Oleh Ali Abubakar dan Khalisuddin*
Judul di atas adalah salah satu pertanyaan yang melatarbelakangi lahirnya sebuah program kerja organisasi paguyuban Urang Gayo di Banda Aceh yaitu Keluarga Negeri Antara (KNA) beberapa bulan lalu dalam sebuah rapat di Jeulingke Banda Aceh. Program pendataan seluruh Urang Gayo di Banda Aceh, Aceh Besar, dan Sabang dianggap penting dilakukan antara lain untuk mempererat silaturrahim, dan terutama terkait dengan sinte murip dan sinte mate. Namun demikian, karena berbagai hal, program kerja tersebut hingga kini belum dapat berjalan dengan baik.
Tulisan ini memaparkan bagaimana program seperti itu pernah dilakukan pada 1997-2000. Waktu itu nakhoda Keluarga Laut Tawar (KLT) adalah Drs. H.M. Yacob Ibrahim, MM (alm). Di awal masa kepengurusan KLT priode beliau (sekitar 1998) dicetuskan program pendataan dengan latar belakang seperti di atas. Tim kecil beranggotakan 8 orang dibentuk, dipimpin Ali Abubakar sebagai ketua dan Khalisuddin sebagai sekretaris. Anggotanya Irwansyah (mahasiswa Universitas Muhammadiyah Aceh, kini PNS di Takengon), Rantony (Wiraswasta, kini berdomisili di Jakarta), Zaidan AR (Mahasiswa STIT Iskandar Sani Banda Aceh, sekarang di Simpang Tiga Redelong), Sariadi (Mahasiswa FKH Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, kini PNS di Kabupaten Bener Meriah), Mizan (Mahasiswa STIT Iskandar Sani Banda Aceh), dan Irham (Mahasiswa STIT Iskandar Sani Banda Aceh, Staf NGO di Aceh).
Pekerjaan dimulai, formulir isian dibuat dan dicopi dengan anggaran dari beberapa donator yang membiayai diawal-awal program tersebut digulirkan dan diantara yang masih kami ingat Husni Darma, SH (kini tinggal di Jakarta), Prof Dr Al Yasa’ Abubakar, Darmawan SH, dan lain-lain. Item isian terdiri dari nama kepala keluarga lengkap dengan peraman, isteri dan anak, tempat/tanggal lahir, pekerjaan, dan alamat. Tim bekerja dengan tiga pola.
Pertama, mengirim formulir ke semua ketua rayon KLT yang ada di Banda Aceh, Aceh Besar dan Sabang. Para ketua ini kemudian menyebarkannya kepada seluruh kepala keluarga (KK) Urang Gayo di wilayahnya. Cara ini ternyata belum dapat menginventarisir Urang Gayo secara lengkap karena banyak rayon yang juga belum memiliki data lengkap. Ini wajar karena penyebaran Urang Gayo sangat luas dan tidak selalu cenderung berkelompok.
Kedua, formulir dititip di kantor PT. Aceh Tengah (saat itu berlokasi sekitar 200 meter dari Masjid Raya Baiturrahman sekarang). Tim diuntungkan oleh situasi kantor ini yang sering dikunjungi Urang Gayo untuk mengirim atau sebaliknya mengambil kiriman paket ke dan dari Takengon (saat itu menyebut Takengon berarti sudah termasuk Kabupaten Bener Meriah sekarang). Di sana ada Darmawan Aman Riyan (direktur Aceh Tengah di Banda Aceh yang kemudian menjadi direktur PT Bintang Sempati) yang dengan setianya menunggui dan menyemangati Urang Gayo yang datang untuk dengan cepat-cepat mengisi formulir. Panitia setiap hari melakukan pemantauan perkembangan data di sini.
