Oleh : Maharadi*
Pagi belum terlalu beranjak, namun matahari sudah terlihat sumringah. Di bawah sebuah pohon rindang, kurebahkan pelan punggung ini. Semilir angin musim semi menyentuh lembut kedua pipiku, kurasakan sejuknya sampai paru-paru saat bertukar nafas. Rasa letih selepas mengitari suasana kampusku yang tercinta di Negeri Gayo. Membayangkan semisalnya setiap tahun, setiap bulan, bahkan mungkin setiap hari lahir dan lahir kembali penulis-penulis baru, setiap itu pula berbagai karya meriuhkan dunia kepenulisan oleh generasi Gayoku. Mahasiswa sering disebut orang yang berintelektual dan kerap disebut sebagai agent of change (agent perubahan). Mahasiswa sebagai intelektual muda, sudah pasti begitu banyak menghasilkan pemikiran bagi bangsanya.
Menjadi mahasiswa yang ideal sejatinya memadukan antara kekuatan berfikirnya (tulisan) dan kemampuan organizernya. Ia bukan hanya sekadar intelektual yang berusaha menterjemahkan persoalan-persoalan bangsanya dan hanya berkutat pada teori-teori saja atau sebaliknya. Jarang sekali kita menemukan sosok semacam ini
Sebagai contoh Soe Hok-gie misalnya, seorang intelektual muda sekaligus demonstran, angkatan 66 yang usianya yang masih sangat muda, ia mampu menghasilkan begitu banyak pemikiran yang tajam tentang persoalan-persoalan bangsanya ketika itu. Soe Hok-gie adalah intelektual-demonstran. Sebagai seorang intelektual-demonstran, Soe Hok-gie betul-betul mampu melakukan sinergi antara kedua kekuatan tersebut. Dalam sejarah perjalanan hidupnya tidak terlihat pertentangan antara kedua hal tersebut. Intelektualismenya digunakan untuk melakukan pencerahan kepada masyarakat secara kultural melalui tulisan-tulisannya di media massa dan demonstrasi dilakukan untuk melakukan perbaikan-perbaikan sosial, ekonomi,politik secara struktural. Sebuah kecerdasan yang jarang dimiliki oleh anak bangsa seusianya pada jaman itu maupun saat ini
Bagaimana dengan mahasiswa kita hari ini ?
Mahasiswa kita hari ini seperti katak dalam tempurung,merasa hebat ketika jadi senat mahasiswa, pejabat teras di kampus atau sudah merasa hebat ketika ikut demostrasi, diliput oleh media. Bangganya mengebu-gebu namun, disayangkan hasilnya nihil. Bagaimana tidak? konsep untuk melakukan demonstrasi tersebut tidak struktural, artinya konsep demostrasi tersebut mandul alias tidak mempunyai output untuk rakyat.
Ada sebagaian mahasiswa menyebut dirinnya sebagai mahasiswa yang idealis,atau aktivis yang idealis,tapi kenyataanya banyak yang pragmatis atau apatis. Kenyataan ini menjadi rahasia umum, jarang kita melihat Keberanian seorang mahasiswa idealis untuk memegang teguh prinsip-prinsip keidealisanya inilah fenomena di negeri kita. Ketika kita sibuk meneriakan kepentingan rakyat, ternyata kita pula yang mengkhianati rakyat. Mahasiswa kita gampang sekali dirayu dibujuk oleh elit politik. Sangat disayangkan ketika teriakan yang lantam disuarakan untuk kepentingan rakyat berubah menjadi bisu, dikala diajak makan bareng oleh eksekutif maupun legislatif dengan menawarkan lobi-lobi politik, integritas dijual dengan sesuap nasi dan sebatang rokok. Kemudian setelah saat kita duduk menjadi anggota eksekutif atau legislative,kita lupa diri bahwa kita pernah meneriakan kepentingan rakyat pada zamanya menjadi mahasiswa.
Keteguhan seorang mahasiswa yang idealis selalu menjaga moralitasnya. Dia tidak mau terjebak dalam kekotoran dan kemunafikan politik. Seorang mahasiswa yang idealis harus memilih hanya ada dua pilihan yaitu menjadi idealis atau apatis.
