Takengen l Lintas Gayo – Kisah tentang orang Jepang bukan hal asing bagi warga Takengon. Apalagi digenerasi Bapak-bapak kita dahulu, Jepang pernah masuk ke Indonesia pra merdeka. Interaksi dengan Jepang kala itu, berlangsung hanya satu arah dimana tentara Jepang menguasai Aceh dalam rangka perang dunia kedua.
Disiplin, menghargai waktu, memiliki etos kerja yang tinggi sehingga tidak ada waktu yang disia-siakan, tergambar dari sosok lelaki Jepang Takenori Kadowaki (64). Pria Jepang berusia setengah abad lebih ini terlihat tidak setua usianya.
Tak sengaja aku berkenalan dengannya. Saat Iwan Fajar , lelaki gayo yang pernah bekerja tiga tahun di Nagano Jepang mendampingi Takenori. Iwan Fajar yang pernah magang di Jepang bekerja untuk konsultan Nippon, mendampingi Takenori.
‘Pak Takenori sedang belajar bahasa Indonesia”, kata Iwan di Kantin BK sambil makan. Sementara Takeniro sibuk dengan berbagai literature bahasa Jepang-Indonesia serta sejumlah catatan yang ditulisnya menggunakan pinsil.
Takeniro menikmati jus pokat dipadu coklat. Sekitar satu jam bersama Takenori, rasanya tak cukup mengorek keterangan tentang proyek PLTA Pesangan yang dibiayai Jepang dengan pemenang tender Hyundai Korea dan perusahaan Indonesia.
Apalagi, berbicara dengan Takeniro harus diterjemahkan oleh Iwan yang fasih berbahasa Jepang. Menurut Takenori Kadowaki, dia sudah berada di Takengon sejak beberapa bulan lalu. Dia seorang Tehnisi, khususnya terowongan.
Takeniro tidak hanya berbicara menerangkan tentang proyek yang sedang dikerjakannya. Dalam sebuah buku tulis , Takeniro membuat gambar bagaiman proyek PLTA dikerjakan di Kecamatan Silih Nara. Dalam gambar itu, Takenori menggambarkan dari Sanehen membuat terowongan untuk dialiri air dari Pesangen.
Jarak terowongan dalam bumi Sanehen dua kilometer hingga Kampung Remesen. Masih didalam tanah Remesen, lanjut Takenori, dibuat sebuah lubang (terowongan) menukik sedalam 200 meter guna mempercepat aliran air yang selanjutnya dipakai di Power House 1.
Power House 1 yang masih berada didalam bumi ini berkekuatan 40.000 KW untuk mengaliri listrik Takengon dan sekitarnya. Sementara Power House 2 nantinya akan mensuplai listrik untuk luar Takengon dengan kapasitas 40.000 KW.
Power House 1 memiliki ketinggian sekitar 30 meter, lebar 20 meter dengan panjang bangunan sekitar 60 meter.
—–
Dikatakan Takenori Kadowaki, Takengon masih memiliki alam yang indah dengan udara segar tanpa pencemaran sehingga sangat menarik. Menjawab tentang disiplin dan etos kerja, menurut Takeniro bisa diwariskan dari orang tua kepada anak.
Caranya , para orang tua Gayo mengawasi waktu anak belajar dan membimbingnya. Takenori sangat menyukai semua jenis jus yang menurutnya sangat enak di Takengon. Seperti Jus Mangga, papaya, nenas, alpukat dan jenis jus lainnya yang tiap saat siap dimakan.
“Meski waktu kerja dimulai pukul 08.00 Wib, tapi Pak Takenori sudah masuk kantor sejak pukul 07.00 Wib”, terang Iwan. Takeniro mengaku bangun setiap hari pukul 05.00Wib. Bapak dua anak, lelaki dan perempuan ini berasal dari Fukuoka City ini, kembali melanjutkan belajar Bahasa Indonesia dengan Iwan Fajar.
Andai saja para calon pemimpin di Gayo memiliki etos kerja seperti Takenori Kadowaki, bukan mustahil, SDA Gayo yang kaya akan menghasilkan banyak menu unggulan daerah yang mampu mendongkrak PAD yang kerap tidak sesuai target karena hanya mengandalkan retribusi kopi rakyat.
Sayang para balon “Koki” yang muncul tidak memahami begitu banyak menu di Gayo yang siap diolah. Mereka masih dikuasai “Syahwat” memimpin. Seperti ABG yang kasmaran. Tidak logika apalagi ilmiah dan memiliki nurani. Orator, bukan eksekutor yang memahami kondisi rakyat petani kopi. Sembunyi dibalik topeng politik yang menghalalkan segala cara. Menjadikan politik demikian hina.
Mau ngak ya Takenori Kadowaki menjadi bupati ?. Apalagi jika bupati terpilih nantinya bukan koki yang baik sehingga harus menunggu lima tahun kedepan dengan hari panjang membosankan. Rakyat petani kopi sendiri mengurus diri mereka, sementara pemimpin dan legislative jadi masyarakat exlusive bersama pengusaha dan para pembuat kebijakan daerah .
Mereka semua “loyal dan royal “ pada kekuasaan. Seperti jaringan mafia. Para Mafioso.
Arigato Otosan Takeniro Kudowaki …. (Win Ruhdi Bathin)