Ketiga, di luar yang tidak terjangkau dengan cara pertama dan kedua, anggota tim menyebar ke seluruh sudut kota. Data didapat melalui informasi berantai. Kalau data satu KK Uang Gayo sudah diperoleh, tim menanyakan pada keluarga itu kemungkinan KK Urang Gayo lain yang ia ketahui tinggal di sekitar rumahnya atau ada saudaranya yang tinggal di pinggiran kota Banda Aceh yang diperkirakan tak terpantau KLT. Bahkan, ketika tim memasuki satu wilayah yang secara umum lebih banyak penduduk asli (asoe lhok), juga menanyakan keberadaan Urang Gayo kepada penduduk sekitar. Untuk pola ketiga ini, ada satu pengalaman menarik. Tim masuk ke Gampong Gue Gajah; menemukan satu KK Urang Gayo yang tinggal di pinggir sawah, dengan gubuk kecil sederhana, terbuat dari papan dan atap rumbia. Ketika tim berkomunikasi dengan bahasa Gayo, ia heran bin tertegun. Katanya, selama sudah beberapa tahun ia tinggal di situ, belum pernah ada Urang Gayo yang sampai ke sana.
Kendala lain juga muncul saat itu, rumah Urang Gayo sudah ketemu, namun orangnya tidak ditempat. Alhasil tim harus berulangkali mendatangi rumah tersebut, bahkan hingga ke kawasan Jalin Kota Jantho, ibukota Aceh Besar yang jarak tempuhnya puluhan kilometer dan Banda Aceh. Pun sudah berupaya maksimal, diyakini masih sangat banyak Urang Gayo yang sudah berkeluarga saat itu belum sempat terdata.
Yang agak unik saat itu, muncul istilah “Gayo Bodrex”. Maksudnya adalah keluarga Urang Gayo yang tidak sepenuhnya berdarah Gayo. Karena semangat persatuan dan kekeluargaan saat itu sangat tinggi, bahkan yang sama sekali tidak berdarah Gayo akan tetapi diakui tetue sebagai Urang Gayo pun tetap dimasukkan dalam data tersebut.
Sungguh tak terlupakan tingginya dukungan moril dari sejumlah tokoh Gayo saat itu, Drs. M Saleh Suhaidy (alm), Muktamam Bale (alm), M Isa Rahmat, Yahya Kobat, Mustafa Alamy, Arkian dan lain-lain sangat besar perannya saat itu dalam menyatukan Urang Gayo.
Begitulah pola tim bekerja. Setiap ditemukan satu data, rasa syukur dan senang luar biasa tercermin dari wajah-wajah bebujang anggota tim, apalagi kalau sekali jalan dapat sampai lima data. Haus, lelah, dan letih hilanglah sudah. Namun begitu, tidak berarti tidak ada tantangan yang berat. Pada awalnya, ada beberapa tokoh KLT yang pesimis kalau program tersebut dapat berjalan dengan baik, karena sebelumnya hal itu sudah pernah dilakukan tapi hanya terkumpul tidak lebih 40 orang. Tantangan lain, tim diduga akan mengambil keuntungan dari pendataan itu dengan menjual buku data tersebut. Bahkan, hal itu diungkap oleh seseorang melalui surat yang dititipkan di PT Aceh Tengah.
Alhamdulillah, pesimisme dan suudzhan tersebut semakin membuat semangat tim membara. “Kiteni itarohi woy,” begitulah kata salah seorang anggota tim. Begitu bersemangatnya, bila formulir habis, akan dicopi dengan uang dari saku sendiri. Tidak jarang juga, bensin sepeda motor tua harus diisi sendiri. Tantangan dan dugaan negatif itu telah membuat anggota tim menjadi “gila.” Alhamdulillah, setelah bekerja sekitar 3 bulan, terkumpul data 487 KK Urang Gayo yang berdomisili di Banda Aceh dan Aceh Besar. Jumlah itu berarti lebih dari sepuluh kali lipat lebih banyak dari usaha sebelumnya yang hanya 40 KK. Upaya sudah maksimal walau diyakini masih banyak yang belum terdata.
