Catatan: Muhammad Syukri*
Barangkali, salah satu pendekar Hak Azasi Manusia (HAM) di seantero dunia adalah Kerajaan Belanda. Sedikit saja kekerasan terjadi di negara lain, serta merta pendekar HAM yang ada di negara tersebut bersuara lantang memprotesnya. Seolah-olah mereka adalah kertas putih yang bersih, tidak pernah melakukan kekejaman kemanusiaan.
Apalagi jika kekerasan itu terjadi di bekas negara jajahannya, Indonesia, pasti mereka yang lebih dahulu teriak kepada dunia internasional. Bahkan, mereka pernah akan mengadili beberapa pejabat Indonesia yang akan datang ke sana, sehingga Presiden RI urung berkunjung ke negara kincir angin itu. Itulah Belanda, mental imperialisme belum pernah luntur dari jiwa mereka. Sampai kini, mereka masih menganggap bangsa Indonesia adalah inlander, pribumi yang tidak berhak atas hukum apapun.
Belum lama ini, kekejaman pembantaian 431 jiwa yang mereka lakukan di Rawagede, Desa Balongsari Karawang, diajukan keluarga korban ke Pengadilan Den Haag. Alhamdulillah, mereka berhasil memenangkan gugatannya terhadap Pemerintah Belanda di Pengadilan Den Haag Belanda.
Kemenangan keluarga korban di Rawagede menjadi langkah awal kaum yang mereka sebut “inlander” untuk membuka lebih banyak lagi kekejaman yang pernah mereka lakukan. Bagaimana tidak, hampir di semua tempat yang mereka duduki, pasti meninggalkan cerita kekejaman demi kekejaman, pembantaian demi pembantaian.
Karena keangkuhan mereka waktu itu, hasil kekejaman itu mereka potret, ditulis serta diceritakan dalam berbagai buku. Mungkin mereka lupa, bahwa potret kekejaman itu, suatu saat akan menjadi bukti materil atas sebuah pelanggaran HAM berat terhadap suatu bangsa. Saat ini, buku dan gambar kekejaman itu akan menjadi barang bukti yang tak terbantahkan.
Kini, cucu, cicit dan keluarga korban pembantaian itu sudah menjadi orang-orang terpelajar. Mata mereka mulai terbuka atas sebuah rasa keadilan. Mereka berhak untuk menuntut kekejaman dan pelanggaran HAM berat yang dilakukan Pemerintah Kerajaan Belanda terhadap bangsa Indonesia. Keluarga korban yang telah menderita lahir bathin, sangat wajar mendapat kompensasi yang layak atas kekejaman yang dilakukan Belanda atas keluarganya.
Salah satu buku yang memperlihatkan kekejaman pasukan Kerajaan Belanda terhadap bangsa Indonesia adalah karya H.C. Zentgraaf yang berjudul “Atjeh.” Dalam salah satu bagian dari buku itu, diceritakan perjalanan Overste van Daalen bersama pasukan Marsose ke Blang Kejeren-Dataran Tinggi Gayo, Aceh. Di buku itu, van Daalen malah mengizinkan juru fotonya untuk mengabadikan hasil kekejamannya.
Tahukah pembaca? Ekspedisi yang dilakukan Overste van Daalen ke Blang Kejeren-Aceh hanya berlangsung selama kurang lebih 3 bulan, yaitu sejak tanggal 23/3/1904 sampai 24/6/1904. Ironisnya, dalam ekspedisi singkat itu, ternyata pasukan Marsose pimpinan Overste van Daalen telah membantai sebanyak 2.549 orang di Kampung Kute Reh, Badek, Cane Uken Tungul, Penosan, Tampeng, Likat dan Kute Lengat Baru.
Tragisnya lagi, dari 2.549 orang yang dibantai di 7 kampung itu, sebanyak 1.001 orang adalah anak-anak dan perempuan. Bukankah ini sebuah kekejaman yang tergolong dalam pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh orang-orang tak beradab. Bayangkan, anak-anak dan perempuan yang tidak berdaya dan tidak paham politik, harus berakhir di ujung bedil pasukan Marsose Belanda.
Kata apa yang tepat kita sandangkan untuk mereka? Hanya Pengadilan Den Haag yang bisa memberikan sebutannya. Mungkinkah kasus ini dapat diajukan ke Pengadilan Den Haag? Siapa relawan yang siap sedia mengajukan tuntutan terhadap Pemerintah Kerajaan Belanda atas kekejaman yang mereka lakukan pada tahun 1904 itu?
—–
*Pemerhati sejarah, tinggal di Takengon