Indra Setia Bakti*
KERAKUSAN telah membutakan mata hati manusia, bahkan kita sering lupa bahwa bumi ini merupakan ekosistem besar, di mana komponen-komponennya saling tergantung satu sama lain. Ketika satu spesies menghilang dari muka bumi, pengaruhnya akan cukup terasa pada spesies lain. Kita sering lupa bahwa bumi ini adalah hak anak cucu kita juga, masa depan mereka, tempat mereka tumbuh dan berkembang, bermain dan belajar.
Akan tetapi, eksploitasi dan perusakan alam sepertinya tidak pernah berhenti, semakin lama semakin menjadi-jadi. Oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab membunuh harimau, gajah, badak demi memperoleh bulu, gading, dan cula. Ribuan spesies di dunia ini mati setiap hari, bukan cuma mati secara natural, bukan pula mati sebagai rantai makanan, tetapi mati karena senapan, racun, dan jebakan. Rusa dibunuh bukan lagi untuk konsumsi sehari-hari kaum pribumi, di mana memburu adalah untuk mempertahankan hidup, tetapi rusa dibunuh untuk diperdagangkan dagingnya, dikomersialisasikan oleh kapitalis rakus yang membayar para pemburu demi lembaran-lembaran “kertas berangka”. Namun di sisi kehidupan lain, kemiskinan dan kesenjangan sosial nyata di tengah mafia kaya yang meraup keuntungan pribadi itu.
Hutan kita perlu dilindungi dari penebangan dan pembakaran secara tidak bertanggungjawab. Habitat hewan dan tumbuh-tumbuhan perlu dilestarikan dengan menindak tegas jaringan mafia perdagangan kayu dan binatang ilegal. Menindak tegas bukan berarti hanya menindak para pembalak, tetapi siapa aktor-aktor, ‘tangan-tangan tak tampak’ yang bermain di belakang itu. Semua ini memerlukan komitmen pemerintah dan dukungan masyarakat luas.
Sementara itu, mahasiswa adalah jembatan aspirasi masyarakat, yang mesti selalu ‘awas’ terhadap setiap kebijakan penguasa. Mahasiswa adalah kelompok masyarakat yang diharapkan mampu berperan dalam menjaga kelestarian alam. Harapan yang besar terhadap peran mahasiswa didasari oleh kenyataan bahwa mahasiswa adalah insan-insan yang terdidik. Apakah mahasiswa yang telah memperoleh pendidikan benar-benar menjadi insan yang terdidik? Itu adalah permasalahan pertama. Permasalahan lainnya adalah apakah mahasiswa peduli?
Kepedulian tidak dibuktikan oleh pernyataan setuju atau tidak setuju, tetapi oleh sikap dan tindakan yang benar-benar nyata memiliki bobot moral. Kepedulian mahasiswa dapat diukur berdasarkan standar bobot moral yang menjadi pedoman hidupnya. Sederhananya, ketika mahasiswa dihadapkan pada sejumlah permasalahan, termasuk isu lingkungan, mereka akan menyikapinya dalam beberapa cara : memperbaiki dengan tangan mereka, memperbaiki dengan lisan mereka, tersentuh di hati saja, atau tidak peduli sama sekali. Dan tentu saja memperbaiki kedzaliman dengan tangan adalah standar moral terbaik. Yang dimaksud “tangan” di sini bukanlah tangan-tangan yang biasa merusak fasilitas milik umum, tetapi tangan yang rela tidak membuang sampah sembarangan, juga tangan yang tulus mau bekerja bersama masyarakat membantu kesulitan-kesulitan mereka.
Maka isu moral mahasiswa menjadi kajian yang paling penting, sebab kalau kita renungkan secara mendalam, sesungguhnya akar permasalahan terpuruknya bangsa ini adalah karena fungsi moral tidak benar-benar sejajar dengan fungsi manajemen. Di Indonesia, negara terpuruk bukan saja karena salah urus (sebagaimana pandangan Peter Drucker), tetapi juga karena manusianya tidak menempatkan tindakan yang benar di atas yang salah dan tindakan yang baik di atas yang buruk.
Membangun moral bangsa dimulai dari membangun moral diri sendiri. Perubahan itu sudah seyogyanya diawali dari kampus, dimotori oleh mahasiswa. Selain institusi keluarga, kampus diharapkan dapat menjadi sumber pembentuk mahasiswa bermoral. Kampus mendidik mahasiswanya untuk selalu berpegang teguh pada asas kebenaran dan kejujuran. Mahasiswa yang bermoral nantinya diharapkan dapat menjadi teladan di dalam masyarakat. Luaran moral yang diharapkan pada mahasiswa dalam memelihara keberlangsungan kehidupan di bumi terdiri atas dua hal.
