Oleh : Drs. Jamhuri Ungel, MA[*]
Sebelum datangnya Belanda ke Gayo dalam riwayatnya kopi telah ada, bahasa yang digunakan untuk kopi adalah “kewe atau kawa”, yang bila ditelusuri kata ini lebih dekat kepada bahasa Arab yaitu kahwah. Pada awalnya kopi bukan merupakan buah yang dikonsumsi oleh masyarakat Gayo, malah pemanfaatan daun kopi sebagai teh lebih awal dibanding dengan pemanfaatan buahnya, pemanfaatan daun kopi sebagai teh berlangsung sampai pada tahun 1980-an.
Tidak ada cacatan yang jelas yang dapat dijadikan sebagai bukti, tentang siapa yang memulai mengkonsumsi buah kopi, data yang didapat menyebutkan bahwa kopi dikonsumsi oleh Belanda, sedang masyarakat Gayo hanya menjadikannya sebagai tanaman pagar yang buahnya pada waktu sudah masak dimakan oleh binatang seperti, tikus, musang dan lain-lain.
Sebelum berkebun kopi, masyarakat Gayo memulai profesi hidup mereka dengan berternak dan bersawah, ini dapat diketahui dari kampung-kampung yang ada disekitar Danau Laut Tawar yang merupakan kampung asal, dimana masyarakatnya sampai saat ini berprofesi sebagai petani sawah dan nelayan. Dari kampung-kampung inilah mereka bermigrasi untuk mencari penghidupan kedaerah lain keseluruh wilayah Gayo, kebiasaan mereka yang bermigrasi kedaerah lain dengan membawa nama kampung asalnya, sehingga sampai sekarang sangat mudah mengetahui dari mana kampung asal seseorang walaupun telah berlalu lama.
Pada awalnya kehidupan berkebun kopi tidak menjanjikan bagi kehidupan masyarakat walau masyarakat telah banyak yang menanam kopi, Sekitar tahun 1980-an masih masyarakat masih menjadikan tanaman kopi sebagai tanaman selingan, mereka yang menggarap tanah biasa memulai dengan menanam tebu, sehingga paritas tebu banyak dikenal di Gayo, diantara paritas yang penulis ingat adalah tebu hitam, tebu bogor dan tebu gula (tau sakar). Kehidupan sebagai petani tebu berlangsung lama dalam masyarakat Gayo, untuk selanjutnya masyarakat Gayo mengembangkan perkebunan tembakau, biasanya tanaman tembakau ditanam setelah masyarakat memugar hutan dan selanjutnya menanam tembakau sambil menunggu besarnya kopi di sela-sela tembakau. Nama tembakau Gayo sangat populer dikalangan masyarakat Aceh Pesisir bahkan sampai di atas tahun 1990-an.
Meluasnya jaringan perdagangan kopi yang tidak hanya di dalam negeri, membuat semangat baru bagi para petani untuk menanam kopi, sampai sekarang ini hampir tidak ada lagi tanah yang tidak ditanami kopi. Kalau dalam tata ruang pembangunan masyarakat Gayo ada yang namanya daerah perkampungan, daerah permainan, daerah persawahan, darah perkebunan, daerah pemeliharaan ternak dan daerah perburuan. Dengan desakan kemajuan dan kebutuhan masyarakat yang semakin hari semakin bertambah, jumlah penduduk semakin lama semakin bertambah maka aturan tata ruang yang ditetapkan berdasarkan adat ini tidak berlaku lagi, masyarakat sudah berkebun dipinggiran perkampungan sehingga tidak ada lagi tempat anak anak muda untuk bermain, tidak ada lagi tempat untuk memelihara ternak bahkan untuk saat ini tidak ada lagi tempat untuk berburu.
Kesungguhan masyarakat menggarap lahan untuk dijadikan perkebunan khususnya kopi, membuat semua orang optimis melihat masa depan masyarakat petani Gayo. Namun keoptimisan itu masih belum terjawab, ketika kita mendekati masing-masing petani kopi, kebanyakan dari mereka masih belum merasa bahwa kebutuhan hidup mereka dapat dipenuhi dengan hasil dari kebun kopi. Mereka sering mengeluhkan hasil panen mereka tidak ada harga, buah yang dihasilkan tidak imbang dengan luasnya lahan yang dimiliki.
Pengalaman akan murahnya harga, sedikitnya hasil yang didapat sudah berlangsung sejak lama. Perbaikannya juga telah dilakukan oleh pemerintah dengan adanya identifikasi varitas kopi yang sesuai dengan daerah yang akan ditanami kopi. Nampaknya upaya ini belum dapat menjawab semua permasalahan yang berkembang dilingkungan para petani, termasuk permasalahan yang dihadapi adalah habisnya uang dengan selesainya masa panen, kenikmatan hidup hanya sebatas masa panen, sehingga masa susahnya sebagai petani lebih panjang dari masa senangnya.
Ada permasalahan yang terkadang luput dari pembicaraan para peneliti kehidupan sosial kemasyarakat Gayo, dimana para petani dengan mudahnya menjual hasil panen mereka, mereka tidak perlu mengangkut hasil panen karena para pembeli sudah langsung mengambil dari kebun, petani yang seharusnya mendapat uang sedikit dari tahapan proses pengolahan kopi kini tidak dapat lagi, petani yang seharusnya dapat menyimpan hasil pertanian kini tidak lagi.
Tidak sulit mengembalikan pola kehidupan petani kepada masa lalu, dimana masyarakat tidak lagi menjual lagi kopi sejak dari gelondongan tetapi mulai kembali menjualnya setelah menjadi labu. Masyarakat petani tidak perlu menjuan hasil panennya ketikan harganya murah karena kopi adalah tanaman yang dapat disimpan dalam waktu yang lama, dan itulah tradisi orang tua kita di masyarakat Gayo, dimana mereka selalu mempunyai stok kopi untuk masa tidak berbuah dan juga dapat menjualnya pada saat harga yang tinggi.
[*] Pemerhati Kehidupan Sosial Masyarakat dan Dosen pada Fakultas Syari’ah IAIN Ar-Raniry Banda Aceh.