ALMARHUM Nurcholish Madjid atau yang lebih dikenal dengan Cak Nur, dalam sebuah bukunya, pernah mengutip teori Antropologi tentang asal-muasal manusia yang hidup di kepulauan seperti pulau-pulau di Indonesia. Teori tersebut menyatakan bahwa orang-orang yang hidup di kepulauan nusantara, termasuk kita yang hidup di ujung pulau Sumatra, adalah orang-orang yang berasal dari daratan yang lebih besar.
Tidak ada manusia asli atau awal yang menghuni pulau-pulau yang jauh terpencil dari daratan yang terbentang luas dari Afrika sampai Amerika; jadi manusia-manusia yang menghuni pulau-pulau seperti pulau-pulau di Indonesia adalah manusia-manusia yang berasal dari daratan tersebut; mengapa mereka kemudian ada di pulau-pulau seperi Sumatra, Jawa, Kalimantan, dan sebagainya; tidak lain karena migrasi dari manusia-manusia tersebut. Dalam teori Antropologi, manusia berpindah dari suatu tempat ke tempat lain diakibatkan oleh beberapa sebab utama, seperti kalah berperang, menghindari penyakit, menghindari perang, menghindari bencana alam, terusir, melakukan kejahatan, dan sebagainya.
Jika teori ini coba kita hubungkan dengan kenyataan empiris manusia yang hidup di Aceh (Sumatra) saat ini, memang sangat beragam dari warna kulit, wajah, tinggi badan, budaya, dan sebagainya. Ada yang mirip Arab, India, Cina, Champa, Siam, dan sebagainya. Orang-orang suku asli Gayo saja memiliki wajah yang sangat beragam; ada yang mirip Thailand, Kamboja, Myanmar, Vietnam, dan sebagainya; bahkan sebagian orang Gayo mirip dengan China. Orang-orang yang hidup di Aceh jauh benar fisiknya dengan orang-orang yang di daratan yang luas seperti India, China, Rusia, Eropa, Afrika; yang pada umumnya secara fisik tidak jauh berbeda; sementara kita di Sumatra (Aceh) khususnya seperti gado-gado, banyak sekali bentuk wajah dan warna kulit yang satu sama lain; susah untuk dibedakan.
Pengalaman pribadi, sewaktu kuliah di Malaysia, penulis pernah bekerja di restoran China (Kanton) sebagai waiter yang sebagian besar pelanggannya adalah etnis China dan India. Setiap penulis melayani mereka memesan makanan atau minuman, ada sebagian yang ramah bertanya, “kamu orang Siam, ya?”, penulis lantas menjawab, “saya dari Aceh”, mereka tambah bingung karena menurut mereka orang Aceh lebih banyak yang mirip India, akhirnya penulis memberi sedikit gambaran bahwa di Aceh banyak suku-suku kecil, termasuk suku Gayo. Seingat penulis, ada tiga atau empat orang yang mempertanyakan asal penulis ketika melayani mereka.
Dari nukilan teori maupun pengalaman pribadi di atas, apa yang hendak penulis sampaikan adalah bahwa sesungguhnya di Aceh (Sumatra) ini tidak ada yang namanya penduduk asli, apakah suku Aceh, Gayo, Alas, Karo, Minang, dan sebagainya. Semua kita adalah pendatang karena itu tidak boleh satu sukupun mengklaim suatu wilayah teritorial adalah milik suku mereka dan suku lain boleh diintimidasi kalau masuk ke wilayah mereka. Penulis yakin, apa yang dilakukan suku Aceh terhadap suku Jawa melalui beberapa kejadian akhir-akhir ini tidak lebih karena mereka merasa memiliki wilayah Aceh ini karena merasa sebagai penduduk asli Aceh.
Urang Gayo juga tidak boleh terjebak dengan klaim-klaim keaslian ini. Saya sepakat dan mendukung upaya-upaya para arkeolog yang melakukan penggalian di beberapa tempat di Aceh Tengah dan Bener Meriah, katanya hendak mengungkap asal-muasal orang Gayo. Namun, penulis tidak mendukung jika upaya ini ditujukan untuk mengklaim bahwa dengan temuan tersebut akan dinyatakan bahwa suku Gayo-lah pemilik wilayah teritorial dataran tinggi Gayo.
