Bahasa Inggris Bukan Sebagai Perusak Agama & Nilai Budaya Kita

BAHASA INGGRIS BUKAN SEBAGAI PERUSAK AGAMA & NILAI BUDAYA KITA

(Joni MN – Aman Rima)

Bahasa Inggris pada saat ini sangatlah memegang peranan penting dalam semua aspek pergerakan manusia di atas bumi ini lebih – lebih di dalam dunia akademik, informasi, pasar dan untuk pencapaian dalam salah satu bidang ilmu pengetahuan, sehingga bahasa ini menempati tempat teratas di sekolah baik di tingkat dasar hingga sampai perguruan tinggi, juga hal ini sangat berperan di dalam kehidupan keseharian. Bahasa atau juga bahasa Inggris bahkan bahasa apapun yang ada di atas bumi ini merupakan bahasa yang bersifat Homogen yang dipergunakan hanya sebagai medium untuk mengekspresikan perasaan yang sudah dikelola oleh otak manusia sipengguna bahasa tersebut, bahkan bahasa yang arbitrary ini sebagai symbol penyampaian pikiran dari apa yang dilihat, sehingga bahasa inilah yang membedakan manusia dengan mahluk – mahluk lain yang diciptaan ALLAH di muka bumi ini. Namun dalam pengembagan ataupun dalam akusisinya bahasa khususnya Bahasa Inggris atau bahasa asing lainnya yang merupakan second language (L.2) atau bahasa kedua, jadi untuk menguasainya tidaklah harus memusnahkan atau meninggalkan nilai – nilai agama dan budaya juga bahasa kita yang merupakan sebagai Identitas keberadaan, daerah, dan bangsa kita dan bahkan manusia itu sendiri. Dan lebih – lebih bahasa Inggris tersebut di pakai sebagai medium untuk menterjemahkan sastra, adap, keberdaan ataupun sociology dari suatu daerah, “khususnya Aceh Tengah yang dikenal mempunyai tradisi dan adat yang sangat solid juga bahasanya yang penuh dengan ekspresi sastra” umumnya Indonesia juga yang mempunyai beribu – ribu pulau yang berbeda, dan dengan adat – adat istiadat yang berbeda pula, hal ini sering dipakai sebagai alat bantu mengajar didalam pengembangan dan pencapaian target dari suatu materi.

Tahun – tahun belakangan ini masih banyak kita lihat dan dengarkan para anak – anak kita yang masih setia mendo’akan orang tua atau pun orang – orang yang mereka tinggalkan di saat mereka beranjak dan memasuki rumah yaitu dengan mengucapkan “ASLAMU’ALAIKUM” namun akhir – akhir ini saya melihat dan mendengarkan ada mungkin dalam jumlah besar seolah – olah malu bahkan merasa tersisihkan bila mereka itu mengucapkan salam “ASLAMU’ALAIKUM” mereka mulai menggantikannya dengan “Good Morning, Good Afternoon, Good evening, Good Night” atau Bay/bay-bay, atau yang lainya, sebagai komunitas Islam yang bermartabat, beradab dan yang memiliki adat, kata – kata tersebut sebenarnya bukan mengandung do’a hanyalah berorientasi kepada waktunya bukan kepada manusianya. Didalam memahami dan mempelajari bahasa Inggris alangkah baiknya kita sebagai orang beragama Islam menempatkan ucapan do’a “ASLAMU’ALAIKUM” untuk mengawali pertemuan setelah itu barulah di teruskan dengan ucapan – ucapan tersebut yang memakai bahasa Inggris.

“Permasalahan pengajar bahasa Inggris disini sebagai stake – holdernya dan yang memegang peranan dalam pemberdayaan pendidikan diharapkan keikhlasannya untuk acuh kepada yang mengaktualisasikannya agar dapat memperhatikan bagaimana menggunakan materi agama Islam khususnya, dan materi kedaerahan sperti halnya di dataran tinggi Gayo yang memilki adat dan bahasanya yang mempunyai kandungan nilai sastra yang cukup tinggi dan kaya akan ontology kata – kata, menggunakan materi tersebut untuk mengajar secara effective merupakan usaha untuk memperkuat identitas daerah dan juga bangsa, tanpa harus membuat siswa terkungkung dalam kedaerahannya,”.

