Pemikiran Awal Hukum Islam

Oleh. Drs. Jamhuri, MA[*]

—–

Fiqh yang mempunyai arti secara bahasa pemahaman, dikalangan para ahli hukum Islam terjadi perbedaan pendapat sejak kapan adanya fiqh itu, sebagian dari mereka mengatakan fiqh telah ada sejak zaman Rasul, sebagian lagi mengatakan fiqh ada setalah masa Rasul yakni pada masa sahabat.

Dalam pemikiran Islam dikenal ada dua sumber hukum yaitu naqli dan aqli, naqli artinya dalil al-Qur’an dan hadis, sedang aqli artinya akal pikiran manusia. Kedua kata inii tidak pernah dapat bercampur dan menyatu, kendatipun saling menbutuhkan, bila dikatakan dengan naqli maka ia bukan aqal, demikian juga sebaliknya aqal itu bukanlah naql.

Sejarah Islam memberi batasan yang jelas bahwa masa ketika Rasul masih hidup dikatakan dengan masa wahyu, sedangkan ketika masa Rasul usai muncullah masa yang tidak disebut lagi dengan masa wahyu. Dalam artian seperti ini dapat kita katakan bahwa penyebutan priode wahyu itu sangat erat kaitannya dengan proses  turun dan datangnya wahyu. Al-Qur’an dan hadis bukan saja dapat dilihat dari sudut proses turun tetapi juga dari segi esensi,  kita yakini bahwa al-Qur’an dan hadis dari sisi proses dan esensi  pada masa Rasul adalah wahyu.

Ketika Nabi wafat tentu saja al-Qur’an tidak lagi turun dan hadis tidak lagi datang, maka dapat dikatakan bahwa dari proses pewahyuan telah selesai. Namun al-Qur’an secara keseluruhan dikatakan sebagai satu kesatuan wahyu, dan hadis secara esensi juga tetap diyakini sebagai wahyu karena adanya petunjuk dalil al-Qur’an yang mengatakan bahwa “ Nabi tidak pernah ngomong kecuali wahyu”. Mungkin saja terjadi perbedaan antara keduanya dari segi kekuatannya sebagai wahyu, al-Qur’an secara mutawatir di yakini datangnya dari Allah dengan tidak ada keraguan sedikitpun, sedangkan hadis yang diriwayatkan secara mutawatir kendati jumlahnya sangat  sedikit tetap merupakan wahyu, dan yang lainnya diriwayatkan secara ahad.

Ketika melihat keberadaan al-Qur’an secara esensi pada masa Rasul, ulama menetapkan bahwa Rasullah yang mempunyai otoritas dalam mamahami dan menjelaskannya.  Bila ada permasalahan yang memerlukan ketetapan hukum para sahabat  tidak mempunyai otoritas untuk memahami secara langsung dari ayat kecuali melalui penjelasan dari Rasul, karena itu  hadis sebagai wahyu yang berfungsi  sebagai wahyu penjelas terhadap kewahyuan al-Qur’an.

Pada masa sahabat tidak lagi sebagaimana masa Rasul, mereka harus berusaha menjawab permasalahan yang ada dikalangan masyarakat dengan mencontoh bagaimana Rasul menjawab dan menjelaskan pertanyaan-pertanyaan mereka ketika pada masa Rasul. Tentu saja jawaban dan penjelasan yang diberikan para sahabat berbeda dengan Rasul. Kalau jawaban dan penjelasan Rasul menghasilkan wahyu, sedangkan jawabah dan penjelasan  sahabat merupakan pemahaman dari wahyu dan bukan wahyu. Dengan alasan itulah para ulama mengatakan bahwa kata fiqh dimaknai dengan pemahaman baru ada pada masa sahabat bukan pada masa Rasul.

