.
DUA bule dari Polandia tiba di Takengon. Meski dari Polandia, kedua bule yang masih masih belia ini, mahasiswi di sebuah Universitas swasta di Surabaya. Jurusan Bahasa Indonesia. Kedatangan kedua bule ini untuk berwisata, mengisi liburan kuliah. Khusus ke Sumatera.
Joanna Niedzialek (21) dan Bogumila Jablecka . Melalui situs jejaring social wisata dunia, Joanna menulis seperti ini, “I know that is kinda last minute request. Me and my friend (we are two girls) are travelling around Sumatre and spontanuously decided to visit Takengon. We trying to learn Bahasa Indonesia so it is great value to meet and stay with local people. I would like to ask if we could stay over your place and if you would have some time to share experiences about Sumatra and Indonesia;). Greetings, Joanna”
Sayang, saat Joanna menulis surat elektronik ini, jaringan internet dari speedy yang di wirelesskan di tempatku bekerja sebagai pelayan tamu yang minum kopi di Kantin Batas Kota Takengon sedang ngadat.
“Pihak Telkom sedang memperbaiki jaringan di Jalan Lebe Kader.”, kata Dadong, temanku dari D net yang memiliki hamper semua nomor petugas Telkom Aceh Tengah. Petugas Telkom yang kuhubungi lewat pesan singkat , tidak merespon smsku yang berisi keluhan tentang jaringan. Apalagi perbaikan yang dilakukan Telkom tanpa pemberitahuan kepada pelanggan.
Padahal kita terlambat membayar rekening Telkom, secara sepihak Telkom akan memutuskan akses jaringan. Tidak fair.Sayang belum ada organisasi di Takengon yang membela hak konsumen yang dirugikan.
Joanna bersama Bogumila datang ke tempatku bekerja Jum’at sore (20/1) ditemani Ria, wartawan LG yang juga anggota komunitas berwisata dunia. “Mereka sudah sehari bersama saya. Karena saya Jum’at malam harus ke Medan, mereka akan tinggal bersama abang”, kata Ria. Ria tampaknya mulai menyukai alam bebas.
Ria bersama komunitas Bacpacker akan naik gunung di Medan. Ria tak ingin melewatkan momen ini setelah merasakan nikmatnya bersahabat dengan alam yang dulu tidak pernah ditekuninya.
Sehari sebelumnya, Ria sudah sms, memberitahukan kehadiran Joanna dan temannya. Menjawabnya, aku tentu saja harus bertanya dulu pada istriku. Ijin istriku tentu saja sangat berarti karena istrikulah yang mengurus dan mengatur rumah yang merupakan istananya. Aku ini apalah kalau sudah dirumah. Kuasa penuh istriku. Menyiapkan kebutuhan rumah tangga dari A-Z.
“Ara roa bule ari Polandia male nome isien, kune menurut Ine”, tanyaku pada istriku. “Kurasa gere mukunah, cume lagu ini we araea”, kata Istriku. Berarti istriku setuju.
Setelah persetujuan itu, tentu istriku sangat paham menerima kehadiran kedua tamu asing yang berbeda warna kulit, bahasa, ras dan agama itu. Dengan segala konsekwensinya.—
Setelah berkenalan, kami duduk sambil minum kopi. Bogumila tak minum kopi, hanya teh. Selepas magrib, Ria pulang karena harus ke Medan. Beruntung, Pak Syukri bersedia mengantar kami kerumah, di sebuah Dusun dipinggiran Kota .
Sebuah Dusun yang bernuansa tradisional . Dimana masyarakatnya hidup dari bertani, abang becak, buruh bangunan dan sebagian kecil menjadi pegawai pemerintah. Aku memberitahu kedua tamu ini tentang perbedaan rumah yang akan mereka tinggali.
Tapi Joanna menyatakan tidak ada masalah dengan semua itu. Aku sedikit lega. Karena aku tak ingin mereka membayangkan hal yang muluk. Sampai dirumah keluarga bersalaman dengan tamu asing yang tidak asing bagi keluargaku karena mereka terbiasa dengan tamu asing, meski anak bungsuku, Alifah Timami, 2.8 tahun, tetap saja malu-malu bertatap muka dengan tamu asing ini. Sambil menyembunyikan wajahnya di pelukan inenya.
Tak lama tiba, kami makan malam. Menunya, jantar lumu, ikan jaher masam jing dan sambal. Meski tetap saja lucu melihat bule ini makan menggunakan tangan, tapi mereka PD saja, meski masih agak kaku.
“Tidak ada masalah dengan perubahan menu makan selama berada di Indonesia. Meski sebelumnya di tempat saya, mustahil menggunakan tangan untuk makan”, kata Joanna. Selepas makan malam, rehat sejenak . Aku menunjukkan foto-foto tsunami yang kurekam lewat kamera manual dua hari setelah tsunami di Banda Aceh.
Semuanya menunjukkan tentang kematian dan hancurnya bangunan di antero Aceh kala itu. Hancurnya sebuah peradaban. “MoU di Aceh, salah satu alasannya adalah tsunami”, kataku pada kedua tamuku. Mereka hanya manggut-manggut dan berdecak ngeri melihat tumpukan mayat manusia dibawah jembatan Peunayong.