Menggunakan terjemahan sastra dan ontology kata – kata daerah dalam pengajaran Bahasa Inggris atau second language ini akan menjadi salah satu pokok pembicaraan oleh Presiden Organisasi Pengajar Bahasa Inggris di Indonesia (Foreign Language Indonesia/Teflin)”Suwarsih Madya”pada bulan Agustus 2008 lalu di Sanur Bali, acara seminar yang membicarakan tentang Aptitude and Qualified of English teachers in Indonesia “ tujuan dari makalahnya adalah untuk adab dan mutu bagi pengajar bahasa inggris di Indonesia”, yang saat ini hampir keluar dari rel yang ada.

Penerjemahan dan pengajaran harus dilakukan dengan hati – hati. Bila tidak, keindahan dan muatan budaya dari nilai tradisi daerah itu akan hilang. Selama ini pelajaran bahasa Inggris lebih banyak disajikan dengan cerita dari barat atau asing, yang tentu saja memiliki konteks dan latar belakang budaya yang berbeda. Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra) Fuad Abdul Hamid (Metro TV, Jam 22.32 WIB, tanggal 13 November 2008) mengatakan, bangsa Indonesia harus bisa membawa budaya lokal ke tingkat Internasional, tanpa harus menghilangkan Identitasnya.

Disini jelaslah bahwa Bahasa Inggris itu hanyalah sebagai soft ware “perangkat lunak” yang dipakai untuk mengimformasikan atau memberitahukan sesuatu yang akan diberitahukan dengan tampa harus merusak nilai – nilai norma keberadaan si pengguna bahasa tersebut. Dalam mengajarkan bahasa Inggris, seorang pengajar harus mengerahkan anak didiknya pada pengertian lintas budaya dan mengajarkan adab, adat – adat parole dan mengaktualisasikannya sesuai menurut norma agama, adab dan nilai – nilai budaya yang di miliki, karena mempelajari suatu bahasa yang dipahami seluruh dunia adalah untuk mewujudkan perdamain antar-umat manusia walaupun berbeda agama, bangsa dan budaya.

Kita punya adab, adat, dan nilai – nilai riligi yang sangatlah sesuai dengan aturan – aturan bermasyarakat, dan hukum Islam, janganlah gara – gara perangkat, alat atau medium itu semuanya jadi punah dan tenggelam, kehadiran Bahasa Inggris yang sudah merasuki dan menyatu kedalam tubuh dunia pendidikan bukanlah untuk mengusik kedudukan moral juga nilai – nilai adat yang di miliki oleh suatu daerah, tanpa harus meninggalkan adat dan tradisi, kita juga pasti bisa menguasai bahasa kedua itu dengan sempurna. Hal ini haruslah di perhatikan oleh stake – holder yang memegang peranan dalam bidang pendidikan dan pengajaran, dimana pada saat ini peranan affective approach dan Imaginative Reconstruction yang aplikasinya kedalam pendidikan moral di dalam pengajaran sudah hampir terlupakan terutama dalam pengajaran bidang study bahasa Inggris sehingga tidaklah diherankan lagi apabila nilai – nilai moral dari suatu tradisi itu mulai punah pada si subject belajar khususnya English Learners dan English Instructors yang sok kebarat – baratan yang telah meng-almarhumkan nilai – nilai estetika, agamais, adab dan adat maka terlahirlah generasi yang apatis dan bahkan malu mengakui tradisi juga bahasanya sendiri akhirnya hilanglah identitas kita dan juga keberadaan kita, endingnya jangan bertanya lagi kalau kita tidak dikenal dimata dunia.