Kembali kepada masa Rasul, penyebutan al-Qur’an dan hadis Rasul secara esensi adalah wahyu dan jelas berasal dari Allah dan Rasul, tetapi bagaimana dengan esensi dari pendapat atau pemahaman sahabat yang hidup berdampingan dengan Rasul ketika turunnya wahyu. Bukankah pemahaman sahabat seperti Umar bin Khattab pernah berbeda dengan pemahaman Rasul tentang bagaimana menyikapi tawanan perang, selanjutnya Allah menyetujui kebenaran pendapat Umar. Sebagian ulama mengatakan bahwa pada saat itu tidak ada otoritas agama selain pada Allah dan Rasul, karena kebenaran yang pemahaman Umar selanjutnya mendapat pengakuan dari Allah, maka kebenarannya tetap pada wahyu Allah. Sebagian yang lain berpendapat bahwa kebenaran pemahaman sahabat yang berbeda dengan pemahaman Nabi, dan disetujuinya pendapat sahabat membuktikan adanya kebenaran aqal sahabat yang bukan wahyu, sehingga mereka mengatakan bahwa fiqh itu telah ada sejak zaman Rasul.

Perbedaan dalam menentukan sejarah awal lahirnya fiqh, untuk kelompok yang mengatakan bahwa fiqh ada sejak masa sahabat, dengan sendirinya menetapkan priode sahabat adalah priode awal dari fiqh. Dan bagi kelompok yang menyatakan priode fiqh telah ada sejak masa Rasul tentu saja meletakkan priode sahabat setelah priode Rasul.  dan pada kebiasaannya kelompok yang kedua ini tidak membedakan priodesasi fiqh dengan priodesasi hadis.

Ciri khas yang kita temukan pada priode sahabat baik ia sebagai priode pertama ataupun priode kedua, dimana para sahabat hampir tidak berani mengeluarkan pendapat mereka sendiri sebelum mengetahui ketiadaan hadis Nabi. Upaya yang dilakukan untuk menemukan adanya informasi tentang permasalahan yang mereka cari dari Nabi, mereka (seperti Abubakar) mengumpulkan para sahabat-sahabat besar atau sahabat senior dan menanyakan pengetahuan mereka tentang informasi yang pernah didapat dari Nabi. Cara lain yang dilakukan adalah dengan memberi tahu kepada sesama sahabat tentang informasi yang pernah ia dapat dari nabi, sehingga hampir tidak ada informasi yang luput atau terlupakan untuk diketahui oleh sahabat.

Karena informasi dari Nabi itu sangat penting dan berharga, maka sebagian sahabat tidaklah mudah menerima apa yang disampaikan oleh sahabat lain, terkadang sahabat yang memberi informasi harus menghadirkan saksi atau juga bersumpah, sehingga informasi yang diberikan benar-benar berasal dari Nabi. Katidak jujuran dikalangan sahabat hampir tidak kita temukan tentang informasi yang diterima dan disampaikan kepada sahabat yang lain, karena pada masa ini mereka masih dipandu oleh iman yang kuat. Kesetiaan sebagai sahabat tidak perlu diragukan, mereka pernah hidup satu bahasa, satu rasa dan satu iman bersama Nabi.

Wilayah Islam tidak hanya lagi hanya disekitar tempat turunnya wahyu tetapi sudah mulai meluas, sehingga pengaruh budaya dari luar daerah tempat turunnya wahyu mulai membaur dengan budaya yang ada dalam Islam. Permasalahan yang muncul dengan sendirinya bertambah, kemampuan sahabat dalam memahami dalil nash mulai diuji, mereka harus mampu menjawab permasalahan yang muncul. Terkadang jawaban mereka tidak memadai dengan pengetahuan tekstual terhadap dalil nash, mereka harus mengembangkan pengetahuan kepada hal-hal yang berada di luar al-Qur’an namun masih mempunyai kedekatan dan persamaan dengan yang ada dalam al-Qur’an, inilah yang disebut selanjutnya dengan ijtihad.


[*] Pengasuh Mata Kuliah Ushul Fiqh Pada Fakultas Syari’ah IAIN Ar-Raniry Banda Aceh

—–

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.