Pegawai Negeri Sipil sebagai aparatur pemerintahan sekaligus penyelenggara negara dalam bidangnya masing-masing merupakan faktor utama dalam mendorong keberhasilan sebuah agenda reformasi birokrasi. Aturan-aturan yang dibuat hanya merupakan aturan materiil yang tidak dapat terlaksana apabila tidak dijalankan oleh orang-orang yang memahami hakikat sebuah agenda reformasi birokrasi.Pemerintah Aceh dibawah kepemimpinan Irwandi Yusuf pada masa awal pemerintahannya sudah mulai melaksanakan agenda reformasi birokrasi, hal ini terlihat melalui proses fit & profer test yang wajib diikuti oleh semua calon kepala dinas, dan organizational rightsizing (penyederhanaan struktur organisasi pemerintahan). Kedua tindakan yang diambil oleh Irwandi Yusuf merupakan salah satu bidang cakupan agenda reformasi birokrasi yang diamanahkan oleh Perpres Nomor 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi. Tetapi yang lebih penting dari kedua proses tersebut adalah reformasi personel atau reformasi aparatur pemerintahan itu sendiri, selama ini reformasi aparatur pemerintahan yang sudah dilakukan oleh pemerintah Aceh adalah dengan meningkatkan sumber daya manusia melalui pengiriman pegawai negeri sipil untuk melanjutkan studi S2, S3 di luar negeri dalam berbagai disiplin ilmu yang terkait dengan pekerjaannya maupun mengikuti berbagai pelatihan-pelatihan teknis yang bermanfaat bagi bidang pekerjaannya. Tetapi hal tersebut sebenarnya harus dibarengi dengan reformasi struktur internal organisasi pemerintahan, jika tidak para tenaga ahli yang sudah dilatih/di didik di luar negeri tetap tidak akan mampu melakukan sesuatu jika sistem yang lama masih tetap dipertahankan.
Aparatur pemerintahan sebenarnya tidak perlu memiliki pendidikan formal yang tinggi karena aparatur pemerintahan merupakan pelaksana setiap kebijakan yang dibuat oleh pemerintah. Yang perlu dilakukan oleh pemerintah Aceh maupun pemerintah daerah lainnya adalah memaksimalkan fungsi pengawasan, pengendalian, pemantauan, dan evaluasi sekaligus menerapkan sistem reward dan punishment bagi PNS yang baik atau nakal. Untuk mewujudkan sistem manajemen pengendalian, pengawasan, pemantauan dan evaluasi PNS yang efektif dan efisien maka pemerintah daerah harus menciptakan dan mengembangkan tools (alat) yang dapat diimplementasikan secara menyeluruh. Salah satu tools yang dapat diterapkan adalah dengan membuat Standard Operating Procedure (SOP) bagi para pegawai negeri sipil yang melaksanakan fungsi dan tugasnya masing-masing. Sistem supervisor, job descriptions yang jelas, ombudsman yang efektif, complaint sytem (sistem komplain), fraud reporting system (sistem pelaporan penyimpangan) dan laporan bulanan secara online mutlak dilakukan dalam rangka mengawasi, memantau dan mengevaluasi secara berkala tentang apa yang sudah, sedang dan akan dilakukan oleh masing-masing pegawai negeri sipil yang ada dimasing-masing unit kerjanya sehingga nanti akan diketahui siapa pegawai negeri sipil yang malas, tidak melakukan pekerjaan apa-apa bahkan yang tidak tahu sama sekali apa yang harus ia kerjakan sebagai aparatur pemerintahan.
Job descriptions (pembagian tugas) yang jelas, tidak tumpang-tindih dan tidak multi-tafsir akan mempermudah pemerintah daerah dalam melakukan evaluasi kebutuhan jumlah pegawai negeri sipil di masing-masing unit kerja/dinas. Sehingga tidak akan terlihat lagi di satu kantor dinas di mana banyak pegawai negeri sipil yang hanya duduk santai sambail ngobrol/ngerumpi dengan teman sekantornya bahkan tidak akan dijumpai lagi pegawai negeri sipil yang kerjanya setiap hari hanya duduk di warung kopi saja. reformasi aparatur pemerintahan lebih dititik-beratkan pada kemampuan dan kapasitas personal masing-masing pegawai negeri sipil sehingga dengan jumlah tenaga yang tersedia dapat melaksanakan berbagai macam tugas dan fungsi yang tepat. Reformasi aparatur pemerintahan juga harus dilaksanakan sejalan dengan reformasi birokrasi di mana struktur internal organisasi kerjanya diubah/diperbaiki sekaligus dengan reformasi pelayanan publik di mana setiap PNS yang memberikan fungsi pelayananan publik harus melaksanakan fungsi sesuai dengan SOP yang ditetapkan, misalnya; Mengurus izin usaha harus selesai dalam waktu 3 (tiga) hari kerja, apabila proses tersebut tidak selesai dalam waktu 3 (tiga) hari kerja sesuai dengan apa yang telah ditentukan maka akan terlihat pada saat si PNS yang bersangkutan mengirimkan laporan bulanan online tentang apa yang sudah, sedang dan akan dikerjakannya. Ketika ditemukan ada penyimpangan SOP yang dilakukan oleh PNS tertentu maka tim pengawas, pengendali, pemantau dan evaluasi harus bergerak cepat dan melakukan investigasi menyeluruh terhadap penyimpangan tersebut tanpa harus menunggu adanya laporan pengaduan dari masyarakat.
