by

Prinsip Al-Qur’an Dalam Pengentasan Kemiskinan

Oleh. Drs Jamhuri. MA[*]

Islam pada dasarnya tidak membedakan antara fakir  dan miskin, kendati dikalangan ulama terdapat perbedaan antara kedua istilah tersebut. Kita dapat manarik sebuah kesamaan pemahaman, dimana keduanya merupakan orang yang berhak menerima bantuan dari orang-orang yang mempunyai pendapatan yang melebihi keperluan dasarnya. Di Indonesia kedua istilah ini dipadukan menjadi kata fakir miskin atau fakir dan miskin. Secara umum kita dapat mendefinisikan kedua kata ini dengan orang-orang secara individu atau keluarga tidak dapat memenuhi kebutuhan dasarnya (berupa sandang, papan dan pangan) dan untuk kondisi saat ini ditambahkan dengan kemampuan pemenuhan kebutuhan pendidikan, kesehatan dan keamanan. Kendati penambahan yang terakhir ini sangat dekat dengan tanggang jawab pemerintah dalam sebuah negara.

Banyak ayat-ayat al-Qur’an berbicara tentang kemiskinan, diantaranya pada surat al-Dzariyat ayat 19 menyebutkan bahwa dalam harta yang kita miliki ada hak orang miskin,   di surat  al-Isra’ ayat 26, dikatakan pengutamaan memberian harta kepada kerabat juga kepada orang miskin, dalam surat at-Taubah ayat 60 digambarkan bahwa zakat hanya diperuntukkan bagi fakir dan miskin. Lebih tegas lagi disebutkan dalam surat al-Ma’un ayat 1 sampa 3 dimana orang yang mendustakan agama adalah orang yang tidak menganjurkan memberi makan orang miskin.

Diantaranya juga hadis Rasul berbicara tentang kemiskinan melalui do’anya, yaitu : “Ya Allah ! hidupkanlah aku dalam keadaan miskin, dan matikanlah aku dalam keadaan miskin, dan kumpulkanlah aku (pada ari kiamat) dalam rombongan orang-orang miskin”.

Untuk hadis ini Syaiukh Islam Ibn Taimiyah dalam kitabnya Majmu’ Fatawa 18/383 bagian kitab hadis mengatakan “hidupkanlah aku” dalam keadaan khusu’ dan tawadhu’. Artinya memaknai miskin dengan khusu’ dan tawadhu’ dalam beribadah dan menjalani kehidupan.

Dalam hadis lain disebutkan “ Sesungguhnya engkau tinggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya (cukup) lebih baik dari pada engkau tinggalkan mereka hidup melarat/miskin yang menadahkan tangan-tangan mereka kepada manusia (meminta-minta). Hadis riwayat Bukhari 3/186 dan Muslim 5/71.

Pada riwayat lain juga disebutkan “ Dan aku memohon kepada-Mu dari kefakiran dan kekafiran… Hadis shahih atas syarat Bukhari, dikeluarkan oleh Imam Hakim (1/539) dan Imam Ibn Hibban (2446).

Memperhatikan ayat-ayat dan hadis-hadis yang telah disebutkan, kita ambil pemahaman bahwa kemiskinan itu ada disekitar kita dan menjadi musuh semua orang, karena itu diisyaratkan kepada semua orang untuk menjauhkan diri dari kemiskinan, dan mereka yang melihat kemiskinan supaya berupaya memerangi/mengentaskannya, karena ditakutkan mereka yang selalu dalam kemiskinan dapat mendekatkan diri kepada kekufuran.

Setiap orang secara individu, kelompok masyarakat bahkan sampai kepada tingkat Negara selalu berupa memerangi kemiskinan, bahkan oleh kebanyakan orang menjadikan standar keberhasilan dalam sebuah keluarga dengan banyaknya harta yang dikumpulkan, banyak keluarga yang harus berpisah karena kekurangan harata, banyak orang bunuh diri karena ketikan sanggupan menghadapi dahsyatnya kemajuan. Juga sering dijadikan standar untuk keberhasilan sebuah Negara. Dimana pemimpin Negara akan dianggap berhasil bila dapat mengentaskan kemiskinan dan meningkatkan taraf kehidupan masyarakat dan pemimpin akan dikatakan gagal bila tidak berhasil mengentaskan kemiskinan.

Namun di balik itu bila secara cermat kita membaca kembali ayat-ayat tentang kemiskinan diantaranya seperti telah disebutkan, kita temukan dimana Tuhan menjadikan kemiskinan itu sebagai sarana untuk beribadah bagi orang-orang yang mempunyai kekayaan. Karena setiap harta yang dimiliki oleh seseorang, Tuhan tegaskan didalamnya ada bagian orang miskin dan orang yang meminta-minta, sepeti halnya  dengan zakat yang didudukkan sebagai bagian dari “lima rukun” Islam dan akan  diperuntukkan oleh Tuhan untuk diserahkan kepada orang fakir dan miskin.

Ketika ayat-ayat tentang kemiskinan tersebut kita pahami secara individual (satu-satu ayat), maka seolah akan terjadi perbedaan dengan realita (perubahan social ekonomi)  yang kita hadapi dalam kehidupan kita, seperti dengan kayanya orang-orang miskin maka sarana ibadah untuk orang kaya akan berkurang, yang sebelumnya bisa memberikan sebagian hartanya melalui zakat, sadaqah atau apapun namanya kepada orang miskin atau fakir sudah tidak bisa lagi. Dengan menjadi kayanya orang-orang miskin maka menjadi penuhlah kepemilikan harta orang kaya untuk dirinya dan itu seolah bersalahan dengan kehendak ayat Tuhan yang menyatakan dalam kekayaan yang kita cari ada hak orang lain.

Namun sebenarnya pesan yang kita dapat dari semua ayat dan hadis Nabi tentang kemiskinan tersebut lebih menekankan kepada keadilan sosial ekonomi, dan mengisyaratkan kepada kita bahwa prinsip menghilangkan kemiskinan lebih mendekati prinsip keadilan dari pada membuat ketergantungan orang miskin kepada orang kaya. Prinsip persamaan esensi sebagai manusia lebih mendekati kehendak Tuhan dari pada membuat adanya perbedaan esensi sebagai manusia. Tidaklah benar bila sebagian orang harus tetap miskin agar orang-orang kaya bisa beroleh derajat tinggi di sisi Tuhan.

Bila kita masih bersikeras dan tetap dalam implementasi harfiah atau indidual dari ayat al-Qur’an, dengan menutup mata dan tidak peduali terhadap perubahan sosial yang telah terjadi secara riil di depan mata kita, sama saja artinya dengan mengabaikan tujuan-tujuan moral sosial dari ayat-ayat al-Qur’an secara keseluruhan. Karena itu memahami al-Qur’an secara menyeluruh dengan satu wahyu, akan lebih dapat menjawab semua problema yang dihadapi,  ketimbang memahami ayat secara individual dan menganggapnya sebagai satu wahyu.


[*] Mahasiswa Prodi Fiqh Modern pada Program Pascasarjana IAIN Ar-Raniry

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.