Oleh Johansyah*
Tauhid adalah pengakuan bahwa tidak ada tuhan selain Allah Swt. Pengakuan telah ditanamkan kepada kita sejak keluar dari rahim ibu dengan memperdengarkan azan dan iqamah ke telinga kita dengan harapan bahwa pengakuan tersebut menjadi modal dasar bagi setiap insan muslim untuk menjadikan tauhid sebagai landasan utama bagi setiap amal mereka.
Boleh jadi, penetapan tauhid di kalbu dan pengakuan lisan amat ringan dilakukan seseorang. Akan tetapi bagaimana dengan perwujudan tauhid dalam amal atau aktifitas keseharian?, seberapa banyak orang mampu menerapkan nilai-nilai ketauhidan tersebut dalam kehidupan, baik bagi diri, keluarga dan lingkungannya.
Sebenarnya, tauhid lisan tentu belumlah dianggap tangguh dan teruji manakala belum diwujudkan dalam aksi atau amal. Apakah bukti pengakuan bahwa tidak ada tuhan selain Allah? Apakah pengakuan tersebut sudah terintegrasi dengan amal dan mampu kita posisikan pada tempat yang tinggi ketika berada dalam pusaran kekuasaan, materi yang melimpah dan kesenangan hidup.
Kehidupan modern akan terus menawarkan pragmatisme dan kesenangan dunia dengan berbagai capaian teknologi yang dapat dimanfaatkan manusia untuk mempermudah dan mempercepat aktivitasnya. Kondisi ini kadang-kadang menyeret manusia untuk lebih mencintai harta dan melupakan sumber pemberinya. Manusia juga sering lalai dengan kekuasaan dan jabatan yang dimilikinya padahal jabatan tersebut hanya amanah bagi dirinya. Kekuasan tersebut ternyata membuat dia jauh dengan Sang khaliq sebagai pemberi amanah tersebut.
Memang benar kata orang, mengucapkan jauh lebih mudah dari pada mengamalkan. Marilah kita telisik diri, keluarga dan lingkungan sekitar, berapa persenkah di antaranya yang menegakkan tauhid amal?. Minsalnya, nilai-nilai persaudaraan, toleransi, jujur, dipercaya dan nilai-nilai luhur lainnya. Apakah semuanya terlihat dalam bentuk aksi dan menjadi karakteristik masyarakat saat ini?. Sekiranya ya, mungkin persentasenya sangat rendah sekali.
Harus disadari bahwa semua aktifitas dalam Islam merupakan ibadah selama ia bersandar kepada nawaitunya lillahi ta’ala dan memuat nilai-nilai manfaat secara individu maupun kolektif. Semua amal manusia pada dasarnya merupakan jalan untuk mengakui kebesaran Allah Swt.
Makanya, kata yang digunakan dalam kalimat syahadat adalah asyahadu (aku bersaksi) bukan a’taqidu (aku meyakini), bersaksi di sini bermakna melihat dan mengalami sendiri, menyaksikan berbagai ciptaan Allah Swt di muka bumi, melihat berbagai peristiwa dan menganalisa berbagai fenomena ayat kauniyah. Syahadah (kesaksian) tersebut akhirnya menjadi media pengakuan atas kekuasaan Allah Swt.
Artinya, kesaksian tersebut sebenarnya merupakan keimanan integratif-intekonektif antara iman hati, lisan dan amal yang saling berhubungan. Bahkan dalam kata syahadat tersebut digunakan fiil mudhari’ (kata yang menunjuk sedang dan akan dikerjakan) yang berarti bahwa kesaksian dan pengakuan manusia terhadap kebesaran Allah Swt akan terus berlangsung selama manusia hidup dan mau belajar, mencari dan menyingkap ayat-ayat qur’aniyah dan kauniayah.
