Eksistensi Budaya dan Adat Istiadat Gayo

Oleh: Surya Apra*

Surya ApraBANYAK orang mendefinisikan budaya hanya yang berkaitan dengan seni dan warisan asli atau adat orang. Namun, budaya memiliki arti yang lebih besar dan harus diterapkan untuk kedua dominan dan minoritas populasi di kedua negara maju dan berkembang. Identitas budaya dapat dengan mudahnya berubah akibat globalisasi, lambat laun terkikis akibat kurang kuatnya budaya, begitu saja. Sifat cairan budaya dapat positif, yang mengarah ke struktur sosial yang lebih kuat dan oleh sebab itu, eksistensi budaya perlu di selamatkan dari gerusan globalisasi dunia.

Sifat  budaya yang berbeda-beda lebih mudah menjadi lebih terjalin, identitas-identitas budaya dapat berubah nilai-nilai, tetapi juga dapat menghancurkan minoritas atau kurang-kuat budaya, mengarah ke disintegrasi nilai-nilai kemanusiaan yang mendasar. Menjaga identitas budaya masyarakat sangatlah penting guna menjaga perdamaian peradaban manusia di dunia yang memiliki keberagaman budayanya.

Gayo dalam Bingkai NKRI

Pasal 18 Undang-undang Dasar 1945 serta dengan dengan lahirnya UU No 32 Thn 2004 Jo UU 12 Thn 2008 tentang pemerintahan daerah, memberikan kesempatan daerah guna menjaga kekhususan serta keistimewaan  daerahnya, hal ini merupakan jaminan konstitusi untuk memberi peluang kepada setiap daerah untuk  mempertahankan serta mengembangkan budaya dan adat istiadat masyarakat dalam suatu daerah.

Suku Gayo merupakan salah satu suku di daerah provinsi Aceh, dimana suku Gayo memiliki perbedaan budaya dan adat istiadat yang menjadikan Aceh kaya akan budaya. Seiring berjalannya era modernsasi, serta meningkatnya sifat apatis masyarakat dalam mengembangkan budaya, perlu dilakukan upaya-upaya untuk terus mempertahankan serta mengembangkan eksistensi budaya. Saat ini upaya-upaya pengembangan tersebut cenderung hanya dilakukan hanya sebatas kalangan masyarakat setempat yang mempertahankan nilai khasanah budaya saja tanpa mampu menciptakan manfaat yang baru.

Seharusnya di era globalisai yang penuh persaingan ini, nilai-nilai budaya yang ada dapat juga dimanfaat sebagai bursa pariwisata masyarakat setempat guna membantu pendapatan asli daerah serta juga dapat dipromosikan ke tingkat yang lebih luas. Namun, masyarakat cerderung memahami kearifan lokal hanya sebatas domisili budaya tersebut, tidak pada memperkenalkan budaya sebagai salah satu langkah kongkrit eksistensi budaya itu sendiri. Nah, oleh sebab itul dibutuhkan langkah-langkah yang dapat membuat nilai-nilai budaya dan adat istiadat dapat bertahan di era globalisasi ini.

Solusi

Langkah pertama, Untuk lebih memperkenalkan suku Gayo dikalangan nasional maupun internasional dalam menjaga eksistensi, pemerintah Aceh perlu membuat anjungan suku Gayo maupun suku lainnya yang ada di Provinsi Aceh di Taman Mini Indonesia Indah (TMII), dimana anjungan yang selama ini ada hanyalah anjungan untuk suku Aceh yang mewaikli Pronvinsi Aceh. Oleh sebab itu, anjungan suku Gayo maupun suku lainnya perlu dibuat di anjungan Taman Mini Indonesia Indah (TMII), hal tersebut dapat menambah dan memperkaya khasanah budaya dan adat istiadat Provinsi Aceh.

