Oleh. Drs. Jamhuri, MA[*]
Kita sering mendengar, mengucapkan kata “mengerti”, juga sering menanyakan kepada sesorang apakah ia mengerti. Kata ini kedengarannya sederhana dan mudah dipahami oleh semua kita, banyak padanan kata kata “mengerti”, seperti paham, mengetahui, bisa, pandai (Gayo : Jago) dan lain-lain, namun karena kita tidak hendak membicarakan masalah bahasa maka dalam tulisan ini tidak membedakan kata ini dengan kata lainnya.
Ketika sedang mengajar seorang guru, dosen atau tenaga pendidik lainnya bertanya kepada anak didiknya, apakah sudah mengerti tentang apa yang sudah dijelaskan ?, apakah paham dengan apa yang kita kerjakan ? Pertanyaan ini sering mendapat jawaban spontan dari mereka yang mendengar (audien) dengan jawaban mengerti atau paham. Tetapi ketika pertanyaan itu dilanjutkan dengan pertanyaan apa itu mengerti atau paham, biasanya semua orang terdiam. Ini artinya bahwa kata ini mudah dan sangat mudah untuk diucapkan, dan sangat sulit untuk menerangkan.
Selanjutnya kita masih bisa bertanya, apakah mengerti itu ada hubungannya dengan orang sebagai subjek dari kata mengerti, artinya apabila suatu benda kita tunjukkan kepada seseorang untuk dia jelaskan, apakah penjelasan antara satu orang berbeda dengan penjelasan orang lain ? Kalaulah jawabannya persis sama, maka kemengertian mereka berarti sama dan kalau jawabannya berbeda, semua orang akan katakan bahwa pemahaman mereka berbeda.
Dua orang atau lebih memperoleh ilmu dari guru yang sama dengan mata pelajaran dan bahan bacaan yang sama, selesai menjelaskan mata pelajaran tersebut guru bertanya, apakah kalian sudah mengerti, mereka semua menjawab “mengerti”. Sampai waktunya diadakan ujian untuk membuktikan kemengertian mereka terhadap apa yang sudah dijelaskan, dan jawaban diperiksa, ternyata berbeda dan semuanya benar. Kembali lagi kita bertanya, apakah guru itu mengerti kenapa murid tersebut menjawab berbeda dan jawabannya benar ?
Kita sendiri tidak tahu kapan adanya kata “mengerti”, paling kurang bisa dikatakan bahwa kata “mengerti” sudah melewati berbagai zaman. Samakah makna “mengerti” pada setiap zamannya ? Tahun 70-an petani membajak sawah dengan menggunakan tenaga hewan, kerbau atau kuda. Sekarang para petani membajak sawah dengan menggunakan traktor. Kita akan katakan bahwa mereka itu, baik yang membajak dengan hewan ataupun dengan traktor adalah “mengerti” cara membajak. Lalu bagaimana jika ada petani ketika pada saat adanya traktor membajak sawah dengan menggunakan tenaga hewan. Mereka juga masih kita katakan “mengerti”, dengan alasan mereka tidak sanggup mengadakan traktor, atau didaerah mereka belum dikenal adanya traktor, atau juga mereka masih beranggapan bahwa menggunakan tenaga hewan dalam membajak sawah dengan hewan lebih berkah dari menggunakan traktor, sama dengan sebagian orang beranggapab bahwa makan dengan tangan lebih berkah dari pada makan dengan sendok atau juga dengan alasan lain.
Suhadi (kelahiran Kediri 1977), seorang penulis buku “Kawin Lintas Agama” (terb. LKIS.2006), membedaka makna “mengerti” kepada dua dalam hubungan dengan pola nalar. Pertama, sesorang dikatakan mengerti apabila ia mengetahui asal usul dari sesuatu yang dia ketahui, sangggup menunjukkan atau memperlihatkan perkembangan apa yang diketahui, mampu menggambarkan bentuk terdahulu dari apa yang dia pahami, selanjutnya ia punya pengetahuan menentukan sumber dari apa yang diketahuinya. Setelah itu semua, dia tidak mendiamkan dan akan menetapkan arah evolusinya.
Pengertian pertama ini kalau kita buat contoh tentang kemengertian seseorang terhadap salah seorang calon Gubernur/Bupati yang akan menjadi pemimpin daerah. Mengetahui asal usul dari seorang calon kepala daerah, kebudayaan dan lingkungan dimana ia berasal. Mempunyai informasi tentang sejarah kehidupan, tahapan kehidupan serta pendidikan yang dapat membentuk prilakunya. Ketika ditanya tentang masa lalu orang yang diperkenalkan sebagai calon, kita mampu menyebutkan dan menjelaskan, sehingga orang bertanya tersebut juga memahami orang tersebut sebagaimana halnya pemahaman kita. Lebih jauh lagi sanggup menceritakan asal usul keturunan dan posisi atau keberadaan keluarga mereka dalam masyarakat. Setelah itu bisa memberi garansi kepada masyarakat, kalau sesorang itu terpilih, ada hal-hal apa saja yang bisa ia lakukan sendiri dan ada juga hal-hal atau masalah yang penyelesaiannya memerlukan bantuan orang lain, guna tercapainya visi dan misi.
Kedua, Kemengertian selanjutnya adalah : Menelanjangi system dan meneropong relasi-relasi menurut interdependensi. Kemengertian pada tingkatan ini berkaitan dengan system hukum, pemerintahan, pilitik dan segala hal yang ada ketika permasalahan itu muncul. Sebagai contoh kita sebutkan, kata “munik” (cara perkawinan dalam masyarakat Gayo) ada sebagai solusi ketika cara pernikahan sesuai dengan prosedur (langkah-langkah yang disepakati) adat tidak dapat dijalankan, maka seseorang melakukkkan cara lain dan ini biasa dilakukan bila tidak mendapat izin dari wali atau orang tua dari salah satu pihak atau kedua belah pihak.
Kebudayaan dan adat serta tata cara hubungan social masyarakat berubah, kendati tujuan dari pernikahan tetap pada terbentuknya “kasih sayang” yang langgeng dengan waktu yang tidak ada batas. Namun proses munik yang dahulu pada tataran mempertahankan harga diri baik pihak yang akan menikah ataupun dari pihak orang tua, kini berubah menjadi upaya menutup aib yang terkadang menempatkan harga diri para pihak ke tempat yang tidak sepatutnya.
Karenanya untuk mencari “kemengertian” yang benar harus kita bongkar kembali apa yang mejadi sebab terjadinya perubahan makna munik tersebut, karena membiarkan kemengertian seperti ini berkekalan maka akan menghilangkan kemengertian yang sebenarnya.
“Apa sebenarnya yang sudah kita mengerti ?”