Oleh Subayu Loren
Masyarakat Gayo yang menyebut dirinya dengan “Urang Gayo”, adalah pemeluk agama Islam. Secara lahiriah ke-Islaman orang Gayo dapat dilihat dari pola perkampungan dengan bangunan Mersah, Joyah dan Mesegit. Bagi masyarakat Gayo, agama Islam dengan segala Akidah dan Kaidahnya merupakan acuan utama perilaku mereka yang bergandeng dengan norma Adat. Keterjalinan antara Agama (Milad) dan Adat ini terekam jelas dalam ungkapan “Edet mungenal hukum mubeza” atau “Edet Pegerni Agama”[1].
Ada banyak interpretasi tentang ungkapan “Edet Pegerni Agama”[2], salah satu pengertian yang cukup kuat mengungkap maksud ungkapan tersebut adalah bahwa masyarakat Gayo pelindung Islam. Dengan kata lain bila Agama mengatakan “satu”, maka orang Gayo mengatakan “tiga”[3]. Ambil contoh kasusnya tentang persaudaraan, dimana orang Gayo mengatakan dirinya sebagai satu Ayah dan Ibu, dan karenanya saling mengamankan. Di masa lalu, ketika adat masih berfungsi, Agama berjalan dengan baik. Silaturrahmi yang dilandasi kasih sayang, dan menjadi keseharian masyarakat Gayo ini dinyatakan dengan ungkapan “sara urang”[4] artinya satu persaudaraan.
Manifestasi ungkapan “sara urang” dapat dicerna dari terjaminnya keamanan “beberu” atau gadis dari berbagai ancaman kejahilan orang atau pihak lain. Perwujudan “sara urang” juga diperlihatkan dalam tata hidup lokal masyarakat “belah”, dimana tidak ada sawah yang tidak tergarap atau “talu”[5] meski pemiliknya adalah nenek-nenek yang sudah menjanda. Pemuda dan pemudi dengan telah mengambil tanggungjawab menggarap sawah, menyemainya, merawat sampai panen.
Kini, persaudaraan Gayo sebagaimana terangkum dalam ungkapan “sara urang” sulit ditemui, karena pranata Adat Gayo tidak lagi berfungsi dan berperan. Bahkan masyarakat Gayo sekarang jatuh ke dalam kekacauan. Kita biasa dengan pemandangan perkawinan antara pemuda dan pemudi di dalam sebuah kampung yang tidak lagi dianggap aib, sudah lumrah terjadi.
Bila terjadi kekecauan di internal urang Gayo, maka persaudaraan urang Gayo dengan masyarakat tetangganya terikut. Hubungan antara urang Gayo dengan tetangganya terangkum dalam ungkapan Adat “Beloh Sara Loloten, Mewen Sara Tamunen, Ke Bulet Lagu Umut, Ke Tirus Lagu Gelas” pun tinggal ungkapan. Konsepsi persaudaraan ini juga sedang menuju tahap kehancurannya. Bila di masa lalu, bila ada yang menyerang Gayo maka “Ureung Acheh” akan ikut membela, begitu kebalikannya bila ada pihak yang menyerang orang Aceh, maka Urang Gayo akan ikut membela. Sekarang dan di masa depan, jalinan hubungan persaudaraan Aceh dengan Gayo diprediksi tidak lagi seindah dulu. Penyebabnya baik masyarakat Gayo maupun Aceh sudah diintervensi pengaruh luar. Akibatnya, jangankan Aceh dengan Gayo akan terpisah, Gayo dengan Gayo sendiri telah terbelah.