Reformasi aparatur pemerintahan mutlak dilakukan di Gayo siapapun Bupati yang akan terpilih nantinya baik di Aceh Tengah, Bener Meriah maupun Gayo Lues, karena reformasi tersebut diharapkan dapat meningkatkan performa, kinerja, efektifitas dan efisiensi PNS dalam melaksanakan tugas dan tanggung-jawabnya sebagai abdi negara, pelayan masyarakat dan penyelenggara negara. Sampai hari ini diidentifikasi ada sekitar 13 (tiga belas) penyakit kronis yang diderita oleh aparatur pemerintah di seluruh Indonesia khususnya di Gayo yaitu; Kudis (Kurang Disiplin), Kurap (Kurang Tanggap), Pusing (Pukul Samping), Paru (Pemikiran tidak ada yang Baru), Anemia (Asal Ngantor Ngerumpi Aja), Jantung (Jarang Ada yang Nggak masuk Kantung), Batuk (Begitu ada Atasan langsung Sibuk), Kram (Kurang Terampil), Pucat (Pulang Cepat), Ginjal (Gaji Ingin Naik Tapi Kerja Lamban), Asam Urat (Asal Sampai Kantor Terus Tidur), Asma (Asal Mengisi Absen) dan TBC (Tidak Bisa Computer). Dan sebenarnya masih banyak lagi penyakit-penyakit lainnya yang “menyerang” para PNS di Gayo maupun di daerah-daerah lain di Indonesia, makanya diperlukan sebuah “vaksin” yang ampuh dan jitu untuk mengobatinya agar jangan sampai “menginfeksi” bidang-bidang kehidupan yang lain. Aparatur pemerintah yang bersih, jujur, amanah dan profesional merupakan pra syarat utama dalam mewujudkan pemerintah yang bersih (clean government) dan tata pemerintahan yang baik (good governance). Sebaik apapun aturan yang dibuat tanpa terlebih dahulu memperbaiki PNS/aparatur pemerintahan yang akan melaksanakan aturan/kebijakan/program pemerintah maka niscaya akan banyak terjadi penyimpangan dan penyalahgunaan kewenangan.
Era keterbukaan dewasa ini menuntut setiap unit kerja/dinas yang bertanggung jawab terhadap pelayanan publik agar dapat melaksanakan pekerjaannya secara baik, cepat, tepat dan profesional. Reformasi birokrasi, pelayanan public dan aparatur pemerintahan sudah pasti akan mendapatkan tantangan dan hambatan baik dari internal maupun ekternal organisasi pemerintahan. Hambatan terbesar akan datang dari pihak-pihak yang ingin tetap mempertahankan “status quo” karena mereka sudah merasa “nyaman” dengan kondisi demikian. Tetapi bagi aparatur pemerintah yang berjiwa reformis dan merindukan perubahan pasti akan mendukung setiap langkah-langkah positif menuju perbaikan sistem demi mempermudah proses pelayanan kepada masyarakat. Salah satu hal yang sering dikeluhkan oleh aparatur pemerintah setiap kali ide reformasi birokrasi digulirkan adalah rendahnya remunerasi yang diterima oleh masing-masing PNS. Pekerjaan sebagai PNS merupakan pilihan hidup seseorang, ketika seseorang merasa nyaman dengan pekerjaan tersebut maka tentu ia akan melaksanakan tugas dan tanggung-jawabnya secara profesional walaupun dengan imbalan gaji pokok yang kecil. Tetapi walaupun gaji pokok yang diterima oleh PNS kecil, sebenarnya gaji pokok tersebut merupakan standar hidup minimum di Indonesia, karena tidak mungkin negara memberikan gaji pokok yang sangat rendah dengan tuntutan tugas dan tanggung-jawab yang demikain besar.
