Yusra Habib Abdul Gani[1]
Dalam suatu diskusi berthema: ”Mengenal Identitas Gayo” berlangsung di Restoran caffee Batas Kota, April 2011, diprakarsai oleh aktivis Lintas Gayo. Khalisuddin dan King Reje tampil sebagai moderator; sementara sdr. Syukri Muhammad Syukri sebagai pembanding. Saya -pembicara tunggal- pada malam itu memperkenalkan salah satu kode etik pelolo bahwa: ”Sebelum berkelahi (pelolo), ada pihak ketiga menggaris tanah –pembatas– antara kedua belah pihak dengan suatu alat: cabang kayu, ujung jari kaki, tangan, tongkat, dll. Maksudnya untuk menetapkan wilayah berdaulat masing-masing dan ingin membuktikan siapa yang pertama sekali berani melangkahi garis pembatas.”
Kode etik ini ditawarkan dan diterapkan, ketika situasi meruncing karena masing-masing melepas ucapan menantang paling pantang, misalnya: ”Ulu Namamu ara” (Ada kepala bapakmu ada), ”Kèmèh ninemu ara” dan ”Jalang ninemu ara” (kemaluan Ibumu ada), bahkan menyebut nama Ayah. {Dalam budaya gayo, pantang menyebut nama Ayah seseorang, kecuali: sudah meninggal yang harus disebut dalam niat sembahyang jenazah atau penulisan nama pada batu Nisan} Ucapan pantang ini dipakai sebagai pengantar ke pertarungan yang sesungguhnya dan penggarisan tanah adalah upaya terakhir, jika jalan damai buntu.
Selain itu, ada kode etik (baca: rule of the game) yang disepakati sebelum bertarung, misalnya: tidak boleh main ”rempil” (merebahkan dengan cara melipat kaki lawan) atau memukul bagian kepala, tidak pakai senjata tajam, dll. Penonton akan menyuarakan kode etik, bila salah satu pihak melanggar. Mengapa tanah digaris sebagai pembatas wilayah berdaulat? Pertama: tanah adalah simbol marwah, kemuliaan dan kekayaan. Seseorang dipandang hina apabila tidak punya sebidang tanah. Kedua: secara moral; jika tanah milik seseorang dikuasai oleh orang lain, berarti kehilangan segala-galanya, termasuk marwah dan kedaulatan. Itu sebabnya orang gayo rela mati demi mempertahakan hak milik atas tanah. Tanah adalah harga hidup dan harga mati!
Dalam konteks inilah, Resimen VII asal Aceh Tengah, dipimpin oleh Tengku Ilyas Leubé menggaris tanah –pembatas wilayah berdaulat– antara Aceh dengan Sumatera Utara (wilayah berdaulat Belanda) dan berani menyeberang tapal batas dengan melancarkan perang di gelanggang lawan “Medan Aria” tahun 1948.
Aman Dimot, walau sudah diberi aba-aba untuk menunda serangan dan merambah masuk ke benteng musuh; namun beliau tidak tahan menahan amarahnya kepada ‘kafir Belanda’ dan dengan keseorangan ‘bertandang’ ke wilayah berdaulat lawan. Tindakan nekad ini diilustrasikan dalam lembaran sejarah sebagai “mawar” yang harum dan mekar dari kelopak mawar gayo bibit unggul, sekaligus representative dari segala jenis mawar yang dikenal di dataran tinggi tanah Gayo. Beliau melewati garis pembatas di saat orang lain tidak berani melakukannya. Soal kemudian gugur sebagai syuhada atau dikhianati perjuangannya oleh generasi penerus; biarlah sejarah mencatat sebagai fakta yang berdiri tegak, sekaligus memperlihatkan manusia bagaimana sebenarnya orang Gayo itu.
Kode etik tersebut diduga diadopsi atau ditransfer dari konsep permainan gasing yang punya kode etik (”rule of the game”); dimana untuk menentukan siapa yang berhak untuk pertama sekali memukul (”Pemangka”), prasyaratnya adalah “Adu Mès” yaitu: memutar gasing secara serentak oleh kedua belah pihak yang berlaga sampai gasing berhenti berputar. Jika gasing si A berputar lebih lama daripada gasing si B, maka si A dinyatakan sebagai pemenang dan sekaligus bertindak sebagai pemukul pertama. Sementara yang kalah adalah penahan (”Peneging”). Kode etik lainnya: menetapkan satu dari 3 type pukulan:
- “Tibuk” (pemangka berdiri tegak untuk melakukan pukulan;
- ”Panci” (pemangka memerankan gerak miring melakukan pukulan);
- ”Timung” (menghadap tegak lurus untuk melakukan pukulan).
