain, memanggil abang (abang), pun (panggilan kepada adik/abangnya ibu), dan lain-lain. Pemakain tutur yang berubah-ubah tersebut disesuaikan dengan kondisi terjadinya tutur. Hal ini sesuai pula dengan teori Hymes (1968) dalam kajian Sosiolinguistik: setting/scane, participant, end, act, key, instrument, norm, dan genre. Berubah-ubahnya bentuk tutur tersebut bertujuan untuk menambah keakraban dengan calon dan menguntungkan yang bersangkutan. Lebih dari itu, biasanya dikuatkan pula dengan dukungan harfiah (lisan). Seperti, hana keti gere ari tengah^ha mi ama maju? (kenapa tidak dari dulu ama mencalonkan/maju?) asal ke abang maju, oya, mu tetah Takengen ni (kalau abang maju, oya, daerah ini [Takengen] pun bakal lebih baik), pun mi we ini pun (tinggal pun lagi yang pantas maju), tambah pelbagai kalimat yang bisa membuaikan calon.

Ujung-ujungnya, ada yang diharapkan dari calon, yaitu umumnya berupa ketep atau sen (uang). Ini pun tergantung, siapa yang datang. Kalau masyarakat biasa, maka yang diharapkan berupa ketep atau sen (uang). Atau, dalam bentuk materi yang lain, seperti bantuan untuk mesejit (masjid), mersah (menasah), ibu-ibu pengajian, beru-bujang (anak muda baik laki-laki maupun perempuan), dan lain-lain. Bila kontraktor, maka yang diintai berupa proyek, sementara bagi pejabat: incarannya adalah jabatan. Dengan syarat, kalau calon tadi berhasil menduduki kursi Takengen 1 (beta kédah). Rumus yang sama akan berlaku pula buat calon yang lain. Jadi, sebisa mungkin mereka (pemilih yang bertipe demikian) tetap “diuntungkan.”

“Stop Money Politics”

Yang jadi persoalan, kenapa hal itu terjadi? Momen pemilu kada (+ legislatif) jadi “pesta” tersendiri bagi rakyat. Karena, saat-saat seperti inilah mereka (rakyat) kerap diperhatikan. Setelah itu, mereka biasanya “ditinggalkan,” bahkan “dilupakan.” Selanjutnya, calon yang naik baik eksekutif maupun legislatif, yang tadinya memperjuangkan rakyat kebanyakan, setelah duduk akan memperjuangkan rakyat sebagian (kecil). Makanya, hal-hal di atas terjadi. Rakyat, khususnya pemilih seperti itu benar-benar memanfaatkan kesempatan. Sama seperti halnya awah nangkup, géh so wam, géh ini wam (siapa pun yang datang—harus betul-betul dimanfaatkan)

Hal di atas terjadi, tidak terlepas dari prilaku elite (calon yang maju). Tidak jarang, dalam praktik kampaye dan saat di lapangan, mereka memberi uang (ber-money politics) dan materi-materi yang lain, seperti: òròs (beras), semala (sajadah), bal (bola), dan lain-lain. Contoh lain, dalam didong (yang kerap digunakan sebagai propanda dan kampaye politik) Dewasa, berkembang sawer-menyawer. Pastinya, para elite dan pejabat lah yang merusak tatanan nilai-nilai didong. Lebih luas, dalam berpolitik, serta kehidupan sosial-kemasyarakatan. Singkatnya, mereka yang sesungguhnya mengajarkan hal-hal yang demikian.

Agar hal-hal dimaksud tidak membudaya dan melembaga dalam masyarakat, maka para elite politik dan pejabat (yang maju), tidak ber-money politics, transaksional, dan menuhankan materi dalam mendekati pemilih (berpolitik). Sebaliknya, bisa mendidik masyarakat dengan baik. Lebih dari itu, mereka harus benar-benar memperjuangkan kepentingan dan memuliakan rakyat. Bukan rakyat-rakyat-tan dan rakyat sebagian kecil. Di lain pihak, pelbagai elemen sipil harus tetap melakukan upaya-upaya pencerdasan. Akibatnya, dalam Pemilu Kada kali ini dan pemilihan anggota legislatif mendatang, masyarakat tidak akan salah memilih, seperti memilih kucing dalam karung (mu milih kucing wan karung). Génap si mulo, agih si bèlem.

 

*Wakil Ketua DPD KNPI Aceh Tengah (Periode 2007-sekarang)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.