Mengurangi ‘Urang-Urang’ melalui Bahasa

Oleh: Yusradi Usman al-Gayoni*

.

SALAH satu masalah yang masih mengakar kuat di tanoh Gayo adalah urang-urang. Secara harfiah, urang berarti orang. Namun, dalam bahasa Gayo, pengertiannya lebih luas. Bisa merujuk ke belah (klan), daerah, orang (etnik), dan negara sekaligus. Namun, dalam masyarakat Gayo, konotasinya lebih negatif. Hal ini tidak terlepas dari pengaruh politik devide at ampera kolonialis Belanda di Gayo, tahun 1901-1942. Bahkan, masih “berpengaruh” sampai sekarang.

Di Takengon, misalnya. Pengaruh urang-urang “uken-toa” ini masih cukup kental. Dan, merupakan masalah yang sensitif. Prof. H. Muhammad Daud, S.H. alm (Guru Besar Kriminologi Universitas Sumatera Utara dan salah satu pendiri SMA Negeri 1 Takengon), menyebutkan (2003), orang-orang yang memelihara uken toa merupakan orang yang tidak beradab. Tak jarang, ungkapnya, isu tersebut disuburkan orang tua (elit politik lokal yang sudah senior). Sementara itu, Yusra Habib Abdul Gani menyebut orang yang ber-uken toa rasis kampungan (2009).

Sebetulnya, masalah ini mencuat sejak abad ke-16. Khususnya, dalam “relasi” kerajaan Bukit (Kebayakan) dengan kerajaan Cik (Bebesen). Sampai akhirnya, terjadilah pembagian daerah kekuasaan. Kemudian, masing-masing “demografis uken toa” berkembang seperti sekarang. Secara khusus, Etnografer Indonesia dan Guru Besar Antropologi Universitas Indonesia (UI), Prof. M.J. Melatoa alm sempat meneliti masalah ini dan mendokumentasikannya dalam bentuk disertasi yang berjudul Pseudo Moiety Gayo: Satu Analisa tentang Hubungan Sosial menurut Kebudayaan Gayo (1983). Pada waktu itu, beliau melihat adanya paruh yang saling bersaing “uken toa” dalam masyarakat Gayo di Takengon. Lebih khusus lagi, dalam pemerintahan, kegiatan kesenian (didong), dan pertandingan/perlombaan olah raga.

Lebih luas lagi, terefleksi dalam relasi “urang-urangen” antara Lut, Deret, Belang/Lues, Alas, Serbejadi/Lokop, Kalul, dan Lhok Gayo. Dalam kaitan ini, penulis berkeyakinan, orang Gayo di pelbagai daerah persebaran tersebut masih belum sepenuhnya mengenal satu satu lain. Singkatnya, mereka belum lah sehati (sara ate), satu visi (sara kekire), dan satu misi (sara langkah). Apalagi, menyangkut kepentingan (tanoh) Gayo secara menyeluruh dan lebih berjalan masing-masing. Dan, kalau kondisinya terus seperti itu, urang Gayo (secara kolektif) akan sulit berkembang dan maju.

Lagi pula, saat ini, Gayo tidak lagi memiliki tokoh yang sejalan antara hati, pikiran, dan perbuatannya serta berkharisma. Sebelumnya (abad ke-19), Gayo punya Muhammad Hasan Gayo, Ilyas Leube, dan lain-lain. Namun, saat ini?

Solusi?

Salah satu solusi mengurangi masalah ini adalah melalui penggunaan bahasa, yaitu dengan mengganti kata urang jadi ari (dari). Soalnya, bahasa sangat memengaruhi pola pikir, sikap, dan pola tindak pemakainya. Termasuk, prihal urang-urangan tadi. Dalam hubungan sosial sesama orang Gayo, misalnya. Prihal asalnya, tidak ditanya, “Urang si, ya? (belah atau orang mana dia?)” Sebaliknya, jadi “Ari si asal le? (dari mana asalnya). Contoh lain, dalam perkawinan masyarakat Gayo, kerap ditanya, “Urang sihen si rawan/banan? (Orang mana pengantin laki-laki/perempuannya?) Tapi, diganti, “Ari sihen si rawan/banan?” (Dari mana pengantin laki-laki/perempuannya?) Karena, kata urang ‘berkonotasi’ negatif di dalam masyarakat ini.

Pun demikian, pemakaian bahasa ini merupakan salah satu pendekatan. Namun, pemakaiannya tidak akan berpengaruh apa-apa kalau tidak disinerjikan dengan pendekatan lainnya. Khususnya, dari Pemerintah Kabupaten (Kabupaten Aceh Tengah, Aceh Tenggara, Gayo Lues, dan Kabupaten Bener Meriah) di Gayo, mulai dari politik, ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, sampai pada penegakan hukum yang terbuka, partisipatif, berkeadilan, dan bermartabat. Juga, dalam penempatan pejabat lokal dalam pemerintahan. Yang dikedepankan adalah kejujuran, kualitas, kemampuan, dedikasi, dan punya rekam jejak (track record) yang baik. Bukan sebaliknya, didasarkan pada kedekatan “pertalian darah,” tim sukses, atau karena hutang budi dan uang saat kampaye serta ber-mind set urang-urang.

Kalau semuanya disinerjikan dengan benar dan baik, masalah urang-urang tersebut bisa dikurangi. Bahkan, dihilangkan untuk jangka panjang. Karena, dalam prosesnya, terjasi cross culture understanding dan saling besikemelen. Pada akhirnya, orang Gayo (secara keseluruhan) pun akan musara, mu nahma, dan mu marwah.

* Dosen STKIP Muhammadiyah Aceh Tengah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.