Suhu Naik, Hama Penggerek Buah Kopi Meluas

Kopi Arabika Gayo_Khalisuddin
Takengon | Lintas Gayo – Studi yang dilakukan tentang pengaruh perubahan iklim terhadap produksi kopi dan hama penggerek buah kopi (PBKo-Hypothenemus hampel) memprediksi peningkatan suhu, walau sangat kecil, akan mengakibatkan konsekuensi yang serius terhadap produksi kopi. Hadirnya hama PBKo merupakan alarm bagi kita tentang naiknya suhu permukaan bumi di kawasan itu.

Demikian disampaikan oleh Dr Ir Ashabul Anhar Msc, dosen Fakultas Pertanian Unsyiah Banda Aceh dalam workshop “Adaptasi Perubahan Iklim Untuk Keberlanjutan Produksi Kopi,” Kamis (30/5/2013) di Hotel Mahara Takengon.

Dia mempertegas, beberapa laporan menyebutkan bahwa hama PBKo sudah ditemukan di Kecamatan Jagong Jeget Aceh Tengah yang berada pada ketinggian 1.400 meter dari permukaan laut. Padahal, selama ini daerah itu aman dari serangan hama PBKo.

Hama PBKo atau Hypothenemus hampel itu adalah ancaman bagi produksi kopi arabika di Dataran Tinggi Gayo. Akibat serangan hama PBKo, produksi kopi akan turun. Buah ceri kopi kelihatan merah segar, tetapi biji didalamnya telah hampa karena digerek oleh hama tersebut.

Apabila produksi kopi arabika di Aceh Tengah hancur, maka 34.476 kepala keluarga (137.904 jiwa) akan kehilangan lapangan pekerjaan.

Masalahnya, makin sedikit varietas kopi maka makin rentan akan serangan hama PBKo. Sekarang, varietas yang disarankan di Aceh Tengah hanya tiga, yaitu varietas gayo satu (Timtim), gayo dua (borbon) dan varietas P-88.“Keadaan akan menjadi lebih serius jika kopi arabika yang ditanam adalah kualitas tinggi, specialty coffee,” jelas Anhar.

Hasil analisis data iklim Aceh Tengah tahun 2011 yang dilakukan Ashabul Anhar memperlihatkan telah terjadi perubahan suhu sejak dari tahun 1940 ke tahun 2009 sebesar 2,62 derajat Celcius atau 0,05 derajat Celcius per tahun. Untuk setiap peningkatan temperatur 1 derajat Celcius akan mengakibatkan perkembangan PBKo menjadi lebih cepat.

Perubahan iklim bukan hanya terjadi di Aceh Tengah, tetapi diseluruh dunia, kata Ashabul Anhar. Berdasarkan hasil kajian Intergovernmental Panel on Climate Change-IPCC (2007), indikasi perubahan iklim meliputi:

  1. Kenaikan rata-rata suhu global (periode 1899 hingga 2005 sebesar 0,76 derajat Celcius);
  2. Kenaikan muka air laut rata-rata global (1,8 mm/tahun dalam rentang waktu antara tahun 1961 sampai 2003;
  3. Meningkatnya ketidakpastian dan intensitas curah hujan;
  4. Meningkatnya banjir, kekeringan dan erosi, dan
  5. Meningkatnya fenomena cuaca ekstrim seperti El Nino, La Nina, siklon, puting beliung.

Beberapa waktu lalu Ashabul Anhar dalam sebuah warkshop di Banda Aceh mengatakan solusi menghadapi kondisi ini dengan mitigasi yaitu menyimpan karbon di lahan, dan melakukan adaptasi. Teknisnya dengan menggunakan spesies atau varietas yang toleran terhadap panas, mengurangi resiko kebakaran, hama dan banjir. Meningkatkan bahan organik tanah serta praktik agroforestri. (M.Sy)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.