Oleh : Jauhari*
Di lereng gunung nan berseri, dihiasi pohon nan hijau dan hutan perawan. Kesegaran udara dari hembusan angin dan awan tipis yang turun menjadi kabut membasahi bumi. Butiran embun bergantungan di ujung dedaunan, memantulkan cahaya mungil sinar mentari di pagi hari. Tetap dengan langkah semangat, aku lalui pematang sawah yang merupakan jalan pintas penduduk di kampung ini untuk menuju jalan raya. Ya, kampung ini termasuk kampung yang masih sangat jauh dari hiruk pikuk keramaian kota. Tak lama aku berjalan, terlihat dua sosok manusia tua renta dengan pakaian lusuhnya yang dilumuri lumpur sawah yang hitam dan kental. Sepertinya, mereka sepasang suami istri yang sedang menanam padi. Aku melihat wanita tua itu memegang segenggam bibit padi yang siap dicelupkan ke dalam lumpur yang hitam dan seorang lelaki tua yang sedang memegang cangkul, membentuk pematang sawah sedemikian rupa hingga tampak bersih. Kupandangi mereka, dengan tubuhnya yang sudah renta mereka masih berusaha banting tulang untuk melanjutkan usianya yang sudah senja. Ah, aku tidak boleh terbawa arus iba. Karena tujuan utamaku adalah untuk berjumpa dengan orang tuaku.
* * *
“Mau kemana Ncu?” tanya Ririn, teman satu kamar kosku. Ncu adalah nama panggilan akrabku karena aku anak yang paling bungsu di keluarga. Dalam tradisi bahasa Gayo disebut pula dengan bensu dan karena aku perempuan, maka disebutlah dengan ipak si bensu. Lantas kebanyakan temanku akhirnya memanggil dengan sebutan bensu atau ncu, padahal namaku adalah Bengi Simehate.
“Aku mau pulang ke Tanah Gayo Rin, Ririn mau ikut?”
“Boleh, kapan pulangnya?”
“Nanti malam,”
“Udah pesan tiket?”
“Belum,” jawabku singkat
“Pesan untuk Ririn juga ya, Ririn juga ingin ke Tanah Gayo.”
“Serius?”
“Iya serius! Memang ada ekspresi bercandakah di wajah Ririn yang imut ini?” Ririn tertawa, wajahnya tampak antusias.
“Baiklah!” Aku pun semakin bersemangat ingin segera pulang.
Kuambil telepon genggamku, menghubungi loket minibus dengan tujuan ke Dataran Tinggi Tanah Gayo. Kami mulai berkemas dan mempersiapkan apa yang harus kami bawa. Setelah selesai, kami beristirahat sambil menunggu waktu shalat ashar. Maka tak lama, gema adzan pun akhirnya mendayu menghiasi relung hati semua insan yang berada di bumi Aceh ini. Dengan bergegas, aku menuju kamar mandi dan berwudhu. Menuju mushala yang kebetulan hanya berjarak beberapa ruko saja dari kos kami. Kami lekas shalat sunnah dan kemudian shalat fardhu berjama’ah di sana, dilanjutkan dengan membaca al-qur’an dan mendengarkan ceramah singkat dari imam mesjid. Dengan tenang, semua jama’ah mendengarkan kalimat-kalimat penuh makna terucap dari bibir fasih ustadz tersebut. Belakangan, aku mengetahui bahwa nama ustadz itu adalah Ustad Mujiburrahman. Beliau berasal dari Negeri Malaya. Tanpa terasa, butiran air bening mulai berkaca binar dimataku. Aku berusaha membendungnya, namun derasnya kata-kata ustadz itu menambah arus butiran di mataku. Hingga aku tak mampu membendungnya.
“Sabar Bensu,” Ririn mencoba untuk menenangkan hatiku.
“Terima kasih Rin,” aku hanya bisa tersipu dan menyandarkan diri pada bahu Ririn.