Paradigma dalam Pendidikan Bahasa

Kepada Pendidik dan Fasilitator (Pendidikan Ilmu Bahasa)

Didalam epistemology berfikir oleh ahli dari Barat selalu berlaga dengan totalitas kebenaran mutlak Tuhan, hal ini belum terungkapkan atau terkoyakan samapi saat ini. Salah seorang Dosen saya mengatakan sewaktu dia memberi perkuliahan Filsafat Ilmu pada bulan 12 Oktober 2007 yang lalu “dia telah banyak mengutip hadits – hadits Rasulullah saw; mengambil kesimpulan bahwa, epistemology itu dapat berlangsung sesuai dengan programnya, hal ini dapat membangun paradigma baru dalam studi Islam dan yang ada di dalamnya dan mendudukan otoritas Ilmuwan juga Ulama sebagai yang bukan sacral” begitulah Ucapan dari Prof. Dr. Noeng Muhajir juga merupakan sosok Philoshop terkemuka dalam Ilmu kefilsapatannya pengakuan “Eddie” salah seorang Penduduk Amerika yang berdomisili di Singapore.

Jadi kebenaran realisme Metaphisik yang berangkat dari kebenaran obyektif universal, dalam lingkungan study Islam sangatlah perlu diperluas tentang ontologinya sampai mencapai tingkat kebenaran transcendental, kebenaran wahyu. Jelaslah didalam paradigm rasional empiric Interaktif kebahasaan, yang dimuarakan dalam makna bahwa kecil penggunaan telaah berdasarkan Ragam structuralisme, ragam teory hermeneutuk analitik, content analisis positivistic, philology, linguistic, dan lainya. Prihal kebahasaan konteknya bermuara ke study karya sastra yang pusat telaahannya adalah; Strukturalisme intrinsic, semantic dan teory pemahaman hermeneutic ontologik, strukturalisme social, dan juga genetiknya.

Bahasa merupakan metodologi berfikir logic dalam Ilmu Pengetahuan dikenal sebagai “Second order of Logic”. System berfikir logic yang kedua ini menggunakan bahasa sebagai alat untuk mengungkap fakta empiric dan membangun kebenaran, sekaligus sebagai alat untuk mengkonfermasi juga menguji keter-andalan fakta dan kebenaran itu sendiri. “Platonist” – memandang bahwa logika bahasa merupakan logika yang mengunakan system logika yang mengikuti aturan yang structuralis dan pragmatic bahasa, sebagai system terlepas dari katagori bagaimana aturan hukum kalimatnya.

Dipatuhinya system logic bahasa menentukan kebenaran yang diungkap, diolah, dan yang diuji. Sangatlah jelas bahwa bahasa itu merupakan Ekpresi Mental Manusia si penggunanya. Mental Content inilah yang menjadi penentu kebenaran yang diungkap, diolah, dan diuji. Maksud Platonist adalah struktur bahasa mengikuti aturan bahasa, terlepas dari penggunaannya, Mentalist bahwa bahasa itu ditentukan oleh isi mental manusia si pengguna bahasa tersebut. Dan sedangkan hermeneuktik merupakan pernyataan “texts discourses” dengan Interpresi menjadi intertextualitas, ini yang menjadi pusat telaah hermeneuitik, tetapi bukan dibawakan ke konteks bahasa yang Interpresinya humanistic, affective, dan pragmatic. Bukan seperti yang di jumpai dalam Ilmu Sosial juga Humaniora, bahwa perkembangan Ilmu bahasa, metodologi berfikir logic hanyalah mengembangkan logika bahasa itu sendiri, seperti halnya yang di bahas didalam kajian “Geisteswissenshaften – Kulturalwissenschaften” yang membahas Ilmu kebudayaan dan Study Bahasa konteks Humaniora, logika bahasa yang mengaktualisasikan hal ini adalah logika yang hanya menggunakan sebatas untuk study Bahasa saja, non – moralist dan non – intuitif.

Pendekatan kajian bahasa secara rasional lebih harus diperhatikan dan juga terukur disebabkan situasi dan kondisi si pemakai bahasa (khususnya Bahasa Inggris) yang tengah berlangsung dan pemusatan bahasa tersebut ke arah yang normatif, pragmatik dan intuitif guna meraih norma moral yang kita harapkan bersama. Nah, dalam pendekatan inilah antara dataran transcendental-normatif-substantif dari Agama Islam yang diterapkan. Dengan demikian dataran transcendental Agama mengalami verefikasi dalam kenyataan empiric dan kebenaran pemahaman moral Agamis akan terlaksana dan teruji dalam ruang juga waktu yang berubah dan berkembang, dengan memahami dan mengklarifikasi catatan yang simple ini maka komunikasi yang memakai medium bahasa akan terlaksana menurut tujuan aksiology (bagaimana; aspek atau demensi nilai kebahasaan), dan ontologisme (mencari hakikat nilai dari sifat kebahasaan itu sendiri) dengan tidak meninggalkan nilai norma yang ada pada Agama dan budaya yang dimiliki oleh sepenutur itu sendiri.

