Sabtu, 12 Nopember 2011 sekitar pukul 23.00 Wib, tepatnya setelah acara nonton bareng film sejarah perjuangan Radio Rimba Raya “Sejarah Bangsa yang Terlupakan” digelar, sejumlah personil panitia dan mahasiswa Gayo serta didampingi beberapa Petue Gayo Yogyakarta berkumpul di alun alun selatan Yogyakarta untuk mengadakan evaluasi kegiatan acara yang telah dilaksanakan.
Ditemani secangkir kopi dan suasana Yogyakarta begitu istimewa malam tersebut, Helmi Ranggayoni, Ketua Panitia Pelaksana, memulai membuka sesi evaluasi acara yang telah digelar. Helmi nama panggilan akrabnya mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah menyukseskan acara ini, khususnya para sponsor dari Pemerintah Kota Yogyakarta, Radio Republik Indonesia (RRI), Warung makan Bungong Jeumpa, Petue Gayo Yogya serta semua pihak yang telah ikut mensukseskan acara tersebut.
“Kita patut bersyukur bahwa acara malam ini sukses,” kata Helmi, setelah evaluasi keseluruhan dilaksanakan. Pernyataan ini diamini oleh semua peserta yang hadir serta memberikan tepuk tangan sebagai tanda apresiasi.
Belum ingin membubarkan diri, pembicaraan berlanjut dengan diskusi tentang Budaya Gayo.
Dalam sesi yang ini, mahasiswa Gayo Yogyakarta menilai budaya Gayo saat ini semakin ditinggalkan oleh para generasi muda khususnya penggunaan bahasa Gayo yang dikhawatirkan akan punah.
Dari permasalahan tersebut muncul ide tentang bagaimana peran mahasiswa Gayo untuk memberikan kontribusi yang nyata terhadap budaya Gayo.
Di mulai dari Yogyakarta diharapkan kedepan budaya Gayo akan tetap dipertahankan khususnya dikalangan generasi muda.
Ada beberapa hal yang berhasil disimpulkan dalam forum ini, diantaranya dalam waktu dekat dari Yogyakarta akan mengajak semua mahasiswa dan masyarakat Gayo diantaranya untuk mendukung sejarah Radio Rimba Raya dimasukan sebagai salah satu kurikulum pendidikan Nasional.
Selanjutnya mengajak semua elemen pemerintahan yang ada di Gayo untuk mewajibkan motif Kerawang Gayo sebagai salah satu pakaian resmi kepegawaian, minimal 1 hari dalam seminggu. Selain itu, forum tersebut juga akan mendesak dijadikannya bahasa Gayo sebagai salah satu kurikulum local.
Warga Gayo Yogyakarta tersebut juga memutuskan untuk melakukan hal yang terkecil terlebih dahulu dari diri sendiri sebelum memperbaiki yang lebih luas dalam melestarikan budaya Gayo, yakni melakukan aksi nyata dengan menggunakan bahasa Gayo sebagai bahasa wajib dalam berkomunikasi sesama Urang Gayo ketika berada di asrama Lut Tawar. (Syarifuddin/03)