Oleh: Yusradi Usman al-Gayoni
Tak kusadari, air bening jatuh ke pipi cucu ku yang baru berumur belasan hari. Waktu berganti begitu cepat, 30 tahun berlalu dan kini ku telah memiliki seorang cucu dari putri sulungku. Air mata yang tumpah mengusik lamunanku, “Sudahlah, bukankah ini kebagahiaanmu?” Di depan ku, sosok bayi mungil, lucu dan cantik memberiku senyum. Senyumnya tak ubahnya seperti ibunya. Seakan dia menghiburku, nek, jangan sedih, kini aku hadir tuk temani nenek. Air bening terus tumpah, kuhadiahi keningnya dengan ciuman hangat dan do’a dari ku. Begitu juga dengan ibu, yang tertidur pulas tepat disamping cucuku.
Ya Tuhan berilah kekuatan, kesabaran dan ketabahan pada anak ku. Jadikanlah dia ibu yang kuat dalam menjalani rumah tangga dan membesarkan anaknya. Di sebelah kiriku, anak ku terbaring lemah akibat operasi caesar. Mereka butuh waktu sehari dari pedalaman hutan Aceh untuk sampai kemari. Di sudut kamar ini terdapat lemari tempat baju ketiga anak-anak ku saat masih masih kecil dulu. Di bagian lain, terdapat foto ketiga anaku ku, dua putri dan satu-satunya putraku dari hasil perkawinan keduaku. Yang satu namanya Sari, yang kedua Rahma dan yang bungsu Win. Aku hanya bisa tersenyum haru melihat dan mengingkat kisahku.
Di tempat tidur ini, ku kerap membangunkan mereka, ketiga anak ku. Bangun, bangun, sholat subuh-subuh. Di sini pula kenangan-kenangan bahagia berlalu seiring pergantian waktu. Namun, kenangan-kenangan indah itu tak kan pernah hilang dari ingatan ku. Masa-masa kecil indah bersama anak-anak dan suamiku. Rasanya ku ingin kembali ke masa itu. Ku merindukan masa-masa itu.
Di tengah pagi buta dengan hembusan angin dingin Danau Laut Tawar membuat mata mereka bertambah melek. Tak jarang, langkah mereka pun semakin berat untuk menghadap Tuhan. Kalo sudah begitu, beberapa potong lidi dengan cepat akan menyambar badan mereka. Terkadang aku kasihan pada mereka. Tapi, aku harus keras yang berbatas pada mereka. Dengan begitu, nanti kehidupan akan lunak pada mereka. “Maafkan mamak nak, mamak harus keras pada kalian. Ini mamak lakukan karena mamak sayang pada kalian,” kataku dalam hati. Sayang kalian masih belum mengerti bahasa hatiku. “Ku yakin kelak kalian akan mengerti hal ini dan kalian akan bertahan di tengah kerasnya hidup,” kembali kata hatiku mencoba menguatkan jiwaku.
Setelah sarapan, tas mereka telah terisi dengan keripik buatan ku. Keripik tadi akan mereka jajakan di sekolah. Aku mencoba mengenalkan kemandirian dengan berwiraswasta sejak dini pada anak-anak ku. Kadang penjualan mereka meningkat dan kadang sebaliknya. Hasil penjualan keripik singkong tadi akan digunakan untuk jajan mereka dan sebagian untuk ditabung. Selepas sarapan, mereka pun pamitan padaku dan sama bapaknya. Dengan berdoa dan melangkahkan kaki kanan, mereka pun keluar rumah. “Kami berangkat pak…mak,” mereka pamit sambil mencium tangan kami satu persatu. “Ya Tuhan, mudahkanlah jalan anak-anak ku dalam menuntut ilmu, yang dengan ilmu-Mu akan menjadikan mereka bijak dalam menjalani hidup, bermanfaat bagi kami, keluarga, agama, umat, kehidupan dunia dan hidup setelah mati, pinta ku lirih dalam hati.
