(Menemukan Angka Pertama Adalah 1)
Oleh. Drs. Jamhuri, MA*
Setelah dua setengah (2,5) jam menunggu antrian di Pascasarjana IAIN Ar-Raniry untuk konsultasi dan diskusi bersama Prof. Dr. Al-Yasa Abubakar, MA., maka tepat pada jam 10.30 giliran antrian sampai kepada saya, saya masuk setelah empat orang lainnya selesai. Diantara mereka ada yang ujian komprehensif, bimbingan disertasi dan juga ada yang wawancara penelitian tentang draft Qanun Jinayah Aceh.
Setelah masuk dan duduk, saya menjelaskan apa yang saya baca dari buku-buku mazhab dan buku-buku lain, yang berkaitan dengan tema konsultasi yang saya perlukan (dalam tulisan ini saya tidak menyebutkan tema diskusi dan konsultasi, karena yang menjadi fokus bahasan adalah menemukan kerangka berpikir). Menjadi kebiasaan bagi beliau ketika kita memaparkan apa yang telah kita baca, beliau langsung bertanya, bagaimana dengan pendapat mazhab ? saya menjawab bahwa dalam berpikir mazhab “tanggung jawab” itu datangnya dari atas ke bawah. Seorang raja atau pemimpin bertanggung jawab terhadap kesejahteraan orang yang dipimpin (rakyat)nya, seorang guru bertanggung jawab terhadap kecerdasan muridnya, demikian juga dengan pemilik toko bertanggung jawab pada orang yang dipekerjakannya.
Lalu bagaimana menurut al-Hashshaf (seorang ulama sesudah Mazhab) ? beliau lanjutkan pertanyaannya.
Saya menjelaskan bahwa menurut al-Hashshaf “tanggung jawab” itu sangat erat kaitannya dengan adanya hubungan kekerabatan dan pengharapan, sehingga tidak hanya menurun dari atas ke bawah tapi bisa juga dari bawah ke atas ata juga setara. Seorang raja bertanggung jawab kepada rakyatnya apa bila diantara mereka adalah benar sebagai pemimpin dan rakyat yang dipimpin, seorang guru bertanggung jawab kepada kecerdasan anak didiknya apabila ada ikatan sebagai guru dan murid, disamping juga ada keterikatan murid atau orang tuanya betul-betul telah memenuhi kewajibannya (untuk membayar uang SPP atau kewajiban lainnya), Seorang pemilik toko juga betanggung jawab kepada mereka yang dipekerjakannya apabila yang bekerja melaksanakan tugasnya.
Lalu apa bedanya dengan pendapat mazhab di atas ? beliau menambah pertanyaannya.
Kalau dalam pendapat mazhab di atas mereka yang bertanggung jawab, akan selalu memberikan tanggung jawabnya tanpa adanya harapan dari yang di bawah pertanggung jawabannya, dan mereka dianggap tidak bertanggung jawab apabila tidak memenuhinya. Sedangkan pendapat kedua tanggung jawab diberikan berkaitan dengan adanya harapan dari apa yang telah diberikan. Kendati yang lebih seringnya harapan itu tidak akan didapatkan.
Kemudian apa persamaan yang sudah ditemukan dari keduanya ? ungkap beliau. Saya menjawab dengan ragu, bahwa ada kemungkinan tanggung jawab itu dijadikan sebagai tanggung jawab apabila ada orang yang memerlukannya, namun saya ragu. Lalu beliau sisip dengan saran, itu yang kamu harus pelajari lagi.
Namun kalaupun yang kamu katakan itu betul, tambah beliau. Bagaimana bila dalam keadaan normal; artinya rakyat hidupnya sudah sejahtera, murid yang sedang sekolah sudah cerdas semua. Atau lebih tegas lagi, kata beliau, bila raja atau pemimpin tidak ada. Siapa yang harus bertanggung jawab kepada rakyat, guru yang mengajar sudah tidak ada, pemilik toko yang mempekerjakan orang tidak ada, lalu siapa yang bertanggung jawab.
Kesimpulannya adalah tanggung jawab itu ada bukan karena ada orang yang memerlukan tanggung jawab, tetapi tanggung jawab itu ada pada setiap orang dan selalu bertanggung jawab untuk diri sendiri.
Jadi orang yang memerlukan tanggung jawab adalah anak-anak, karena anak-anak tidak mempunyai harta, anak-anak tidak mampu bertangung jawab untuk dirinya. Kemudian yang memerlukan tanggung jawab adalah orang yang bisa bertanggung jawab untuk diriya, selain dari anak-anak juga orang gila dan orang yang mempunyai ‘awaridh ahliyah. Yaitu orang orang yang memerlukan pengampuan.
Pada dasarnya suami tidak bertanggung jawab terhadap isterinya, karena pada dasarnya juga isteri dapat dapat bahkan harus bertanggung jawab untuk dirinya. Selama ini para ulama dan semua orang berpendapat bahwa suami bertanggung jawab terhadap interi atau isteri berada dibawah pertanggungjawaban suami, pendapat ini terjadi karena ada anggapan bahwa isteri tidak memiliki kemampuan dan kekayaan, dia adalah orang lemah. Namun ketika kenyataannya berubah, dimana isteri mempunyai kemampuan dan juga memiliki harta tapi pendapat menganggap bahwa isteri tetap sebagai orang yang tidak dapat bertanggung jawab.
Seharusnya kita bisa merubah pemahaman, bahwa mereka yang mampu dan memiliki harta sama posisinya untuk semua orang bahwa ia bertanggung jawab untuk dirinya, bahkan juga dapat membagi tanggung jawabnya untuk orang lain. Untuk itulah semua orang harus menghitung bahwa dirinya adalah pertama dan nomor satu, nomor duanya hanya ada pada orang-orang yang tidak mukallaf dan di bawah pengampunan.