Burung dalam Sangkar Terancam Kelaparan

Ketika hidup di alam liar dia bebas terbang memenuhi kebutuhan hidup. Beraktifitas sendiri, mencari makanan demi menghidupi keluarga, membesarkan anak anaknya.

Namun kini dia hidup dikarantina, disangkarkan. Tidak lagi mampu beraktifitas. Sementara suara anak anaknya yang di dalam sangkar, riuh.

Cicit mencicit dan paruhnya senantiasa dibuka, minta diisi agar lambungnya tidak kosong.

Bila dia tidak disangkarkan, maka akan terancam “punah”, karena menggilanya wabah. Namun sang tuan yang menyangkarkanya “belum” menyediakan makanan buatnya.

Dia harus berpuasa. Karena ketika disangkarkan, dia tidak memiliki apa- apa. Selama ini hidupnya, berusaha sehari untuk sehari untuk makan satu hari. Lagu korek bagok teduh ngeke teduh nyicok (bahasa Gayo, Ibarat ayam, tidak mengais tanah maka dia tidak akan makan).

Tubuhnya makin lama makin lemah, karena kurangnya asupan gizi. Daya tahan tubuhnya lama lama menurun dan berpeluang mudah terkena serangan penyakit.

Salahkah burung dalam sangkar menjerit dan berteriak, ketika lambungnya kosong? Bagaimana dengan sang “tuan” yang memintanya untuk disangkarkan demi menghindari wabah. Namun sang tuan sepertinya lupa, bahwa mahluk ini punya lambung untuk diisi.

Belum lagi harga kebutuhan pokok semakin melambung. Sumber pemasukan tidak ada. Selama ini untuk memenuhi kebutuhan hidup hasil dari keringat sehari, habis untuk hari itu. Kalaupun ada yang ditabung, hanya cukup buat jajan anak anak.

UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang kekarantinaan kesehatan memang mengharuskan penyelengara negara untuk menyelamatkan rakyatnya.

Namun ada pasal juga yang mengatur (Pasal 52 ayat 1) yang menyebutkan, selama penyelenggaraan karantina kebutuhan hidup dasar bagi orang dan makanan hewan ternak yang berada dalam rumah menjadi tanggung jawab pemerintah pusat dengan melibatkan Pemerintah Daerah dan pihak terkait.

Ruang tengah tak mengenal karantina, dia akan berbunyi krak krek kruk ketika kosong. Dia harus diisi demi mempertahankan hidup. Sang pemilik tubuh akan berupaya dengan cara apapun demi memenuhi lambung.

Bila perut kosong, daya tahan tubuh lemah, berpeluang mudah terserang penyakit, apakah selamanya sangkar akan kuat membendung mereka?

Daku mengunggu, kapan apa pihak yang jeli melihat keadaanku ketika daku di “rumahkan”.Ketika tangisan anak anakku terdengar, mereka meminta perutnya diisi, apa yang harus kulakukan. Bait bait doa kusampaikan, semoga prahara ini cepat berlalu.

Hidup bagaikan burung dalam sangkar, namun kebutuhan makanan tidak terpenuhi, apa yang akan terjadi selanjutnya? Siapa yang bisa mengerti keadaan mereka saat ini? (catatan Facebooks/ Bahtiar Gayo/ wartawan senior)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.