Sengaja ku membawa ketiga anak ku untuk berjualan langsung saat pacuan kuda tradisional berlangsung di Musara Alun. Semua itu untuk mengenalkan hidup yang sebenarnya. Dengan begitu, mereka akan lebih mensyukuri diri dengan apa yang ada pada mereka, tidak menuntut banyak pada orang lain dan dapat berbagi lebih dari apa yang mereka miliki. Tak jarang, ketiga anak ku dapat melihat secara langsung, di tengah keterbatasan mereka, ternyata masih banyak yang kurang beruntung dibandingkan mereka. Berbeda dengan saudara-saudara sepupunya yang lain dari pihak bapaknya, mereka memiliki uang dan fasilitas lebih. Namun, aku yakin satu saat anak-anak akan punya nilai lebih dan mampu bertahan dibandingkan mereka, amin ya Allah, Engkau Yang Maha Mengetahui, harap ku kembali dalam hati.
Lebih dari itu, usai sholat subuh, secara bergantian anak-anak ku menemani ku ke pasar untuk menjajakan sayur-sayuran yang kami tanam di belakang rumah. Kadang-kadang, suami ku mengantarkan kami ke Pasar Inpres, pusat pasar di kota ini. Usai berjualan sayur, kami pun belanja, membeli kebutuhan dapur rumahku. Ku berusaha sebelum jam 7 pagi sudah sampai di rumah sehingga anak-anak ku tidak terlambat ke sekolah.
Hal ini terus berlangsung sampai mereka tamat ES EM PE. Itulah warna hidup yang mereka jalani. Aku berharap mereka dapat merasakan arti hidup yang sebenarnya. Bagi ku hidup adalah perjuangan dan perjuangan adalah hidup itu sendiri. Tentu aku harus mengoptimalkan usahaku, ulet, yakin, berdoa dan berserah pada-Nya. Aku ingin ketiga anak ku lebih dibandingkan aku dan suamiku. Kami tidaklah seberuntung saudara kami yang lain. Aku hanya tamat ES ER, sementara suami ku hanya lepas ES EM A, itu pun tanpa ijazah. Maklum saja, pada masa itu untuk menikmati pendidikan cukup sulit, zaman-zaman Jepang dulu. Begitu juga suami ku. syukur-syukur aku dan suami ku masih diberi kesempatan untuk hidup, beribadah dan berbuat lebih untuk anak-anak kami. Untuk itu, anak-anak kami harus lebih dari kami terutama dari pendidikannya. Untuk pendidikan mereka, apa pun kami upayakan dan lakukan sepanjang sumber dan sifat usaha halal, berkah dan dirihoi Tuhan. Yang pasti yang terbaik buat anak-anak ku.
Satu hal yang patut kami syukuri, mereka memiliki prestasi lebih di sekolahnya. Tak jarang, tiap akhir caturwulan, mereka kerap membawa hadiah berupa trofi, buku dan uang sebagai hadiah dari prestasi yang mereka peroleh. Anak ku, mamak bangga pada kalian. “Teruslah berusaha, jangan patah semangat, mamak yakin kalian bisa,” bisik ku ke telinga mereka. Mereka hanya tersenyum sambil menganggukkan kepala, “iya mak,” jawab mereka, kami akan berusaha sekuat tenaga.” Di sampingku, suamiku ikut tersenyum. Tak lama, dia pun meninggalkan kami dalam suasana bahagia. Aku tahu, dia tak mampu membendung air matanya kalau melihat suasana seperti ini.
Hampir tiap hari ku mengobarkan api semangat kepada anak-anak ku. “Kamu harus lebih dari saudara sepupu mu yang lain. Coba lihat ibi kul, saudara bapak yang sulung; ama kul; abang bapak yang sulung dan ama ucak kalian, adik bapak yang bungsu. Kalo bapak sama mamak sudah seperti ini, kalian jangan lagi, kalian harus jadi orang” kata ku dengan keras pada mereka.