Pertama, mahasiswa bermoral secara pribadi. Hal ini ditunjukkan oleh kesadaran mereka untuk berperanserta menjaga kelestarian alam, misalnya menjaga kebersihan lingkungan, memaksimalkan penggunaan kertas, menggunakan produk-produk yang ramah lingkungan, hemat energi, dan sebagainya. Sikap terpuji seperti ini perlu kiranya disosialisasikan oleh pihak kampus dan mulai diterapkan dalam kehidupan perkuliahan sehari-hari. Kampus perlu terus menerus mengkampanyekan kepada civitas akademikanya agar menjadi “konsumen hijau” dengan hanya membeli produk-produk yang bersertifikat “eco labeling”.
Kedua, mahasiswa bermoral secara sosial. Hal ini ditunjukkan dengan kepedulian terhadap keselamatan bumi beserta segala makhluk yang ada di dalamnya melalui kegiatan sosial yang nyata di tengah masyarakat. Akan tetapi, dalam kenyataannya harapan ini masih terwujud dalam tingkatan yang sangat minim. Ironisnya, peran mahasiswa bahkan kurang dirasakan di lingkungan masyarakat sekitar kampus. Mahasiswa menyewa kamar kos, lalu pergi begitu saja tanpa meninggalkan jejak yang berarti bagi lingkungan masyarakat yang telah menampungnya selama beberapa tahun. Mahasiswa seolah-olah mempersetankan lingkungan sekitarnya dan sangat berorientasi ijazah. Tak ayal di benak masyarakat juga mulai terbentuk citra “mahasiswa cuma bisa demo”.
Orang bijak mengatakan bahwa sebaik-baik ilmu adalah ilmu yang diamalkan. Alangkah baiknya bila mahasiswa tidak menutup diri untuk mengamalkan ilmu yang telah mereka kuasai sembari terus menggali hal-hal yang baru. Oleh karena mahasiswa terbiasa menyatu ke dalam kelompok-kelompok, baik di organisasi formal maupun perkumpulan pertemanan, maka sesungguhnya mereka juga memiliki potensi “wadah” yang dapat dialirkan energinya ke arah yang positif, salah satunya pengabdian masyarakat untuk lingkungan. Aktivitas pengabdian ini menjadi kegiatan rutin mahasiswa yang juga diharapkan dapat membantu mereka lebih memahami kenyataan di masyarakat.
Wadah mahasiswa, seperti Badan Eksekutif Mahasiswa dan Himpunan Mahasiswa Perantauan dapat memajukan beberapa program, seperti community development, green community, green action, dan sebagainya. Tentu sudah dapat dibayangkan jika setiap Himpunan Mahasiswa menerapkan community development pada sebuah kampung atau komunitas tertentu yang telah mereka tetapkan, gerakan ini akan sangat membantu pemerintah (tidak sekedar mengkritik) sekaligus membentuk karakter mahasiswa yang siap menerima estafet pembangunan.
Salah satu tugas institusi pendidikan kita yang belum selesai adalah bagaimana menciptakan insan-insan yang punya kompetensi, bermoral, dan peduli. Namun disadari atau tidak, kurikulum cenderung mendorong mahasiswanya menuhankan “indeks prestasi komulatif”. Dengan sistem yang berlaku seperti ini, seolah-olah diciptakan pertimbangan (judgment) bahwa peserta didik yang pintar atau goblok dapat dilihat dari apakah mereka memperoleh nilai A, B, C, D, atau E untuk mata kuliah tertentu. Padahal metode kuantifikasi seperti ini belum tentu dapat menggambarkan keadaan yang sebenarnya.
Menciptakan mahasiswa yang bermoral dan peduli membutuhkan banyak stimulus. Oleh karena itu, kampus tidak dapat melepaskan fungsi pendidikan dari pengajaran, serta pengabdian masyarakat. Selain perlunya merevisi kembali sistem kurikulum yang berlaku saat ini, kampus juga membutuhkan banyak tenaga pengajar (plus pendidik) yang tidak hanya memiliki kompetensi di bidangnya, tetapi juga memiliki daya inspirasi yang dapat menjadi pendorong (motivator) agar mahasiswanya menjadi aktif dalam pembangunan dan pelestarian lingkungan, serta menjadi manusia yang mau menurunkan kadar kesombongannya demi keberlanjutan kehidupan di muka bumi.
*Penulis adalah alumnus jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial Universitas Indonesia.