*Novarizqa Saifoeddin
ADALAH sesuatu yang sulit bila ingin mengetahui motivasi sesungguhnya dari seseorang yang ingin jadi pemimpin. Sulit, karena biasanya yang terucap adalah keinginan-keinginan mulia seperti ingin membangun daerah, ingin memajukan perekonomian masyarakat, ingin meningkatkan kesejahteraan dan kata kata-kata ‘manis’ lainnya. Hampir tidak mungkin seseorang dengan jujur mengatakan ingin mendapatkan fasilitas, kehormatan dan nama besar, meski itulah motivasi sesungguhnya.
“ Mengapa kamu ingin jadi pemimpin..?” tanya kakek, ketika Jun menyampaikan keinginan untuk ikut dalam pemilihan kepala daerah dan memohon doa restu.
“Luruskan niatmu” nasehat kakek setelah mendengar panjang lebar alasan Jun.
“Kenapa kakek berkata begitu? Kakek menyangsikan apa yang saya katakan barusan?” tanya Jun.
“ Hanya kamu dan Tuhan yang tau apa sesungguhnya yang ada dalam hatimu. Kakek hanya bisa memberi penilaian setelah kamu terpilih menjadi pemimpin dengan melihat model dan gaya memimpinmu. Seperti kata Profesor Dr. Imam Suprayogo, Pemimpin yang motivasinya prestise, fasilitas, kehormatan dan nama besar biasanya tidak banyak mengambil keputusan, sangat hati-hati, menginginkan suasana stabil dan tenang, memerlukan anak buah loyal dan penurut, mewaspadai bahkan membuang jauh orang pintar dan beroposisi. Secara sederhana, hebat (tidak)-nya seorang pemimpin dapat dilihat dari orang-orang yang mengitarinya. Jika mereka miskin prestasi, maka kualitas pemimpin itu pasti rendah dan tidak bermutu, begitu pula sebaliknya” jelas si kakek panjang lebar.
“Wah, diam-diam kakek masih suka membaca juga ya” ujar Jun.
“Tulisan itu kakek baca di harian Republika bulan Maret 2010”
“Berbahayakah pemimpin seperti itu, kek?”
“Tentu. Karena melahirkan sikap munafik, loyalitas semu, stagnasi, bahkan mental korup”
“Lalu gaya pemimpin yang baik itu, kek?”
“Gaya itu tergantung motivasinya. Dalam lanjutan tulisan profesor itu, pemimpin yang benar benar tulus ingin membuat perubahan agar masyarakatnya menjadi lebih baik biasanya kaya ide, mau berjuang mewujudkan idenya, berani mengambil resiko, menyukai orang-orang yang memiliki kelebihan, bukan sebatas berbekal loyalitas. Kalaupun loyalitas dianggap perlu, bukan loyalitas terhadap pemimpin tapi terhadap visi atau cita-cita besarnya. Bukan kedudukan yang dia pikirkan tapi keberhasilan” terang kakek.
“Itu namanya pemimpin revolusioner ya kek” kakek menganggukkan kepala dan menyeruput kopinya yang tersisa.
Tepi Danau Laut Tawar, 08 Februari 2012
——
*Menggemari politik dan seni budaya, tinggal di Takengon