Dengan adanya anjungan bagi suku Gayo bagi masyarakat Gayo, dapat digunakan sebagai mengaktualisasikan khasanah budaya dan  adat istiadat suku Gayo secara maksimal dan memperkenalkan budaya pada seluruh masyarakat. Masyarakat suku Gayo memiliki bahasa (bahasa Gayo), kesenian (Saman, Didong, Tari Bines, Tari Guel), bangunan (umah pitu ruang), adat istiadat baik dari cara kehidupan masyarakat Gayo yang unik dan menarik yang dapat diperkenalkan pada masyarakat dunia, baik dari syair gayo yang banyak mengandung hikmah, proses pernikahannya (edet mungerje), cara berkebun (berempus), bersawah (berume), nelayan (begule), berburu (mukaro), berternak (beruwer), hukum tanah, sistem pemerintahan (sarak opat), wisata alam yang mempesona dan eksotis sering dijuluki dengan kota hujan. Dengan hal tersebut, akan mampu menjaga eksistensi suku gayo bahkan memperkaya budaya dan adat istiadat di Provinsi Aceh.

Langkah Kedua, Bagi daerah-daerah  yang berada di dataran tinggi Gayo sangat perlu dilakukan “Hari Budaya Gayo”, dimana adanya hari yang dikhususkan untuk masyarakat Gayo diwajibkan dalam tahun tersebut untuk melestarikan budaya baik dengan menggunakan berbahasa Gayo, mengenakan pakaian adat Gayo, mengkonsumsi makanan khas Gayo, melakukan berbagai kesenian adat Gayo dan dapat bermanfaat melestarikan adat Gayo secara menyeluruh bagi masyarakat Gayo, menjadikan sebagai salah satu wisata budaya (visit Gayo) dimana dapat mengundang wisatawan domestik maupun internasional untuk menikmati wisata budaya Gayo.

Hal ini dapat didukung dengan pemerintah daerah menetapkan peraturan khusus dari otonomi daerah dan juga keistimewaan Aceh yang dapat mengatur budaya dan adat istiadat masyarakat Gayo sendiri. Kita dapat berkaca dengan provinsi Bali yang mampu menjadi idola wisata bagi wisatawan domestik maupun internasional dimana menjadikan budaya dan adat istiadat mereka sebagai karakter jati diri mereka.

Tahap ketiga, menjadikan pakaian khas adat tanah Gayo  (kerawang Gayo) menjadi pakaian sehari-hari masyarakat dengan melakukan kreasi, inovasi pakaian adat sehingga dapat menjadi trend busana baru yang berasal dari tanah Gayo, kita dapat bekaca kepada suku Jawa yang menjadikan baju khas mereka yaitu batik menjadi pakaian keseharian mereka bahkan telah menjadi icon busana Indonesia.

Tahap keempat, berdasarkan UUPA 2006 yang melampirkan salah satu butir pasalnya mengenai lembaga adat Wali Nanggroe di Provinsi Aceh dibentuk untuk memperkenalkan identitas Aceh akan arif dan bijaksana apabila elemen ragam budaya di Aceh dapat menjadi bahagian pembangunan identitas Aceh dalam Wali Nanggroe itu sendiri.

Tahap kelima, menggeliatkan kegiatan-kegiatan yang dapat mendukung pelestarian budaya. Hal tersebut dapat dilakukan dengan menggelar acara pentas kesenian Gayo yang rutin, mempromosikan budaya, mengkonsep tujuan wisata budaya, dan melibatkan seluruh elemen masyarakat dalam melestarikan budaya secara kontinu, dan sustainnabillity.

Bagi masyarakat Gayo menjadikan budaya sebagai warisan dunia yang perlu dilestarikan sejak dini sangatlah penting  untuk menjaga eksistensi budaya dan adat istiadat itu sendiri. Kata-kata bijak yang sering terdengar ditelinga kita adalah “ike gere serloni slohen mi we, ike gere kite sahenmi we” (kalau bukan sekarang kapan lagi, kalau bukan kita siapa lagi).(Suryaapra[at]yahoo.co.id)

*Mahasiswa Agroekoteknologi (Peminatan Ilmu Tanah) Fakultas Pertanian Universitas Malikussaleh

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.