Seiring dengan digulirkannya semangat desentralisasi dan diberlakukannya sistem otonomi daerah, memberikan peluang bagi PNS di daerah untuk memperoleh pendapatan tambahan melalui Tunjangan Prestasi Kerja Daerah (TPKD), Uang Snack, dan Gaji Ketiga Belas. Bahkan bagi PNS diberikan kemudahan oleh pemerintah untuk mengakses kredit konsumtif hanya dengan bermodalkan Surat Keputusan Pengangkatannya sebagai PNS, asuransi kesehatan dan semua kemudahan-kemudahan tersebut menunjukkan bukti bahwa kesejahteraan PNS di Indonesia sudah memenuhi standar minimum kemanusiaaan. Makanya jika ada PNS yang masih mengeluh dengan gaji pokok yang diterima maka perlu kembali dipertanyakan niat dan tujuannya masuk menjadi PNS. Apalagi bagi PNS di daerah biasanya suami-istri kedua-duanya berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil maka hal itu akan semakin memperkuat perekonomian PNS itu sendiri. Jika dibandingkan dengan kehidupan juru parkir, buruh bangunan, pelayan restoran, pelayan toko, pembantu rumah-tangga, kernet angkutan umum, tukang becak, pengais sampah, pedagang asongan dan kelompok-kelompok informal lainnya yang harus bersusah-payah mencari rezeki setiap harinya ditengah teriknya matahari demi menghidupi keluarganya maka kehidupan para PNS jauh lebih baik.
Setiap PNS yang ada di Gayo harus mensyukuri apa yang telah diperolehnya. Bahkan Islam juga mengajarkan “jangan melihat ke atas tapi lihatlah ke bawah”, jika gaji pokok PNS dibandingkan dengan gaji Bupati/Walikota/Gubernur/Menteri/Presiden memang benar bahwa gaji pokok para PNS masih sangat rendah tetapi jika dibandingkan dengan pendapatan yang diperoleh oleh para pekerja informal tersebut diatas maka gaji pokok para PNS tersebut sudah jauh lebih baik. Dan sebenarnya penggajian tersebut didasarkan pada hukum manajemen di mana perolehan gaji yang diterima disesuaikan dengan tugas dan tanggung-jawab yang diemban oleh masing-masing PNS, semakin besar tugas dan tanggung-jawabnya maka gaji pokoknya akan naik begitu juga dengan tunjangan dan fasilitas lainnya seperti mobil dan rumah dinas akan diperoleh jika tugas dan tanggung-jawab tersebut dibebankan kepadanya. Oleh karena itu jika ada para PNS yang mengeluh akan gaji yang diperolehnya maka pimpinan unit kerjanya masing-masing harus mempertanyakan kembali pada diri PNS yang bersangkutan apakah ia siap mengikuti dan menyukseskan program reformasi birokrasi, reformasi aparatur pemerintah dan pelayanan publik di lingkungan kerjanya atau tidak?, karena jika pertanyaan tersebut tidak diajukan diawal maka ketika program reformasi birokrasi, reformasi aparatur pemerintah dan pelayanan publik dijalankan maka ia akan semakin mengeluh akibat semakin beratnya beban kerja, tugas dan tanggung-jawab yang harus ia emban sebagai seorang abdi negara dan pelayan masyarakat.
Untuk kesekian kalinya, kesuksesan agenda reformasi birokrasi, reformasi aparatur pemerintah dan pelayanan publik di Gayo tergantung pada sosok pimpinan daerahnya yaitu Bupati. Disamping peran dan dukungan aktif dari para wakil rakyat yang duduk di Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK). Kedua lembaga tersebut harus bersinergi untuk melakukan terobosan-terobosan pembangunan dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan publik kepada masyarakat. Walaupun sudah menjadi rahasia umum di Indonesia bahwa anggota legislatif baik di tingkat kabupaten/kota, propinsi dan pusat didominasi oleh kalangan pengusaha/kontraktor proyek dan selebihnya dikuasai oleh para “preman” yang notabene mereka juga secara individu mungkin masih merasa “nyaman” dengan kondisi “status quo” tersebut karena adanya kepentingan politik dan ekonomi yang begitu kuat terhadap anggaran dan proyek-proyek pemerintah daerah. Walaupun demikian jika Bupatinya adalah sosok yang reformis, pro perubahan, pro rakyat, dan visioner maka agenda-agenda reformasi birokrasi, aparatur pemerintah dan pelayanan publik dapat terlaksana karena kekuasaan dan kewenangan mengatur para PNS terletak ditangan Bupati (Eksekutif). Oleh karena itu sekali lagi, rakyat Gayo jangan sampai salah dalam memilih Bupati Aceh Tengah, Bener Meriah dan Gayo Lues Periode 2011-2016.
* Mahasiswa Program Ph.D.in Planning and Development of University Northern Malaysia (Universiti Utara Malaysia) dan Wali World Gayonese Association (WGA).