Dualisme, Korupsi Dan Suap-Menyuap

Oleh : Khairul Rijal*

Lemahnya keadilan merupakan fenomena yang tak pernah hilang dari tubuh bangsa  Indonesia. Hal ini sudah menjadi tradisi turun temurun yang akan terus berlanjut tanpa adanya kepastian yang jelas. Potret buram ini juga telah menjadi budaya di negeri ini. Indonesia yang kaya akan sumber daya alamnya juga tidak kalah kaya akan korupsinya, betapa mudahnya para koruptor yang seenaknya melenyapkan uang rakyat dari segala bidang yang ada di pemerintahan, bigitu juga suap menyuap yang telah mewarnai aktifitas kehidupan di negeri ini.

Korupsi dan suap-menyuap adalah dua aspek yang tak pernah selesai tersentuh hukum yang jelas. Dualisme inilah yang menyebabkan lemahnya keadilan ditubuh bangsa ini. Dualisme suap menyuap dan korupsi adalah racun yang perlahan-lahan menggerogoti sendi-sendi bangsa yang berdampak buruk bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Ironis jika bangsa kita yang berada pada zaman reformasi dan demokrasi tapi tindakan suap-menyuap dan korupsi menjadi tradisi yang dilakukan secara terang-terangan. Seperti terjadinya suap-menyuap di dunia pendidikan yang lebih mementingkan materi dari pada akademis, terjadinya monopoli dalam dunia usaha dan bisnis yang dapat menguasai harga, praktek suap menyuap dalam tubuh birokrasi dan pengadilan dan sampai hal kecil seperti pembuatan KTP pun masih terjadi suap dan sogok-menyogok. Seperti yang baru dipaparkan oleh Transparansi Internasional (TI) berdasarkan hasil surveinya tentang kecendrungan pebisnis melakukan penyuapan. Survei tersebut dilakukan terhadap 3.016 eksekutif bisnis di 28 negara.

Hasil surveinya ternyata menepatkan Indonesia dalam Empat besar peringkat terburuk, yaitu di urutan ke-25, berikutnya adalah Meksiko, Cina dan rusia. (Republika 4/11/11). Tindakan suap-menyuap akan melahirkan para koruptor dan hal ini terjadi karena adanya peluang. Menurut penulis dua tindakan hina ini mempunyai kesamaan dan merugikan bannyak pihak terutama rakyat yang setia membayar pajak terkena imbasnya. Dan perlu kita renungi bahwa suap-menyuap dan korupsi berada diurutan 47 ditataran global dan untuk Asia pasifik Indonesia berada pada urutan kedua terburuk.

Seperti yang terjadi belakangan ini, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang diharapkan bisa memberi warna positif  bagi pengadilan yang ada di Indonesia malah jauh melenceng dari apa yang diharapkan. Hal ini dikarenakan maraknya vonis bebas yang diberikan kepada beberapa terdakwa korupsi oleh Pengandilan Tipikor, terkait masalah ini Donal Fariz Peneliti hukum ICW memaparkan, “awal pembentukan Pengadilan Tipikor tak lain seringnya pengadilan negeri mengambil keputusan kontroversial dalam kasus korupsi dengan membebaskan para tersangkanya, tetapi jika pengadilan Tipikor melakukan hal yang sama, harus ada evaluasi secara menyeluruh” (Republika 7/11/12).

Ini semua merupakan gambaran bahwa betapa lemahnya hukum dipengadilan yang ada di negara kita saat ini. Pengandilan Tipikor yang usianya belum genap dua tahun sejak dibentuk berdasarkan UU pengadilan Tipikor namun telah melahirkan prestasi yang cukup mencengangkan dalam pembebasan yang diberikan kepada terdakwa korupsi.

Terkait masalah ini Indonesia Corruption watch (ICW) juga memaparkan data yang mereka miliki bahwa terdapat 40 terdakwa kasus korupsi dibebaskan oleh Pengadilan Tipikor dan tidak menutup kemungkinan ini bisa bertambah (Republika 7/11/12).

Mengkaji masalah banyaknya para koruptor yang bebas. Hal ini menunjukan bahwa hakim yang ada yang mengadili masalah korupsi tidak mempunyai ketegasan dalam memberi keputusan yang kongkret terhadap para koruptor. Seperti kasus persidangan yang terjadi pada Wali kota Bekasi, Muchtar Mohamad. Tiga dari empat dakwaan terhadap terdakwa cukup jelas bahwa yang bersangkutan melakukan tindakan korupsi, akan tetapi mejelis hakim membebaskan terdakwa. Dari fakta ini penulis dapat menyimpulkan bahwa hakim yang ditunjuk dalam proses tersebut buta tentang pasal korupsi dan tidak mempunyai integritas dan independensi yang lemah. Inilah penyakit yang dialami bangsa kita saat ini. Jika hal ini terus dibiarkan maka tidak menutup kemungkinan bangsa kita menjadi urutan pertama dalam masalah suap dan korupsi. Banyaknya suap dan korupsi yang ada ditubuh negeri ini karena besarnya peluang yang mereka miliki, faktanya Pengadilan Tipikor menjadi surga bagi para koruptor.

Menurut penulis ada beberapa hal yang perlu diperbaiki agar hukum dinegeri ini tidak murah harganya dan mempunyai nilai. Pertama pemerintah harus lebih tegas dalam mengaspirasikan suara rakyat. Kedua Komisi Yudisial (KY) harus meneliti lebih lanjut keputusan yang diberikan Pengadilan Tipikor terkait bebasnya para koruptor. Ketiga Mahkamah agung (MA) harus meneliti kembali para hakim yang berada dipengadilan Tipikor. Seperti yang dikatakan Busro Muqoddas ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dalam khotbahnya Sholat Idul Adha di Alun-Alun Jogjakarta beliau mengatakan “ Mari kita berantas korupsi dari halaman rumah kita sendiri”, maka dari itu penulis menyimpulkan bahwa tindak kejahatan itu perlu dirubah dari setiap individu kita masing-masing, jika keadilan telah ditegagkan maka tidak menutup kemungkinan keadilan dan kemerataan akan dirasakan disetiap sanubari anak bangsa ini. Ini adalah sebuah harapan yang lama terpendam, yang harus terwujud agar bangsa tidak dipandang sebelah mata oleh negara asing.

—-

*Penulis Adalah Mahasiswa Fakultas Agama Islam (FAI), Universitas Muhammadiyah Jakarta.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.