Tahap kedua, dilakukan pembukuan. Pengetikan data sebetulnya sudah dilakukan langsung begitu data didapat sehingga tahap pendataan dan pengolahannya dilakukan serentak. Bersyukur, saat itu computer masih lumayan langka dimiliki orang. DR Alyasa’ Abubakar bermurah hati meminjamkan perangkat yang saat itu masih terbilang mewah.
Agar manfaat buku lebih banyak dan variatif, tim menambahkan peri mestike (pepatah pepitih) pada header dan footer setiap halaman. Juga ada “lagu kebangsaan Gayo” yaitu Tawar Sedenge, Susunan Pengurus Keluarga Laut Tawar, Tutur dalam Bahasa Gayo, dan aneka resep masakan ala Gayo. Hasilnya, terbitlah buku Keluarga Laut Tawar Banda Aceh, setebal 176 halaman pada Oktober 1999.
Dalam prosesnya sebelum buku tersebut dicetak, banyak keluarga Gayo di Banda Aceh dan sekitarnya telah memanfaatkannya untuk keperluan Sinte, baik Sinte Morip maupun Sinte Mate. Termasuk mantan Bupati Aceh Tengah, Mustafa M Tamy yang saat itu menjabat sebagai Kepala Wilayah Kantor Transmigrasi Daerah Istimewa Aceh mengundang dan mencari alamat Urang Gayo dengan data tersebut. Selain itu keluarga M Amin R, sebelum data tersebut dicetak menjadi sebuah buku juga sempat memanfaatkan data yang masih bertuliskan tangan tersebut menjadi pemandu dalam mengundang Urang Gayo dalam Sinte Morip di rumahnya di kawasan Jeulingke Banda Aceh. Masih banyak keluarga-keluarga Gayo yang mengambil manfaat dari data tersebut.
Dengan data tersebut, sebuah Sinte Morip yang terbesar dalam sejarah Urang Gayo di Kute Redje berhasil digelar. Pekan Olahraga dan Seni Keluarga Lut Tawar III dengan sejumlah agenda kegiatan diantaranya pertandingan sepak bola, bola voli, tarik tambang, aneka lomba untuk anak, lomba masak dan pagelaran seni berupa tari, music band dan didong semalam suntuk.
Namun sayangnya, saat itu belum sempat terdata sebagian besar Urang Gayo asal Aceh Tenggara (termasuk Gayo Lues saat ini), Lokop Serbejadi dan lain-lain serta belum sempat terprogramkan pendataan jumlah Mahasiswa Gayo yang ada saat itu.
Itulah sekilas pendataan Urang Gayo Banda Aceh dan sekitarnya, 12 tahun lalu. Keadaan sudah banyak berubah; perpindahan Urang Gayo, baik antar daerah atau antar alam (baca meninggal dunia), perkawinan baru, membuat data itu perlu pembaruan kembali, terlebih bencana gempa bumi dan tsunami tahun 2004 silam telah banyak keluarga “Urang Gayo” yang berpulang.
Selain itu, KNA Banda Aceh belum memiliki rayon yang berjalan dengan baik, dan tentu saja tidak memiliki “markas” tempat bertemu seperti PT Aceh Tengah dulu. Itulah tantangan buat pengurus KNA sekarang. Pola kerja harus diubah (misalnya dengan memanfaatkan teknologi modern seperti telepon selular, email, facebook dan lain-lain), selain itu semangat tim juga harus lebih tinggi.
Terakhir kami bermohon ma’af pasti ada nama dan kisah terkait program pendataan dan pencetakan buku tersebut yang seharusnya disebutkan dalam tulisan ini, karenanya melalui situs berita Lintas Gayo ini dapat kiranya diberikan masukan agar dilakukan penyempurnaan sebagaimana mestinya.
*Ketua dan Sekretaris pendataan anggota Keluarga Lut Tawar (KLT) Banda Aceh tahun 1997-2000