Dengan demikian pula keamanan masyarakat Gayo tidak lagi terjamin seperti dulu. Di masa sekarang, bila terjadi peristiwa tragis, dimana ada orang yang me “roba”[6] saudara perempuan kita, masyarakat cenderung diam, tutup mulut. Padahal dulu, baru iseng mengganggu anak gadis, bisa menyebabkan perang. Karena jalinan seperti itulah, maka dikatakan Edet Gayo tersebut sebagai pagarnya Agama. Ketika Adat Gayo “hilang”, masyarakat Gayo sekarang diibaratkan seperti kebun kehilangan penjagaannya. Binatang dengan leluasa mengobrak abrik isi kebun. Sampai pada tahap ini, karena malu sudah hilang, maka perilaku orang Gayo pun tak lebih baik pula dari binatang. Serbuan budaya luar tidak hanya ditujukan untuk merusak Milad “Agama” tetapi ditujukan untuk merusak inti masyarakat Gayo, yaitu pengalihan “urang Gayo”, dari manusia kaffah kepada manusia bukan kaffah. Yang mementingkan Jasmani daripada Rohani. Penjelasan ini, amat terkait dengan maksud Adat Gayo sebagai pagar Agama.
Tidak lagi seperti sediakala, Adat Gayo diakui telah mengalami perubahan, karena tidak lepas dari pengaruh lingkungannya. M. Yunus Melalatoa, mencatat sedikitnya ada 5 faktor yang menyebabkan terjadi perubahan kebudayaan sebuah masyarakat, antara lain; 1) faktor perubahan komposisi penduduk, 2) perubahan sumber daya alam dan lingkungan fisik, 3) penemuan teknologi baru, 4) adanya invasi; adanya penjajahan oleh kelompok lain, peperangan, dan 5) kontak dengan masyarakat lain dan kebudayaan masyarakat lain itu menggantikan kebudayaan setempat[7].
Sarak Opat dan Kesadaran Untuk Kembali
Pengimplementasian “Edet Pegerni Agama” dilaksanakan oleh struktur dan sistem kepemimpinan yang disebut dengan “Sarak opat”. Ke-empat unsur ini; Reje, Bedel, Petue dan Imem. Masing-masing unsur pemimpin ini memiliki sifat dan peran tersendiri.
Reje punya sifat adil, benar, suci yang keseluruhannya disebut musuket sifet. Bedel atau rayat merupakan pemegang kedaulatan, yang berbicara atas nama rakyat atau menyangkut dengan urusan orang ramai “publik” dan bisa menurunkan Reje dari statusnya. Petue punya sifat teliti, peka dan peduli, perannya sebagai penasehat Reje, keseluruhan sifatnya disebut sebagai musidik sasat. Imem berperan membimbing aspek yang berkenaan dengan Amar maruf nahi munkar, mengelola perilah yang terkait dengan aqidah dan kaidah Islam yang disebut muperlu sunet.
Kenyataannya konsepsi Sarakopat ini tidaklah lagi hidup dalam masyarakat Gayo. Pranata kepemimpinan ini sudah sering bergonta ganti misalnya dengan unsur pimpinan bernama Gecik dan Kepala Desa. Bedel atau rakyat telah kehilangan daya kontrolnya terhadap orientasi dan sikap pemimpin mereka yang sudah tidak berpihak kepada publik.
Bilakah kebaikan yang telah dicipta oleh para Muyang Datu akan kembali? Maka kalau itu yang dibutuhkan adalah apakah kita masih memiliki kesadaran? Bila itu yang dibutuhkan, maka ananiyah atau keakuan yang melanda bukan hanya masyarakat Gayo, tapi juga muslim di seluruh dunia, perlu dienyahkan.
Ananiyah secara sederhana dapat dinyatakan seperti orang yang menyatakan bahwa bangsa ku yang paling baik, di dalam bangsa tersebut pasti ada yang mengemukakan bahwa suku ku yang paling baik, di dalam suku ada yang mengemukakan bahwa famili ku yang paling baik, di dalam famili ada individu yang mengaku diri ku yang paling baik. Seperti itulah Gayo yang kita pahami sekarang ini, mereka jatuh ke dalam ananiyah.