Joanna juga bertanya tentang hokum syariat Islam di Aceh. Aku hanya mampu mengatakan setelah hokum syariat dibuat, pemerintah dan DPRA tidak serius melanjutkannya. Buktinya setelah seseorang ditangkap , tidak ada qanun yang menjadi payung hokum menjadikan seorang tersangka yang tertangkap tangan dipenjara polisi.
Seperti kasus oknum hakim pengadilan negeri Takengon yang tertangkap tangan oleh polisi berjudi sabung ayam di komplek rumah dinas Non perumnas Kebayakan. Oknum hakim yang tak terpuji dan paham hukum positif ini kemudian dilepas begitu saja.
Tapi sebelumnya, untuk rakyat biasa, hokum syariat dijalankan di Takengon dan Bener Meriah yang ditandai dengan uqubat cambuk di Musara Alun, halaman Setdakab dan di Lapangan Simpang Tige. Akh.
Agar bule ini memiliki kesan saat berada di Takengon, aku kemudian menceritakan kepada mereka bagaimana sebuah proses arabika gayo dimulai. Dari kebun petani hingga ke cangkir-cangkir kopi di gerai ternama seperti Star Buck.
Kebetulan dirumah ada bahan baku gabah kopi luwak yang kubeli dari Malio Adnan, seorang warga Arul Relem Silih Nara yang berhasil memberikan kursi perdamaian, kursi budaya dan lain –lain untuk Gubernur Aceh, Wagub Nazar dan hingga Presiden SBY.
Gabah kopi luwak sudah kering. Kadar airnya sekitar 14 persen. Menggunakan lusung kecil, gabah kopi luwak arabika gayo tersebut kumasukkan kedalam lusung untuk ditumbuk agar memisahkan kulit tanduknya dan bijinya.
Bogumila tampak senang dengan kegiatan ini. Setelah kuajarkan cara menumbuknya, perempuan bergelar master antropologi ini mulai menumbuk kopi. Kaku dan hati-hati. Setelah agak lama, barulah tamppak sedikit lancar.
Tak mau kalah dengan Bogumila, Joanna juga meminta mengerjakan hal yang sama. Jadilah kedua bule ini menjadi pegawai dadakan pengolah kopi. Setelah biji kopi terpisah dengan kulit tanduknya, aku kembali mengajarkan kedua bule ini munampi.
Munapi adalah proses pemisahan biji dan kulit menggunakan tampi. Alat tradisional ini juga dipakai untuk memisahkan beras dari sampahnya bahkan juga dipakai menyimpan bumbu dapur hingga alat jemur kopi.
Saat Joanna menampi, aku dan keluarga terbahak-bahak melihatnya. Betapa tidak, seluruh tubuhnya bergerak mengikuti gerakan tampi. Dan hal itu terlihat sangat lucu. Aku kembali mengajarkan bule ini menampi.
Aku terbiasa menampi sejak terjun di dunia pengolahan kopi. Ala bisa karena biasa.Serius , telaten dan sering bertanya membuat kedua bule ini cakap dalam sekejap. “Kami sudah memulai, kami juga harus mengakhirinya”, kata Joanna.
Aku salut pada kedisiplinan kedua bule ini. Meski belum pernah mengerjakan hal baru, tapi mereka begitu tekun. Inilah mungkin yang membuat mereka unggul soal ilmu dan penerapannya. Konsisten dan disiplin.
Waktu sudah menunjukkan pukul 23.00 Wib, Jum’at malam, barulah keduan bule ini tidur. Setelah pekerjaan yang kuberikan diselesaikannya dengan sempurna. Termasuk mensortir terase green bean luwak. Perfect.
Mereka tidur dengan bahagia karena diberi kepercayaan mengerjakan sebuah hal baru. Aku sempat bertanya, apakah mereka sebelumnya pernah melihat pohon kopi. Mereka menjawab tidak. Mereka hanya tahu kopi olahan tanpa pernah tahu bentuk batang kopinya.
Pagi Sabtu (21/1) Aku menyelesaikan PRku yang kujanjikan pada kedua bule ini. Menunjukkan batang kopi. Karena kami tinggal dilingkungan perkebunan kopi, tak sulit mencari pohon kopi. Beberapa langkah dari rumah, langsung kebun kopi.
“Saya membayangkan pohon kopi itu pendek dan kerdil”, kata Bogumila. Beberapa kilatan cahaya kamera digital mengarah ke batang dan buah kopi. Selesai, kami pulang dan berpamitan ke istriku.
Kedua bule ini akan melanjutkan wisatanya ke Ketambe. Kami berjalan dari Paser ke Batas Kota berjalan kaki. Kedua bule ini menggendong tas besarnya. “Tidak berat?”, tanyaku pada Joanna. “Sekitar 15-20 Kg. Kami sudah terbiasa membawa beban ini”, kata Joanna.
Tiba di BK, aku tak sempat menyuguhkan kopi terbaik di Sumatera ini, Arabika Gayo. Karena mobil jemputan mereka sudah datang menuju Ketambe. Kami bersalaman dan berpisah. Sebelum pulang, Joanna memberiku sebuah kartu pos.
“Kartu pos ini bermotif khas Polandia”, kata Joanna. Dibalik kartu pos itu, Joanna dan Bogumila menulis beberapa kata dalam bahasa Polandia dan Inggris.Dziekujemy!. Dear Win, Thank You Very Much for being our host and teaching us so much about your culture!. We hope one day we will have on opportunity to do the same for you! Rilka Joanne. (Aman Shafa)
.