Ketentuan tambahan ialah: jika gasing pemangka -setelah memukul- ternyata gasing peneging berputar dalam posisi “Juluk” atau “Cicir” (sungsang), maka gasing pemangka dinyatakan kalah; … Jika gasing pemangka –setelah melakukan pukulan– ternyata “remong” (keluar dari areal permainan atau kawasan berdaulat), maka gasing pemangka dinyatakan kalah; … Jika gasing peneging –setelah dipukul– ternyata masih berputar, maka gasing peneging berhak untuk mempertahankan dan menyelamatkan diri dengan cara “murampat” gasingnya. Jika gasing pemangka ternyata kalah, maka peneging dinyatakan menang dan menduduki posisi pemangka. Keberadaan kode etik dalam permainan gasing, ternyata mirip dengan kode etik perang (bermusuhan) dalam peradaban orang Gayo. Hal ini terdapat kesamaan dasar pikiran dengan kode etik Pelolo dan kode etik Betengkah (pertarungan saling membacok memakai pedang) antara dua “pang” (sebutan untuk panglima yang memiliki do’a kebal) yang mesti sepakat lebih dahulu:
- “sut”, yakni: kedua tangan masing-masing pihak disembunyikan. Kemudian, juri memerintahkan supaya dalam masa bersamaan kedua belah pihak memperlihatkan satu anak jari saja. Kalau si A memperlihatkan jari telunjuk, si B memperlihatkan jari kelingking; maka A sebagai pemenang. Jika si A memperlihatkan Ibu Jari, si B memperlihatkan jari telunjuk, maka A sebagai pemenang. Kalau si A menunjukkan jari kelingking, si B memperlihatkan Ibu jari, maka si A sebagai pemenang. Inilah standard ”Sut” (”rule of the game”) yang mesti dipatuhi. Yang dinyatakan menang inilah mendapat giliran pertama untuk pembacok (munengkah).
- Menanggalkan pakaian (baju), kecuali: celana hitam.
- Jika salah seorang keluar dari garis yang dibuat melingkar (kawasan berdaulat), dinyatakan kalah.
- Jika salah seorang (lawan) sudah mengeluarkan darah, yang bersangkutan dinyatakan kalah. Atau penasehat salah satu pihak melempar kain putih ke dalam lingkaran.
Fakta di atas membuktikan bahwa orang Gayo sebetulnya punya peradaban tinggi. Soal munculnya istilah “Dere Gayo” yang diperkenalkan oleh Adinda Jamhuri dalam satu artikel di media LG, yang konotasinya pukulan “tanpa ilmu/perhitungan” adalah fragmen-fragmen budaya Gayo yang menarik didiskusikan untuk melengkapi khazanah pengetahuan tentang Gayo.
Hal yang unik dalam kode etik Pelolo adalah eksistensi darah. Artinya: jika darah sudah keluar melalui hidung atau pada bagian organ tubuh lain dari lawan; itu isyarat kalah! Ini penting, sebab darah di mata orang Gayo, punya nilai sakral dan mahal. Darah adalah aurat; … Darah adalah malu dan harga diri; … Darah adalah kehormatan dan prestige. Oleh itu, dalam pertarungan Pelolo, hanya ada dua pilihan: berjuang agar darah tidak tumpah atau menumpahkan darah lawan. Perkara lain yang dirasa unik adalah: pantang dalam pelolo berteriak memanggil: Ama dan Ine. Sebab, Ayah (Ama) dan Ibu (Ine) adalah symbol bèntèng/pelindung. Jadi, berteriak: “Amaaaaa, Amaaaaa, Amaaaaa…” dalam keadaan Pelolo; berarti memberi aba-aba bahwa bèntèng pertahanan kebobolan; apalagi teriak: ”Ineeeee sakité”, Ineeeee sakité, Ineeeee sakité” bermakna rahasia sudah bocor, yakni: cedera berat. Maka dalam Didong Jalu, seorang Cèh menyifatkan kekalahan lawan dengan ucapan: “Langkah kelamni baro betéhko jere, gerjen jem due, nge putetalu Ama”.
Dalam perkembangan selanjutnya, fragmen-fragmen peradaban orang gayo tadi, mengalami pergèsèran, dimana politisi yang turut bertarung (baca: Pelolo) memperebutkan kursi pimpinan dalam jajaran pemerintahan, sejak dari awal sudah putetalu Ama, Ine dan tokoh partai nasional lewat Baliho (foto), numpang populer dan dipakai sebagai motor mendongkrak semangat juang menakluki lawan politik. Tindakan tersebut selain tidak lazim dalam budaya gayo, juga refleksi kejiwaan dari seseorang berkepribadian retak, karena menggantungkan diri kepada kekuatan arwah orang yang sudah meninggal, seperti Megawati pernah lakukan, memperalat kharisma Sukarno (Ama)-nya –dimana foto Sukarno pada Baliho dicetak dan dipajang rata simpang, jauh lebih besar ketimbang foto calon pemimpin yang masih hidup, demi mempengaruhi rakyat agar memilihnya dalam Pemilu nasional Indonesia suatu ketika dulu, walaupun akhirnya kalah telak. Prilaku putetalu Ama merupakan perkara yang `aib dalam budaya gayo. Yang diperlukan adalah figur representative dari Pang yang handal betengkah; … Pemangka yang jago main Gasing dan pejuang yang berani melewati ”garis pembatas” dalam perang. Gali dan temukan kembali etika (kode etik) Pelolo yang sudah terkubur.
[1] . Penulis buku Self-government (Studi Banding Tentang Disain Admintrasi Negara)