Soe Hok Gie mengibaratkan mahasiswa idealis dan intelektual seperti koboi (flim coboy),dimana disaat ada sebuah kampung yang diserang oleh sekelompok perampok, maka sang koboi datang untuk mengusir para perampok tersebut dan setelah itu koboi kembali ketempat komunitasnya untuk berlatih. Maksudnya adalah ketika bangsa ini digerogoti oleh korupsi, Nepotisme, penegakan Hukum yang tidak adil. Maka disaat itulah mahasiswa turun menyerang kebiadapan perampok tersebut dan kembali ke kampusnya belajar setelah kondisi bangsanya aman dari kelompok perampok tersebut.
Sebagai intelektual muda apa yang kita lakukan ?
Saya juga selalu bingung ketika ada orang yang dengan gampangnya menghakimi seorang mahasiswa dengan berkata “Eh kamu tu kok kerjanya gitu-gitu toh ya, kok ga bisa jadi mahasiswa yang ideal gitu lho”, lalu sebenarnya seperti apa sih predikat “mahasiswa yang deal”
Saya yang notabenenya juga seorang mahasiswa sudah berkali mendengar di berbagai macam seminar tentang peran dan fungsi mahasiswa. Emmmm kalo ga salah sih sebagai “Social Control”, “Agent of Change” dan lain sebagainya. Tapi ketika saya mengamati kok opini masyarakat tentang “Mahasiswa Ideal” itu haruslah, suka mengkritik pemerintah, suka berorganisasi ini itu, sana-sini, suka demo, seolah-olah hidupnya memang diabadikan untuk masyarakat. Tentu saja tidak semua orang setuju bahwa mahasiswa ideal itu adalah seperti mahasiswa tipe ini. Dengan alasan ingin menambah wawasan berorganisasi mahasiswa dengan tipe ini tadi bergabung dengan banyak organisasi internal maupun eksternal kampus, hal ini membuat ia menjadi mahasiswa yang super duper sibuk sekali, bahkan ia menjadi mahasiswa dengan sebutan “KURA-KURA” yaitu KUliah RApat – KUliah RApat, sehingga membuat kuliahnya berantakan dan tidak bisa lulus tepat waktu. Meski ia terbilang “lihai” dalam berorganisasi, akan tetapi ia justru terbilang “kacau” dalam bidang yang ia tempuh.
Kacaunya lagi, karena kecerobohannya sembarangan bergabung dengan organisasi, ia malah tercemplung ke dalam organisasi yang terbilang “sesat”, dimana ujung ujungnya ia harus memiliki banyak masalah dengan banyak pihak karena hal itu.
Sebetulnya mahasiswa yang ideal itu harus selektif dalam berorganisasi, ia memiliki waktu yang banyak untuk kegiatan akademik kampus, sehingga ia bisa menyelesaikan studinya dengan tepat waktu dan mendapat predikat “memuaskan”. Karena ia selektif memilih organisasi, ia hanya bergabung dengan organisasi yang berkaitan dengan bidangnya, sehingga selain mendapat kecakapan dalam berorganisasi, kemampuan dalam bidangnya pun juga terasah dengan baik.
Kemudian mahasiswa haruslah dapat menulis oponi disurat kabar misalnya atau menulis buku dan yang paling penting adalah riset, hal ini sangat penting dan merupakan bukti bahwa memang mahasiswa itu layak disebut sebagai intelektual muda,yang memberikan pencerahan,supaya pemerintah berpikir.
Sebagai seorang intelektual-demonstran, mahasiswa harus betul-betul mampu melakukan sinergi antara kedua kekuatan tersebut. Intelektualismenya mahasiswa haruslah digunakan untuk melakukan pencerahan kepada pemerintah dan masyarakat secara kultural melalui tulisan-tulisannya di media massa dan demonstrasi dilakukan untuk melakukan perbaikan-perbaikan sosial, ekonomi, politik secara struktural.
Tidak mungkin memang mengharapkan semua aktivis mahasiswa menjadi seperti ini tapi sosok mahasiswa intelektual-demonstran seperti ini sangat dibutuhkan untuk melakukan pencerahan dan perubahan. Dan yang paling penting dari semua itu adalah bagaimana cara kita mampu menjadi katalisator, menjaga moralitas gerakan agar tidak terjadi penyelewengan dan pengkhianatan. Kita berharap akan muncul tokoh-tokoh intelektual-demonstran di negeri ini, dimasa kini. Kalaupun tidak mungkin, minimal semangat dalam melakukan pencerahan, perubahan dan menjaga moralitas harus menjadi semangat para aktivis di Gayo agar kita dapat menjaga kemurnian gerakan dan melakukan perubahan yang konseptual.
—-
*Staf LSM anti korupsi Jang-ko, tinggal di Takengon