Kini, ketiga anak ku telah selesai kuliah. Yang sulung tamat D3, dan yang dua lagi sudah tamat ES 1 dan dua ku anak sekarang sedang meneruskan ES 2 mereka di tempat yang berbeda. Awalnya, aku berat mengizinkan mereka. Aku dan suamiku tak sanggup lagi meneruskan sekolah mereka. ES 1 saja aku sudah syukur. Tapi aku tahu keinginan mereka. Mereka pasti akan mengejar keinginan mereka meski jalan yang mereka lalui penuh ujian, tantangan dan penuh harap. Terakhir, aku pun memberikan izin dan do’a pada mereka meski mereka harus menanggung biaya kuliah mereka sendiri. Tuhan Yang Maha Memudahkan urusan hamba-Mu, mudahkan jalan anak-anak ku dalam menuntut ilmu-Mu. Berilah mereka petunjuk, rejeki dan pertolongan Mu. Ya julzalaliwalikram, kepada Mu hamba berserah karena Engkau sebaik tempat berserah dan kembali, jadikan umur ku, suami dan anak-anak ku yang berkah dan dapat berbuat lebih di tengah sisa umur kami ya Tuhan, perkenankanlah doa ku Ya Maha Mendengar dan Merasakan, amin ya rabbalalamin.
Air mata ku kembali tumpah mengingat wajah-wajah mereka. Aku tak kuasa menahan tangis ku saat ku membaca salah satu puisi anak ku yang ada dipelukan putriku yang sulung. Tadinya aku penasaran, coba coba mengambil kertas tadi dan menbacanya pelan-pelan.
Inengku*
Ketika ku hadir menangis
Engkau tersenyum haru
Ketika ku dahaga
Engkau beri aku air kehidupan
Saat ku lapar
Engkau beri aku makanan terbaik yang pernah ada
Ketika aku kedinginan
Engkau dekap aku dengan kehangatan cintamu
Ketika ku resah
Engkau selalu bersamaku
Ketika ku ketawa
Engkau tersenyum bahagia
Ketika mentari menyentuh tubuhku
Engkau selimuti diriku dengan upuh panyang itu
Ketika ku tumbuh
Engkau bentuk jiwaku
Ketika ku berjalan dan jatuh
Engkau peluk erat diriku dengan tetesan ari matamu
Ketika aku tidak tahu
Engkau ajarkan aku pelajaran hidup sehingga aku tahu arti sebuah kehidupan
Ketika pagi datang
Engkau berkata, ”wet-wet, semiang-semiang”
Ketika hari berganti
Engkau senantiasa mengingatkan, ”semiang, ngaji, nye belejer”
Ketika semangat ku hampa
Engkau datang dan berkata, ”anak ku, kamu bisa”…
Ketika kami ingin sesuatu
Engkau daki gunung-gunung itu
Ketika kami ingin sesuatu
Engkau tuai padi-padi itu
Ketika kami ingin sesuatu
Engkau jajakan hasil keringatmu di tengah gelapnya pagi
Semata agar kami bisa tersenyum
Ketika ku jauh darimu
Bibirmu kerap berucap, ”lindungi anak ku ya Tuhan”
Ketika engkau teringat padaku
Engkau bersimpuh dihadap-Nya dan berdoa penuh harap
”Berilah kesehatan, kemudahan dan pertolongan-Mu pada anak ku”
Ine…aku rindu kehangatan mu
Ine…aku rindu belaian kasih sayang mu
Ine..aku ingin bersimpuh di kaki mu
Dalam kesendirianku, ku terus mengingat petuahmu
“Gelah kemel anak ku,”
“Gelah i desi untungmu…bayak bajungku,”
“Gelah makal mas pirak ku”
“Karena kam daling pelongohenku.”
Ya Tuhan…
Berilah hal yang terbaik bagi bapak mamak ku…dan kami
*Malang, 2 Agustus 2007 (11.30-00.00)
“Pa udah selesai mak?” tanya suami ku. “Iya,” jawabku. Pagi ni kami mau ke rumah besan dan saudara kami yang lain untuk mengabarkan kalo cucu ku telah di sini. Ya Tuhan, jadikanlah cucu ku anak yang senantiasa menghambakan diri pada DiriMu, berilmu, rendah hati, lembut, santun, kuat dan berkarakter seperti ibu, ngah dan pun-nya, ucap ku lirih sambil ku daratkan bibirku di dahi-nya, sebelum ku meninggalkan mereka di tengah tidurnya yang lelap.