Cerita yang diutarakannya, sangat menyentuh kalbu. Bercerita tentang seorang anak yang sangat malang hidupnya, seorang anak yang hidup dengan kasih sayang masyarakat. Ya, seorang anak yang hidup jauh dari belaian seorang ibu dan ayah. Hatiku sangat tersentuh, karena aku juga merasakan hal itu. Konflik berkepanjangan yang telah melanda Negeri Aceh, konflik itu memisahkan aku dengan keluargaku. Sejak itu hingga kini, aku dididik dan diasuh oleh orang tua angkatku. Mereka sangat sayang padaku, kasih sayangnya sama dengan apa yang diberikan oleh ayah dan ibu kandungku.
“Sudahlah Bensu, jangan menangis lagi! kita akan berusaha untuk mencari orang tua kandungmu.” Ririn kembali menenangkan hatiku, aku sedikit lega dan kami pun kembali menuju kos.
Di kos, tiba-tiba telepon genggamku berdering. Ada tulisan My Father pada layarnya.
“Assalamu’alaikum,” Ucap ayah angkatku dari seberang sana
“Wa’alaikumsalam, Yah!”
“Kapan berangkat ke Takengonnya?”
“Nanti sore Yah”
“Ayah titip salam saja untuk keluarga di sana. “ Ayah angkatku, begitu baik hatinya. Rela melepasku, untuk kembali bertemu orang tua kandungku.
****
Malam pun tiba. Tidak lama menunggu, minibus yang kami pesan pun akhirnya sampai tepat di depan kos. Aku dan Ririn pamitan kepada teman-teman kos dan yang lainnya, berharap semoga aku bisa bertemu dengan orang tua kandungku lagi.
Di perjalanan, hatiku begitu galau. Tak sabar ingin memeluk ibu dan ayah, jika aku berhasil menemukan mereka. Akan kucium kaki mereka, kupeluk dan tak ingin berpisah lagi. Aku teringat ayah angkatku pernah bercerita, tentang keluargaku di Dataran Tinggi Tanah Gayo. Kata ayah, aku punya saudara dan aku adalah anak terakhir dari enam bersaudara. Yang mengejutkan aku punya saudara kembar, sungguh aku pun sangat ingin berjumpa dengan saudara kembarku itu.
Malam kian larut. Hati ini masih begitu risau, pikiranku masih larut dalam hayal nuansa kota yang terkenal sangat dingin itu. Aku sangat ingin secepatnya merasakan dinginnya, maka tanpa terasa keinginan hati pun terbawa mimpi di tidur yang sekejap.
“Bensu bangun! kita sudah sampai,” Ririn membangunkanku. Aku tersentak dan dengan semangat langsung membuka pintu mobil, namun aku mengelak, kembali masuk mobil menutup pintu
“Kenapa?” Ririn, heran melihat tingkahku.
“Dingin Rin, aku mau pakai jaket dan syal dulu.”
Lantunan adzan subuh menggema. Masih berselimut gelap malam, kami terkejut ketika seorang wanita kira-kira berumur setengah abad tiba-tiba datang membawa obor dengan menggunakan mukena. Kami pandangi dengan lekat wanita itu, ternyata ia hendak shalat ke mesjid. Semangat orang Gayo memang sangat membara. Walau pada suhu dingin, mereka sanggup mandi pagi dan menjalankan aktifitas mereka di pagi hari. Aku bangga menjadi orang Gayo. Di sebuah pojok, terlintas lagi pemandangan yang kuanggap langka dan biasanya hanya kudengar dari cerita teman-temanku yang menetap di Gayo yakni tradisi jaga malam. Menjadi ciri khasnya adalah api unggun yang dinyalakan dan dikelilingi oleh pemuda atau bebujang Gayo dengan sehelai kain sarung yang digantung di pundaknya, kami juga ikut ke sana untuk menghangatkan badan. Tak lama, ayam semakin gencar saja berkokok. Membuat suasana menjadi riuh dan masyarakat mulai bertebaran, seolah-olah mereka malu jika mentari terbit dahulu namun mereka belum terbangun dari tidurnya. Kami merasa telah menjadi bagian dari masyarakat ini, karena sikap mereka yang sangat ramah dan penuh dengan sapaan serta senyuman, ditambah dengan kesegaran udaranya. Aku sangat bangga dengan keramahan mereka, dibuktikan dengan seorang pria yang rela mengantarkan kami sampai ke tempat tujuan.