Sekiranya ditanyakan, manakah di antara kita merupakan muslim yang berkarakter atau pribadi muslim sejati?, maka jawabannya dapat dipastikan bahwa muslim berkarakter adalah mereka yang mampu mewujudkan tauhid dalam bentuk amal. Pengakuan terhadap Tuhan bukan saja bertengger di dalam hati dan fasih di lisan, akan tetapi mampu melandasi dan mewarnai semua aktifitas amal mereka sehari-hari.
Pribadi semacam ini adalah mereka yang mampu membumikan aqidah dengan tidak sekedar memahami akan pentingnya jujur, bersih, disiplin, kerja sama, saling mengahargai, santun, penuh ketauladanan dan nilai luhur lainnya, akan tetapi ia mampu mewujudkannya dalam bentuk amal.
Mewujudkan Tauhid Dalam Amal
Pada umumnya orang hanya mampu mengumandangkan tauhid secara lisan. Seorang pejabat ketika ditanya bagaimana pendapatnya mengenai korupsi?, maka dengan lantang ia menjawab bahwa korupsi adalah perbuatan melanggar hukum. Sementara dalam kenyataannya dia selalu mencari celah untuk dapat menyisihkan uang negara ke dompet pribadi dengan berbagai alasan yang dapat diterima publik. Contoh lain adalah pengakuan kita terhadap pentingnya kebersihan, akan tetapi tidak sedikit tempat-tempat ibadah dan sekolah-sekolah yang kamar mandinya tidak terurus dan baunya minta ampun. Ini membuktikan bahwa antara tauhid lisan dan amal belum teritegrasi.
Sebagaimana disinggung sebelumnya, tauhid belumlah teruji jika belum terwujud dalam bentuk amal. Jika demikian, maka transformasi nilai tauhid akan berhasil jika diajarkan dalam bentuk amal, bukan konsep atau teori. Artinya amal harus diajarkan melalui amal. Meminta orang lain jujur, bukan diwujudkan dalam nasehat, akan tetapi dibuktikan lewat amal nyata. Begitu juga dengan disiplin, bersih, hormat, dan perilaku baik lainnya yang harus dimulai dari diri sendiri.
Semua nilai-nilai baik dan benar yang bersumber dari al qur’an harus diwujudkan dalam bentuk budaya dan pembiasaan. Maka secara sosiologis, keluarga dan masyarakat memiliki peran penting dalam membangun sebuah budaya/adat yang sudah menjadi kebiasaan. Seseorang akan sulit untuk jujur ketika orang-orang di sekitarnya tidak terbiasa untuk jujur. Demikian halnya seseorang akan sulit menghargai kebersihan sementara orang-orang di sekitarnya tidak biasa untuk bersih.
Kesulitannya memang ada, suka tidak suka kita harus mengakui bahwa nilai-nilai budaya atau kebiasaan yang tumbuh dalam masyarakat saat ini adalah nilai-nilai pragmatisme yang menganggap sesuatu itu baik selama dia berguna. Paham ini menjalar di semua sektor, baik kultural apalagi struktural. Buktinya, orang jujur di anggap aneh, sementara orang yang biasa memanipulasi dianggap wajar. Hal ini muncul tidak lain disebabkan karena dalam lingkungan sosial orang telah membenarkan yang biasa dan bukan membiasakan yang benar.
Untuk itu, membangun kesadaran merupakan hal yang mutlak bagi kita, kesadaran untuk mengintegrasikan tauhid lisan dan amal sehingga melekat dalam diri dan menjadi karakter kita. Al Qur’an menganggap seseorang aneh dan mempertanyakan “mengapa kamu mengatakan dengan apa yang tidak pernah kamu kerjakan?”. Tauhid amal adalah keimanan sejati dan karakter muslim ideal yang sesungguhnya. Sungguh belumlah seseorang bertauhid ketika dia memahami bahwa menyantuni fakir miskin merupakan perintah mulia, sementara dia membiarkan tetanggannya menderita kelaparan. Kehidupan yang disenangi Allah adalah kehidupan yang dapat mewujudkan tauhid lisan dan amal yang terintegrasi dengan baik.
*Penulis adalah Mahasiswa Program Doktor PPs IAIN Banda Aceh.