by

Oriza Santifa, Tak Gentar Untuk Data yang Benar

Kantor Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Aceh Tengah (kiri) dan Oriza Santifa (kanan). (Foto : Darmawan Masri)

.

SEPERTI hari lain, Selasa (10/1/2012), kebiasaan Redaktur Pelaksana (Redpel) situs berita Lintas Gayo, Khalisuddin yang akrab dipanggil Khalis setelah jam kerja kerap mengajakku berputar-putar kepenjuru tanoh Gayo, Kabupaten Aceh Tengah atau ke Bener Meriah mengisi waktu luang untuk mencari sesuatu yang menarik untuk di tulis dan menjadi bahan bacaan di www.lintasgayo.com.

Kali ternyata tidak jauh, hanya dalam kota Takengon, dia menyetir mobil kearah jalan Pahlawan dan berhenti saat melihat seorang laki-laki berperawakan tinggi tegap dengan kulit agak hitam  berjalan memasuki kantor Badan Pusat Statistik (BPS) yang berlokasi persis dibelakang markas Polres Kabupaten Aceh Tengah. Sang Redpel mengajak saya turun. “Sudah lama enggak ketemu dengan dia”, katanya singkat. Dan saya pun langsung mengikuti langkah sang Redpel.

Sesampai dihadapan lelaki itu, kami pun langsung bersalaman dan dipersilahkan untuk memasuki ruang kerjanya, kaget tak terkiri ternyata pria muda itu merupakan kepala BPS untuk Kabupaten Aceh Tengah dan merupakan kawan lama dari Redpel. Keduanya terlihat akrab.

Sesampai diruangan kerja lelaki muda itu barulah saya mengetahui namanya, lelaki muda itu bernama Oriza Santifa, S. Si dan kami pun cepat akrab, karena memang Oriza selalu berpembawaan humoris. Silaturahmi pun dimulai dengan berbagi pengalaman satu dengan yang lainnya. Terlebih kata-kata statistik memang tak asing lagi bagi ku, statistik juga merupakan bagian dari keilmuan yang selama ini saya tekuni selama ini.

Sampai pada suatu kata yang terucap dari mulut Oriza, dirinya adalah satu-satunya urang Gayo yang memangku jabatan sebagai Kepala BPS Kabupaten/Kota diseluruh Indonesia. Oriza mengatakan itu tidak dengan berbangga hati melainkan dengan raut muka yang sedih. Instink jurnalistik pun langsung bermain, ku ambil secarik kertas dan mulai menulis apa yang dia katakan terutama tentang profilnya karena saya kira hal ini menarik untuk ditulis.

Oriza pun banyak bercerita mengenai kegiatan statistik di Aceh Tengah. Mulai dari tidak singkronnya data antara pihak BPS dengan data produk Pemerintah Kabupaten setempat hingga sejumlah persoalan lain yang dialaminya selama bertugas di tanah endatunya, Tanoh Gayo. Dalam kesempatan ini belum akurat untuk ditulis.

Oriza yang merupakan anak sulung (Gayo : Ulu Bere) dari empat bersaudara terlahir dari  pasangan (Alm) Mukhtaman Bale dan (Alm) Mariani. Ayahnya (Gayo: Ama) Muktaman Bale merupakan seorang guru di Banda Aceh sekaligus seniman Gayo yang biasanya disebut dengan Ceh sekaligus pengarang lagu Didong. Diantara yang paling populer dari syair Didong yang masih akrab dipendengaran penggemar seni Gayo tersebut adalah lagu yang berjudul Angon-angon.

Mukhtaman Bale bersama (Alm) M Saleh Suhaidy adalah pendiri dan penggerak sanggar Jinger yang berpusat di Ulee Kareng Banda Aceh dan sempat eksis membina dan menampilkan seni Gayo di Banda Aceh ditahun 1990-an.

Sosok yang memegang slogan “Malu bersantai saat teman sibuk bekerja” ini menamatkan pendidikan dasarnya di SDN 6 Takengon (1986) dan setelah itu dirinya melanjutkan sekolah menengahnya di SMP 7 Banda Aceh (1987) dan pendidikan Atasnya di SMAN 3 Banda Aceh (1992).

Sesudah itu Oriza langsung melanjutkan ke pendidikan tingginya di Akademi Ilmu Statistik Jakarta dan selesai pada tahun 1995. Setelahnya, dia langsung menjadi salah satu pegawai di BPS Provinsi Aceh hingga tahun 2010.