* * *
Di lereng gunung nan berseri, dihiasi pohon nan hijau dan hutan perawan. Kesegaran udara dari hembusan angin dan awan tipis yang turun menjadi kabut membasahi bumi. Butiran embun bergantungan di ujung dedaunan, memantulkan cahaya mungil sinar mentari di pagi hari. Tetap dengan langkah semangat, aku lalui pematang sawah yang merupakan jalan pintas penduduk di kampung ini untuk menuju jalan raya. Ya, kampung ini termasuk kampung yang masih sangat jauh dari hiruk pikuk keramaian kota. Tak lama aku berjalan, terlihat dua sosok manusia tua renta dengan pakaian lusuhnya yang dilumuri lumpur sawah yang hitam dan kental. Sepertinya, mereka sepasang suami istri yang sedang menanam padi. Aku melihat wanita tua itu memegang segenggam bibit padi yang siap dicelupkan ke dalam lumpur yang hitam dan seorang lelaki tua yang sedang memegang cangkul, membentuk pematang sawah sedemikian rupa hingga tampak bersih. Kupandangi mereka, dengan tubuhnya yang sudah renta mereka masih berusaha banting tulang untuk melanjutkan usianya yang sudah senja. Ah, aku tidak boleh terbawa arus iba. Karena tujuan utamaku adalah untuk berjumpa dengan orang tuaku.
“Assalamu’alaikum, Bu.” Aku dan Ririn menyapa wanita tua itu.
“Wa’alaikum salam, Nak.” Sahutnya dengan seutas senyuman.
“Ada yang bisa kami bantu?” wanita tua itu kembali bertanya.
“Saya mau tanya, rumah Pak Rusli di mana Bu?”
“Maaf Nak, Pak Rusli yang mana?” Wanita itu semakin dekat menghampiri kami.
“Mungkin Ibu tahu. Pak Rusli, ia pernah kehilangan anaknya 15 tahun yang lalu. Nama anaknya, Bengi Simehate.”
“Kamu siapa? Tiba-tiba pria tua yang bersama wanita itu juga mendekat ke arah kami,”
“Saya anaknya, dulu terpisah karena konflik.” Aku menunduk, rasa sedih kembali membanjiri hatiku.
“Benarkah? Kamu Bengi? Anakku?” Pria tua itu membuatku tersentak dan ia pun segera menghampiriku, ia memandangiku dan terdiam menatap mataku.
“Benarkah kau Bengi Simehate?” Ia kembali bertanya dengan raut seolah meminta kepastian.
“Ya Pak, saya Bengi Simehate.” Aku pun sesunggukkan, tak tahan menahan haru.
“Anakku,” pria tua itu pun akhirnya menangis tersendu-sendu. Memeluk erat tubuhku, wanita tua yang ada di sebelahnya juga ikut memelukku. Tangisan kami pun pecah, semua perasaan hati bersatu di sana. Dengan bahagia, orang tua kandungku membawaku dan Ririn menuju sebuah rumah sederhana. Beratapkan rumbia, rumah yang sangat tradisional. Aku bahagia, di sinilah akhirnya aku kembali bertemu dengan keluargaku.
—
*Penulis adalah mahasiswa IAIN Ar-Raniry Banda Aceh Fakultas Tarbiyah Jurusan Kimia
(Editor : Zuliana Ibrahim)
.