Pada akhirnya dengan melalui pemahaman yang lebih integral yang memperhatikan factor impiris dan transcendental, ini akan dapat melahirkan aktualisasi Bahasa yang bermoral, sopan – santun, dan memiliki nilai – nilai Agamis dan normative sebagai pengguna yang beragama, dalam kontek ini bahasa juga sangat membutuhkan nilai-nilai norma Agama dan Budaya pada saat pelaksanaannya. Dan untuk menindak lanjuti pemetaan tersebut diatas, sangat diharapkan pengembangan bahasa dengan menyentuh pendekatan – pendekatan kandungan transcendental agama dan Budaya guna mendapatkan pemeraktisan proses pembelajaran juga aktualisasi norma adat juga Agama. Aristoteles mengajarkan bahwa kebaikan harus dilakukan dengan benar fungsi (ergon) dari suatu hal. Mata hanya baik di mata begitu banyak karena dapat melihat, karena fungsi yang tepat adalah pandangan mata.

Aristoteles beralasan bahwa manusia harus memiliki fungsi tertentu bagi manusia, dan bahwa fungsi ini harus merupakan kegiatan dari psuchē (biasanya diterjemahkan sebagai jiwa) sesuai dengan alasan (logo). Aristoteles mengidentifikasi seperti aktivitas optimum jiwa sebagai tujuan dari semua tindakan yang sengaja oleh manusia, eudaimonia, umumnya diterjemahkan sebagai “kebahagiaan” atau kadang-kadang “kesejahteraan”. Untuk memiliki potensi yang pernah bahagia dengan cara ini tentu membutuhkan karakter yang baik (ēthikē arete), sering diterjemahkan sebagai moral (atau etika) kebajikan (atau keunggulan) .

Bukan hanya konten dari norma agama dan budaya yang milk kita saja mengharapkan untuk penerapan norma etika dengan tepat dan baik, namun Philosop yang sangat – sangat tidak asing lagi namanya di dunia philsafat bernama “Aries Toteles” yang belum mengenal content dari orientasi budaya kita dan bahkan mungkin beliau belum tahu benar tentang isi-isi norma etika dan adab yang ada pada nilai – nilai Islam sendiri secara detail, beliau sangat menjelaskan betapa pentingnya karakter yang baik, etika atau kebajikan guna mencapai kebahagian dan kesejahteraan, tentunya salah satu pencapaiannya melalui interaksi komunikasi bermakna yang memakai saarana Bahasa, baik itu Bahasa Inggris maupun Bahasa – Bahasa yang lainnya.

______________________________

[1] Robinson, H. (1983): ‘Aristotelian dualism’, Oxford Studies in Ancient Philosophy 1, 123–44. Nussbaum, M. C. (1984): ‘Aristotelian dualism’, Oxford Studies in Ancient Philosophy, 2, 197–207. Nussbaum, M. C. and Rorty, A. O. (1992): Essays on Aristotle’s De Anima, Clarendon Press, Oxford. Sri Swami Sivananda. “Sankhya:Hindu philosophy: The Sankhya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

3,627 comments

  1. sya sngt stju dgn article ini,, emg sih budaya inggris sangt brtolak belakang dengan agama dan budaya kt,, tp skrg y kt gunakan yaitu hnya bahasa a saja, hanya sja org slah mengartikan, kt berbcara dgan bahasa inggris tetapi apabila kt berbicara dlingkungan budaya dan agama kt dgn menggunakan bhs inggris, kt hrus ttap memakai tutur bahasa kt sesuai dgn ajaran agama dan budaya kta.