Selama membujang dan berstatus PNS, Oriza aktif terlibat sebagai pengurus Pemuda Keluarga Lut Tawar (KLT) yang sekarang bernama Keluarga Nenggeri Antara (KNA) bersama Khalis dan sejumlah mahasiswa Gayo lainnya di Kute Redje tersebut.

Saking aktifnya membangun silaturrahmi sesama perantau dari Gayo, mereka mendapat julukan “Bebujang Cupir” atau Tukang Cuci Piring dari sejumlah kelompok mahasiswa Gayo lainnya di Banda Aceh saat itu.

Bagaimana tidak, hampir setiap acara keluarga Gayo di Banda Aceh dari Turun Mandi (turun mani-red), Khitan, Kawinan (Mungerje-red) hingga musibah meninggal dunia (Sinte Mate-red) mereka hampir selalu terlibat.

Oriza dan kawan-kawan kerap diminta untuk menanggungjawabi persiapan acara-acara keluarga Gayo tersebut, dari penyebaran undangan (Mango-red), persiapan lokasi (Nos benten-red), cuci piring (ningo pingen-red), hingga mengisi acara seni seperti acara penyambutan tamu berupa tari Munalo hingga acara hiburan band atau organ tunggal.

Tak hanya acara keluarga, dijelas Oriza dan diamini Khalisuddin, saat acara resmi Urang Gayo Banda Aceh, mereka juga sering dipercayakan sebagai Even Organizernya seperti acara Didong dan festival vokal grup di Taman Budaya Aceh (TBA) Banda Aceh dan sejumlah tempat lainnya. Dan yang yang terbesar mereka lakoni adalah ikut terlibat langsung saat kegiatan Pekan Olahraga dan Seni Keluarga Lut Tawar (PORSKLAT) III tahun 1997 (penyebutan tahunnya, Oriza dan Khalis tidak ingat persis) yang merupakan kegiatan massa Urang Gayo Banda Aceh dan Aceh Besar dibidang olahraga dan seni dengan peserta dari anak-anak, remaja, mahasiswa hingga para orang tua.

“Jika ragu dengan kebenaran kisah kami di Banda Aceh, silahkan tanya kepada sejumlah tokoh Gayo di Banda Aceh yang masih ada seperti Husni Darma, Munasco, Darmawan, Ikhwanul Fitri, dan lain-lain,” ujar Oriza.

Pada akhir tahun 2010 Oriza mendapatkan kepercayaan untuk memangku jabatan sebagai Kepala BPS Kabupaten Aceh Tengah hingga saat ini. Dalam memangku jabatan itu Oriza dikenal sebagai pimpinan yang disiplin, teguh pada pendiriannya dan sangat menghormati tugas. Azaz kekeluargaanpun dibangunnya sehingga menjadikan dia sebagai pemimpin yang dekat dengan bawahannya.

Ayah dari Ahmad Azka Ridha (10), Sanfa Yuktika (8) dan Ahmad Mandudi (6) dengan istri Nusraini ini, merupakan sederetan pemuda tanoh Gayo yang menduduki jabatan penting, terlebih dibidang data berupa angka-angka statistik yang kerap menjadi biang persoalan di kabupaten ini.

Dari usianya yang tergolong muda akan tetapi dapat mengukir prestasi yang sangat gemilang demi terciptanya intelektual muda tanoh Gayo, dirinya sangat berharap kepada generasi-generasi Gayo berikutnya ada yang mengikuti jejak langkahnya dan sebagai regenerasinya dimasa yang mendatang.

Menurutnya anak muda Gayo itu sangatlah cerdas, akan tetapi karena kekurangan informasi mengenai dunia pendidikan dan lapangan pekerjaan sehingga menjadikannya tertinggal dari daerah-daerah lain di Indonesia.

Dibidang statistik, menurutnya, Urang Gayo harus menunggu sekitar 10 tahun lagi baru ada calon kepala BPS untuk tingkat kabupaten di Indonesia. “Kuneh mi ya, nengon regenerasi urang Gayo i bidang ku siserloni, sekiter 10 tun mi baro ara calon kepala BPS setingket kabupaten,” kata Oriza bernada sedih.

Oriza juga memiliki motivasi yang diserukan untuk pemuda-pemuda Gayo, “Belajarlah dan jangan lupa berdoa, karena kepandaian bukan karena fasilitas akan tetapi karena kemauan dan kerja keras”, kata calon Megister Ilmu Ekonomi Unsyiah yang mengaku tidak gentar jika harus dibenci dan dimutasi karena melakukan pendataan yang benar dalam bertugas ini.

(Darmawan Masri)
.

Comments

comments