Kecuali bangunan, jalan membelah gunung dan persawahan, hutan, keruk-mengeruk dan timbunan tanah yang makin mendominasi pandangan kasat mata. Yang lainnya, peninggalan muyang datu Tanoh Gayo banyak yang mulai tergusur dari bumi Gayo, Depik terancam punah, grupel makin langka dan banyak lagi lainnya, termasuk Nenas Pegasing, nasibnya sama, tak lama lagi tergusur juga.
Nenas Pegasing, siapa yang tak pernah dengar ? tidak saja di Aceh bahkan menjadi pesaing utama nenas asal Sumatera Utara. Bukan saja rasa namun juga daya tahannya konon lebih baik dari nenas asal daerah lain di ujung Sumatera.
Sejak kehadirannya Nenas (Ananas comosus) di hamparan Paya Sangor yang berada disejumlah kampung diantaranya Simpang Kelaping, Kung, Belang Bebangka, Kala Nareh, Weh Nareh dan Kayu Kul menjadikan Tanoh Gayo Aceh Tengah memiliki komoditi pertanian dan perkebunan selain kopi, hortikultura dan palawija.
Sebelum dikenalkan budidaya Nenas, Paya Sangor merupakan hamparan luas yang kurang produktif. Sejak dulu hingga zaman Belanda dan terakhir diera 1960-an, sejumlah aktivitas digulirkan di tempat ini. Warga sekitar sempat menjadikannya persawahan, namun akhirnya menjadi Ume Roh (sawah terbengkalai-red), lalu muncul gagasan proyek produksi kertas. Bahkan sempat direncakan sebagai lapangan terbang.
Sekitar tahun 1970-an, mulai dikembangkan budidaya Nenas, belum diperoleh informasi siapa yang memulainya. Namun lambat laun tanaman ini pun berkembang dengan sendirinya dan menjadi salah satu mata pencaharian masyarakat sekitar. Terlebih dengan banyaknya luas lahan kosong yang hanya ditumbuhi alang-alang dan beberapa jenis tumbuhan semak lainnya pada masa itu.
Lokasi lapangan terbang yang mau dibangun tapi entah kenapa gagal dibangun akhirnya dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar untuk menanami Nenas, rencana lokasi lapangan terbang itu sekarang lebih dikenal dengan lapangan pacuan kuda tradisional Gayo Belang Bebangka dan sekarang namanya Lapangan H Muhammad Hasan Gayo.
Teringat masa kecil dulu di tahun 90-an dikala pagi datang ketika mata memandang keluar rumah, tampak embun-embun disertai kabut yang cukup tebal menghiasi dedaunan yang menyerupai seperti pedang itu, sampai matahari terbit embun juga belum pergi dari bebatangannya. Sungguh indah menikmati suasana pagi yang bening itu.
Tapi sekarang kenyataannya telah berbeda, embun yang dulunya menutupi dedaunan pedang itu kini sudah jarang terlihat, kin terlihat adalah embun yang jatuh disetiap atap rumah-rumah yang telah dibangun ditanah yang dulunya dijadikan perkebunan nenas itu. Nenas Pegasing kini sudah menjadi langka, dikarenakan alih fungsi lahan menjadi perumahan yang semakin hari semakin padat saja, sampai-sampai Nenas yang belum lama menjadi primadona kawasan Pegasing kini harus segera mencapai titik kepunahannya. Padahal Nenas Pegasing sempat dijadikan sebagai wisata kuliner di daerah Gayo Kabupaten Aceh Tengah.
Nenas Pegasing yang mulai dicari oleh pedangan-pedagang buah dari pesisir dikarenakan memiliki cita rasa yang berbeda dengan dengan tanaman Nenas yang ada di daerah-daerah lain.
Penduduk sekitar menggantungkan hidupnya dan menjadikan tanaman Nenas sebagai sumber mata pencaharian utamanya dikarenakanĀ yang harganya yang lumayan mahal dari pada awal-awal tanaman ini dibudidayakan.
Kenyataan lebih pahit terjadi sekarang, seiring dengan kebutuhan hidup yang semakin tinggi dan gaya hidup masyarakat semakin dimoderenisasi, tak banyak yang bisa diperbuat oleh masyarakat Pegasing, dengan dibangunnya perkantoran yang megah dikawasan yang potensial dengan tanaman Nenas itu kini berubah menjadi lokasi perumahan, perkantoran dan lainnya, tanaman Nenas mulai tersingkir. Sepertinya tak ada yang berpikir, Nenas Pegasing perlu dipertahankan.
Faktor lain, disebabkan dengan tingginya permintaan pembelian tanah dikawasan tersebut, harganya pun menggiurkan sehingga masyarakat Pegasing mulai menjual tanah yang semula adalah lahan tanaman Nenas atau menjadikan lahannya sebagai perumahan pribadi atau kontrakan.
Semakin sedikit lahan yang dapat ditanami Nenas sekarang, padahal Nenas yang juga menjadi ikon Pegasing.
Nenas Pegasing dengan cita rasa yang dimilikinya sangatlah berbeda dan pada saat ini Nenas selalu diburu dari luar Provinsi Aceh menandakan Nenas Pegasing juga sudah terkenal didaerah lain sehingga makin dicari.
Kini Nenas Pegasing akan menjadi ikon belaka, walau ada yang mencoba mengembangkannya dikawasan perbukitan Pegasing namun rasanya beda. Tak lama lagi semuanya akan sirna tanpa sempat banyak yang akan diceritakan kepada anak cucu, embun-embun pagi yang berkabut pun akan mulai tak akan hadir kala pagi menjelang, kesejukanpun akan berubah menjadi perumahan padat yang menyesakkan.
Tapi apalah daya, ditengah tuntutan zaman yang berkembang akan mengubur semua impian akan keadaan sekarang menjadi sediakala perlahan menjadi pupus, Nenasku yang layu sebelum berkembang kini mulai tersingkir dengan kemajuan itu, yang ada hanyalah cerita yang bisa disampaikan kepada anak cucu. (Darmawan Masri)