Oleh: Arfianshah Achyar*
DALAM beberapa catatan sejarah, masyarakat adalah komunitas yang memberikan kontribusi kemajuan kepada masyarakat Aceh. Kerajaan Samudera Pasai, dalam beberapa versi sejarah Aceh, secara tidak langsung didirikan oleh garis keturunan Raje Linge. Dengan demikian, maka barang kali Iskandar Muda, Sultan terkenal dan dambaan masyarakat pesisir, memiliki darah Gayo. Mungkin ini hanyalah klaim sejarah yang tidak terlalu kuat dari segi referensinya, namun sejarah selalu memiliki banyak versi yang berbeda. (wan sesidah catatan sejarah, masyarakat oya le komunitas si munosah kontribusi kin kemajuan masyarakat aceh, Kerejeen Samudra Pasee, wan sesidah macam versi sejarah Aceh, si gere secara langsung si idirinen oleh garis keturunen reje linge, si mashur I rasi Sultan Iskandar Muda, sultan si terkenal den I dambanen oleh masyarakat pesisir Aceh jema mu rayoh gayo. Mungkin ini erep klaim sejarah si gere kuet ari segi literature dan referensie. Namun sejarah dor dele pedi versi si mubeda-beda).
Pada masa penjajahan, masyarakat Gayo juga bahu membahu memberikan perlawanan kepada para penjajah. Mulai dari usaha mengusir Portugis di Malaka, bergrilya melawan Belanda, sampai bersatu dengan DI/TII berteman dan kemudian bermusuhan dengan Jepang. Beberapa tokoh Gayo berada di daerah pesisir Koeta Raja dan Lhoksemawe. Orang Gayo, dengan tekad, kegigihan dan sikap pantang dihina, memberikan perlawanan hingga dianggap pahlawan masyarakat pesisir. (wan masa penjajahen, masyarakat gayo renye murum bahu membahu munosah perlewenen ku para penjajah. Muloi ari usaha mu nusir portugis I malaka, mungaro mulewen belene, sawah bersatu urum pasuken DI/TII, kemudien bermusuhen urum Jepang, sesidahi tokoh gayo ara I daerah pesisir Kute Reje dan Lhoksemawe. Urang gayo urum tekad kegigihen den sikep pantang I hine, munosah perlewenen sawah I anggap pahlawah oleh masyarakat pesisir aceh)
Demikian kilasan umum dari kehebatan orang Gayo secara fisik pada tempo dulu. Dari segi intelektual dan modernitas, John Bowen dengan terang-terangan mengatakan bahwa pikiran progresif, moderat, dan modern dalam agama dan fiqh di Aceh awalnya berada di tengah, Aceh Tengah. Beberapa catatan pengadilan sipil menunjukan bahwa hakim-hakim di daerah Takengon dan Simpang Tiga berani memberikan putusan di luar ketentuan dan norma hukum Islam yang dianut oleh kebanyakan namun mampu memberikan solusi yang tepat dan adil berdasarkan Agama.
Tradisi merantau dan belajar lah yang telah membuat orang-orang dahulu lebih maju dalam Beragama daripada masyarakat pesisir Aceh. Kekompakan dan rasa kekeluargaan orang Gayo masa lalu telah berhasil menghasilkan Bus umum, bus Aceh Tengah, yang dulu sangat dibanggakan. Bila nenek atau kakek kita akan ke daerah pesisir, tidak ada bus lain bagi mereka selain Aceh Tengah. Meski PMTOH dan Bireun Express telah hadir disana.
Kemampuan, kekompakan, semangat juang, kekeluargaan, dan kehebatan mereka memang tidak menghasilkan jalan dua jalur, Hotel Renggali, Pantan Terong, lampu jalan yang indah. Kiranya, hal itu sama seperti yang dialami oleh masyarakat kebanyakan di Indonesia. Lalu kemajuan infrastruktur saat ini mengatakan bahwa masyarakat sekarang telah lebih maju. Menurut penulis, masyarakat Gayo tidak mengalami kemajuan sama sekali semenjak Aman Dimot gugur.
Aceh Tengah dulu memang tidak memiliki gedung dan ruko berjejer disana-sini, itu keadaan dan tuntutan zaman; keadaan setelah RI baru merdeka, tuntutan zaman yang tidak memberikan peluang besar untuk membangun infrastuktur. Demikian pula saat ini, keadaan dan tuntutan zaman yang membuat jalan dua jalur, beraspal dan berlampu. Namun keadaan dan tuntutan zaman sekarang menginginkan masyarakat Gayo seharusnya lebih maju daripada saat ini. Danau Laut Tawar mudah dan senang menyapa, pengunungan dan alam yang aman dan mudah dijelajahi. Keadaan dan tuntutan zaman sekarang lebih maju dan manusiawi daripada dulu.
Lalu kenapa peluang keadaan dan tuntutan zaman yang begitu indah tidak terpenuhi? Ada masalah tentunya. Pertama, tentu masalah manusianya. Kualitas moral Masyarakat Gayo sudah menurun. Secara kasat mata, kita bisa melihat bagaimana muda-mudi berkembang dan dididik. Bagaimana mereka dimanjakan dan dibesarkan. Disini, tentunya masyarakat Gayo tidak lagi mendidik seperti masyarakat dulu begitu ketat mendidik muda-mudi mereka, hingga untuk berpacaran pun harus sembunyi-sembunyi. Peningkatan kualitas moral selalu bemuara dan diawali pada kualitas pendidikan. Pendidikan jangan selalu diartikan dengan pendidikan di sekolah.
Kedua. Orang Gayo sekarang mulai memusuhi orang Gayo sendiri. Jauh berbeda dengan masa kakek-nenek kita dulu, dimana mereka selalu mendukung saudara tidak sedarahnya untuk maju dan berkembang. Sekarang, daripada melihat orang gayo maju, lebih baik tidak mendukungnya sama sekali. Takengon, kota terbesar bagi orang Gayo, sudah mulai didominasi oleh multi etnik; Aceh, Padang, Jawa, Batak dan beberapa sub etnik pendatang lainnya. Kebun-kebun kopi sudah mulai dimiliki oleh masyarakat pesisir dan mengontrolnya dari lautan. Buruhnya adalah orang pribumi. Benar, banyak orang Gayo hebat dan intelektual di prantauan. Namun, mereka tidak pernah diterima dengan hati yang tulus di daerah kelahiran mereka sendiri. Orang yang diam di Takengon merasa terusik bila orang Gayo perantau datang dan mengabdi di bumi pertiwi mereka.
Lalu bagaimana dengan masa depan orang Gayo. Dengan kedua indikasi tersebut, tentunya kemajuan masih jauh dari mata cucu bapak kita.***
*penulis Dosen IAIN Ar-Raniry Banda Aceh
.