Penulis yang tidak ahli Arkeologi maupun Antropologi, hanya berpikir singkat, jika memang kita ingin mengetahui identitas kita darimana, mengapa susah-susah menggali kerangka yang sudah rapuh dan menjadi debu; mengapa tidak dilakukan uji DNA saja dengan bangsa-bangsa di Asia Selatan, Asia Timur, atau Asia Tenggara yang memiliki kemiripan yang sangat banyak dengan ciri-ciri fisik kita urang Gayo, saya pikir ini akan lebih cepat menguak asal-muasal kita daripada mengorek kerangka yang hanya bertujuan untuk dijadikan bukti bahwa urang Gayo telah ada di dainggo bahkan sebelum masa prasejarah. Jika inilah tujuan kita maka sangat tendensius. Apalagi dengan mencocok-cocokkan DNA anak-anak sekolah dengan DNA kerangka yang ditemukan itu, menurut penulis ini sangat absurd.
Penulis sendiri berkeyakinan bahwa wilayah Kamboja, Thailand, Myanmar, Laos, Vietnam dan sekitarnya saat ini adalah tempat asal bangsa Gayo, sebab dari berbagai cara hidup orang-orang yang hidup di sana saat ini memiliki kemiripan yang banyak sekali dengan urang Gayo, misalnya mereka memakai sarung, wajah mereka yang sangat mirip dengan etnis Gayo, serta tata-cara hidup mereka sehari-hari. Menurut penulis, apa yang membuat kita saat ini kurang tertarik mengkaji hubungan etnis ini dikarenakan perbedaan agama kita saat ini, mereka pada umumnya beragama Budha sedangkan kita 100 % Islam. Akibat perbedaan laten ini menyebabkan kita merasa jauh secara emosional. Aneh dan lucu memang, kita lebih merasa dekat secara emosional dengan orang Arab yang fisiknya jauh panggang dari api dengan kita, sementara dengan orang-orang di wilayah tersebut di atas tidak pernah kita telusuri.
Menurut penulis, pemda tidak usah terlalu bersemangat mendukung upaya-upaya mengungkap identitas urang Gayo, apalagi jika sampai menggunakan anggaran daerah. Biarlah para ahli Arkeologi itu memberikan kesimpulan-kesimpulan secara bebas dari segi keilmuan, sebab jika sudah dicekoki dengan kepentingan primordial dan emosional, maka temuan mereka tidak akan valid dan mudah dimentahkan; jika itu yang terjadi maka yang malu kita juga urang Gayo. Biarlah mereka bekerja secara independen, tidak usah dilayani secara berlebihan, sebab mereka melakukan kegiatan itu tentu dengan dukungan dana yang cukup.
Melalui tulisan ini, penulis menghimbau pemerintah daerah untuk memperhatikan isu-isu yang lebih berkualitas dan mensejahterakan ketimbang isu-isu yang sifatnya mengolah emosional kesukuan yang akhirnya hanya memperbesar sifat “keakuan” saja. Menurut penulis, yang perlu dilakukan pemda adalah memberdayakan suku Gayo yang hampir seratus persen adalah bangsa petani agar mereka maju dalam pertaniannya. Jangan sampai cara mereka bertani sama saja dengan cara bertani bangsa Aria 1000 tahun sebelum masehi. Jika urang Gayo tidak diberdayakan, maka hukum alam akan berlaku, siapa saja yang kalah bersaing (dalam arti yang positif) maka akan tersingkir dengan sendirinya. Kita tidak ingin nasib urang Gayo akan sama dengan nasib bangsa Gypsi yang tidak punya tanah tumpah darah, akhirnya mereka menjadi gelandangan abadi di tanah Eropa.
Jadi, menjawab pertanyaan penulis di judul, siapa yang asli di Gayo, maka penulis menyatakan bahwa tidak ada yang asli atau palsu, semua kita pendatang dan urang Gayo saat ini hanya dimenangkan oleh jumlah yang mayoritas dan keawalan menempati wilayah itu saja; tidak ada yang asli sebab siapapun yang ada di negeri kepualauan ini adalah pendatang dari daratan yang lebih besar. Mudah-mudahan tulisan bisa menurunkan ego etnisitas kita yang kadang menggiring kita pada tindakan dan sikap-sikap yang tidak rasional. Pesan politik yang hendak penulis sampaikan adalah bahwa siapapun calon-calon yang akan terpilih memimpin tiga kabupaten Gayo berhak dan sah-sah saja memimpin Gayo asal niatnya tulus untuk membagun Gayo dan mengangkat derajat urang Gayo. Mempersoalkan suku, etnis, dan sebagainya hanya ekspresi orang-orang yang tidak mampu bersaing; dan orang-orang yang berpola pikir seperti itu akan tergerus oleh zaman.
*Widyaiswara (pengampu mata diklat Wawasan Kebangsaan)