Kitapun harus menanggung akibat, bila kita sudah mementingkan diri kita dalam sebuah keluarga, maka tidak bisa dihindari bahwa kita akan bermusuhan dengan saudara kita. Bila mementingkan keluarga kita sendiri, maka kita akan bermusuhan dengan keluarga yang lain. Kalau suku kita yang dipentingkan, maka permusuhan dengan suku yang lain tidak bisa ditolak. Begitupun bila kita mengutamakan bangsa kita, maka kita akan bermusuhan dengan bangsa lain. Di tahun 1970-an ada ungkapan terkenal untuk ananiyah ini, “Kalau bukan orang Jawa, tidak boleh jadi Presiden RI , kalau orang Jawa, tukang becak pun boleh jadi Presiden”.
Perlu kesadaran yang tinggi untuk menyingkirkan ananiyah, agar seharusnyalah urang Gayo kembali ke akarnya, yaitu hanya tinggal mementingkan kepentingan Tuhannya. Kenapa hal ini menjadi penting; Pertama, karena Tuhan tidak memiliki musuh. Dengan kata lain, selama masyarakat Gayo tidak bertauhid, maka selama itu kita berada dalam kekacauan permusuhan, kekacauan menjadi keseharian kita di muka bumi.
Karenanya di dalam Islam, dikatakan bahwa kita berbuat karena mencari Ridho Allah, bukan ridha makhluk. Pada masa lalu, hal inilah yang dibicarakan di Gayo dan Aceh, mencari ridha Allah, bukan ridha makhluk. Maka persaudaraan atau silaturrahmi diantara mereka bisa terjadi dan terjalin dengan erat. Dengan bahasa hukumnya, “beloh sara tamunen, kunul sara loloten” Inilah inti Gayo, kenapa? Karena yang dicari bukanlah ridha makhluk, tapi ridha Allah SWT.
Sekarang mari kita bertanya, apakah masyarakat Gayo sekarang ini masih mengetahui dan paham bahwa Tauhidlah yang menjadi landasan hidup urang Gayo? kita pun bertanya itulah Tauhid intinya Ureung Acheh? Apakah pentingnya membicarakan hal-hal diatas, tiada lain supaya mudah lidah masyarakat kita mengucapkan dan tidak salah mengatakan bahwa Gayo ”Asal Gayo, awal Linge”.
Kita harus merombak mereka orang Gayo yang tidak bangga dengan ke-Gayo-annya, karena dia merasa hina atau mengalami inferiority complex dengan atribut Gayo yang melekat di dalam dirinya. Misalnya menggunakan bahasa Gayo sebagaimana mestinya, terutama untuk menjelajahi ilmu pengetahuan.
Bila kita seperti “urang-urang” yang telah mempertahankan budayanya, seperti Arab, Jepang dan Inggris pastinya kita akan maju. Kita saksikan urang Jepang, yang tidak akan berbahasa lain selama bahasa Jepang masih ada. Kekuatan budaya ini terbukti membuat bangsa Jepang bisa mencapai kemajuan di segala bidang kehidupan.
Wallahualambissawab.
****
[1] M. Yunus Melalatoa, Memahami Aceh Sebuah Persepktif Budaya dalam Aceh Kembali Ke Masa Depan hal 5
[2] Terjemahan bebasnya kira-kira Adat Pagar Agama
[3] M. Kasim AS. Notulensi Pengajian Islam, Kamis 15 Januari 2009
[4] Ada yang menerjemahkannya sebagai Satu Bangsa
[5] Talu dalam bahasa Indonesia adalah terlantar, disini maksudnya lahan sawah menjadi terlantar karena tidak tergarap
[6] Roba dalam baha Gayo punya arti dizinai, sebutan ini menunjuk kepada korban perzinaan yang perempuan dalam keadaan tidak berdaya.
[7] M. Yunus Melalatoa dalam Aceh Kembali Ke Masa Depan hal 9
source: www.kenigayo.wordpress.com
Posted by ILG-002